3. Proyek 1: Kejar-kejaran Matahari

1558 Words
"Mbak, udah beres?" Tita masuk terburu ke dalam mobil van tempat Mia tengah merias calon pengantin yang akan melakukan sesi foto hari ini. "Belum, Ta. Dikit lagi," sahut Mia tanpa melihat pada lawan bicaranya karena ia tengah serius menekuni wajah klien di hadapannya. Tita mendekat kemudian berbisik gusar di telinga Mia. "Cepetan, Mbak ...!" "Iya, tunggu!" Mia jadi sedikit kesal karena merasa terganggu. "Enggak sabaran banget sih!" Melihat Mia mulai bertanduk, nyali Tita langsung ciut. "Bukan Tita yang enggak sabaran, Mbak Sayang." "Terus siapa?" tanya Mia galak. Tita meringis ketika menjawab. "Mas fotografer baru yang ganteng tapi ternyata galak." "Siapa sih?" tanya Mia lagi tidak sabaran. "Itu yang kemarin ketemu pas technical meeting." Tangan Mia seketika berhenti bergerak. Untung saja kuas di tangannya tidak sampai jatuh menghajar kening kliennya. "Lio?" tebak Mia cepat. "Betul!" sahut Tita cukup keras. Belum lagi Mia sempat mengeluarkan gerutuannya, si oknum tidak sabaran itu tiba-tiba masuk ke dalam van. Tanpa permisi, Lio mengambil kuas dari tangan Mia dan menyodorkannya pada Tita. Setelah itu Lio menarik tangan Mia, tersenyum sopan pada klien mereka, lalu membawa gadis itu keluar dari van. "Mau apa kamu?!" Mia bertanya bingung sekaligus kesal karena Lio tiba-tiba menyeretnya tanpa mengucapkan apa-apa. Setelah berada cukup jauh dari van dan memastikan tidak ada orang lain yang melihat mereka, Lio berhenti melangkah, kemudian memutar tubuh hingga berdiri berhadapan dengan Mia. "Apa enggak bisa kerja lebih cepat?" tanya Lio datar. "Apaan sih?!" Mia menyentakkan tangannya agar terlepas dari cekalan Lio. "Aku kan udah bilang, Mbak Ratih harus siap jam lima karena kita harus ambil foto pas sunrise. Sekarang lihat udah jam berapa?" Untuk sesaat Mia tertegun. Sikap Lio saat ini sangat berbeda dengan minggu lalu saat mereka bertemu di acara technical meeting. Kalau saat itu Lio terlihat santai dan ramah, kali ini tidak. Sosok Lio terlihat sangat serius. Tidak ada lagi tatapan jail menggoda, yang ada hanya kesan kaku. "Setengah enam," jawab Mia setelah berhasil mengendalikan keterkejutannya. "Artinya?" "Arti apaan?" "Artinya kita sudah telat," ujar Lio tidak sabar. "Terus?" Bukan Mia tidak tahu hal ini. Ia mendengar dengan jelas pesan Lio saat mereka baru tiba di lokasi sekitar satu setengah jam yang lalu. Hanya saja, kendala yang tiba-tiba muncul membuat pekerjaan Mia sedikit terhambat. "Momennya udah hilang. Aku enggak sempat foto sunrise!" sahut Lio geram. "Foto mah foto aja," gerutu Mia pelan. Namun, jelas masih cukup terdengar oleh Lio. "Apa yang mau difoto kalau pengantinnya aja masih belum siap? Ini kan foto prewedding, bukan foto landscape," sahut Lio meradang. Dirinya sedang tidak berada dalam mood untuk bercanda. Rencana yang sudah ia susun kacau dan membuat Lio pusing. Ia harus memutar otak untuk menyusun ulang rencana pengambilan foto, menggantikan satu momen yang sudah terlewat ini. Alih-alih menanggapi kekesalan Lio, Mia malah melenggang meninggalkan pemuda itu. Namun, Lio cukup sigap untuk menyambar tangan Mia dan menahan gadis itu. "Kamu mau ke mana?" "Balik ke van," jawab Mia datar. "Aku belum selesai ngomong," ujar Lio jengkel. Bisa-bisanya Mia mengabaikannya begitu saja. "Kalo aku dengerin kamu ngoceh-ngoceh terus di sini, yang ada tambah lama itu beresin makeup Mbak Ratih. Entar telat lagi. Entar marah lagi!" sahut Mia keki. Ia tidak gentar menghadapi sosok Lio yang harus diakui, saat ini terlihat cukup menakutkan. Usai bicara demikian, tanpa ragu Mia meninggalkan Lio yang terlihat masih dongkol. Kembali ke dalam van, Mia langsung tersenyum sungkan pada kliennya. "Maaf ya, Mbak." "Mas fotografernya kesel ya, Mbak?" tanya Ratih ikutan tidak enak hati juga. Mia mengedipkan mata sambil memasang senyum kecil. "Sedikit." "Maaf ya," ujar Ratih tidak enak. "Gara-gara saya ya?" "Gapapa kok, Mbak. Enggak usah dipikirin." Mia memberikan jawaban yang sekiranya bisa menghibur kliennya. "Foto prewed yang penting ya utamain pengantinnya, bukan fotografernya." "Sekali lagi maaf ya, Mbak." "Udah gapapa, Mbak." Cepat-cepat Mia memberikan sentuhan akhir agar proses rias ini tidak semakin terlambat dari jadwal. "Ini juga udah selesai." Begitu riasan Ratih selesai, Mia dan Tita langsung mengantar klien mereka ke spot foto yang sudah disiapkan oleh tim Klix. Meski mengalami keterlambatan, beruntung sesi foto bisa berjalan lancar. "Mas Lio beneran kesel, Mbak?" tanya Tita saat situasi sudah tenang dan mereka sedang duduk berdua di atas batu sambil menunggui proses pemotretan berlangsung. "Tau!" Mia mengedik tidak peduli. "Loh?" Tita melongo heran. "Tadi manggil kenapa?" "Ngoceh-ngoceh karena telat ambil foto pas sunrise." "Yah, terus gimana?" Kepala Tita langsung penuh dengan berbagai spekulasi. Haruskah ia menjadwal ulang? "Tau. Enggak ngurus," sahut Mia ogah-ogahan. "Gagal gitu foto hari ini?" gumam Tita cemas. "Kalo dia fotografer andalan jempolan, harusnya dia bisa bikin momen bagus biar ga ada sunrise," ujar Mia sinis. "Lagian Mbak Mia kok tumben bisa telat sih?" tanya Tita senewen. "Apa jangan-jangan Mbak Mia sengaja cari masalah sama Mas Lio ya?" "Hah?" Mia langsung menoleh cepat dan memelototi Tita. "Pengin bikin Mas Lio kesel ya?" goda Tita. "Kurang kerjaan amat deh gue!" "Terus kenapa dong?" "Mbak Ratih itu matanya bengkak. Abis nangis gara-gara ribut sama Mas Diza. Makanya tadi rada lama karena mesti dikompres dulu," terang Mia akhirnya. "Oh …, ternyata gitu." Tita manggut-manggut paham. "Coba pikir, penting sunrise apa wajah cantik pengantinnya?" tantang Mia jengkel. "Percuma kan dapet sunrise tapi muka pengantinnya kayak yang dikawin paksa." "Bener juga sih." Tita langsung mengangguk setuju mendukung argumen Mia. "Mbak Mia jelasin ke Mas Lio?" "Ngapain? Males aja!" ujar Mia sengit. Namun, kejengkelan Mia terhadap Lio rupanya tidak berakhir sampai di sana. Dari subuh hingga petang menjelang, ada saja hal yang membuat Mia geram pada pemuda itu. "Ampun! Ini kapan kelarnya sih!" Entah sudah keberapa kalinya Mia misuh-misuh tidak jelas. "Bentar lagi katanya, Mbak," sahut Tita berusaha berpikiran positif. "Gila!" desis Mia keki. "Udah capek banget dari subuh. Enggak kelar-kelar juga." "Iya, Mbak. Tita juga udah gempor." Gadis itu meringis sambil memijat betisnya yang sudah mekar akibat sibuk berdiri dan menclok kian kemari. Mia juga sama saja. Bisa bayangkan posisi orang saat merias? Normalnya berdiri bukan? Nah, demikianlah yang Mia lakukan seharian ini. Yang dirias memang hanya satu orang, tetapi berkali-kali. Kenapa berkali-kali? Karena sang klien berganti-ganti kostum berkali-kali pula, tentu riasan harus menyesuaikan. Jadi, betis Mia juga rasanya sudah cekot-cekot, lehernya kaku, dan bahunya serasa mau patah. Saat ini, Mia hanya bisa duduk pasrah berselonjor di atas pasir. Kalau tidak memikirkan rasa malu, rasanya sudah ingin goleran saja di atas pasir. Sebodo amat dengan kru yang lain. Sayangnya, rasa malu Mia terlalu besar. "Di schedule bukannya sampe jam empat doang, Ta?" Tiba-tiba Mia ingat kalau jadwal hari ini harusnya sudah berakhir. "Harusnya sih gitu, Mbak." "Terus ini mau ngapain lagi?" Mia sudah jengkel melihat sepasang calon pengantin itu sebentar menclok di batu karang, sebentar di pohon, sebentar di pasir, sebentar di perahu, sebentar entah di mana lagi. "Denger-denger dari Mamat, katanya Mas Lio mau nunggu sunset." "Cucunguk …!" Refleks Mia memaki pelan. "Atuh masih lama dong, Ta!" Belum lagi ketika melihat Lio yang sejak tadi dibantu oleh Mamat, sang asisten yang setia hilir mudik kian kemari mengikuti bosnya. Mia jadi menyesal karena tidak mengajak Chica hari ini. Pikir Mia, ia tidak membutuhkan asistennya hari ini. Mia bisa mengurus sendiri bagian tatanan rambut karena di pantai cukup di gerai saja. Nyatanya si fotografer cerewet itu malah minta rambut kliennya diatur begini dan begitu. Bikin Mia tambah repot saja. "Sabar ya, Mbak. Setengah jam lagilah," bujuk Tita. "Enggak sabar gue! Pengin cepet udahan." "Tita juga udah kelaperan, Mbak. Udah mau pingsan." "Gue curiga dia mau bales dendam deh," ujar Mia penuh tuduhan. "Bales dendam?" Tita yang polos jelas tidak berpikir ke sana. "Gara-gara telat tadi pagi itu." "Masa sih?" Dan Mia masih harus bersabar menunggu beberapa waktu lagi hingga akhirnya sesi pemotretan usai juga. "AKHIRNYA …, BERES JUGA!" seru Mia sengaja dengan suara dikeraskan agar terdengar oleh sang pembuat onar. Dan ternyata, berhasil! Lio mendengar dengan jelas sindiran Mia itu, lalu bergegas datang menghampiri sambil. Dilontarkannya sindiran balasan untuk Mia. "Capek banget keliatannya." "Pikir aja sendiri!" sembur Mia sebal. Bisa-bisanya Lio malah sengaja mendekatinya begini, bukannya pergi menjauh setelah disindir. "Gimana orang enggak capek melek dari subuh sampe malem gini! Enggak semaput aja bagus!" Dan dengan seenaknya Lio menepuk kepala Mia. "Kasihan." "Ck!" Mia menepis kasar tangan Lio dari kepalanya. "Kasianlah! Gara-gara satu orang yang kerjanya lelet banget, semua jadi ketiban apes. Harusnya udah beres dari jam berapa tau! Harusnya jam segini udah santai-santai di depan TV sambil makan enak! Ini malah masih kejebak di sini." "Kalau aja tadi pagi enggak ada orang yang dandannya lama banget, pasti enggak bakal kayak gini ceritanya." Alih-alih tersinggung, Lio malah tersenyum lebar sambil menyilangkan tangannya di depan d**a. Begini lebih baik daripada tangannya kembali lancang menghampiri kepala Mia. "Kamu nyindir aku?" tantang Mia. "Aku? Nyindir?" Lio menunjuk dirinya sendiri sambil tersenyum manis. "Kayaknya enggak." "Maksud kamu gara-gara aku kan kita jadi selesai semalam ini?" desak Mia. "Wah! Kata-kata aku menyinggung kamu ya? Maaf loh, enggak maksud," sahut Lio dengan nada mengejek. "Aku sih cuma berusaha profesional. Enggak dapet sunrise, ya kejar sunset." "Nyebelin!" Mia mengentakkan kakinya keras-keras ke atas pasir, berharap yang diinjaknya adalah kali pemuda itu. "Enggak sekalian aja kamu kejar-kejar itu matahari?!" "Mau makan bareng?" Tiba-tiba saja Lio mengganti topik pembicaraan. "Hah?" Sontak saja Mia bengong. "Kata kamu jam segini harusnya udah duduk santai di depan TV sambil makan yang enak." "Terus?" "Kita makan sama-sama aja," ajak Lio seenaknya. "Tinggal cari tempat makan yang enak. Cari yang ada TVnya. Kalau enggak ada, kamu bisa lihatin muka aku selama makan, pengganti TV. Dijamin enggak kalah menarik." "Dasar enggak beres!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD