2. Pertemuan Kembali

1404 Words
 "Udah lama, Mbak?" Tita menyapa Mia sambil mengempaskan bokongnya di sebelah gadis itu. Begitu duduk, Tita langsung merogoh tasnya untuk mengeluarkan kipas mini akibat panas jalanan di luar tadi masih terasa meski kini gadis itu sudah berada di dalam ruangan berpendingin. "Mbak Mia …." Sadar kalau tidak ada jawaban, Tita kembali memanggil Mia. Ternyata masih tidak ditanggapi juga. Sedikit gemas Tita mengetuk pipi Mia untuk menarik perhatian gadis itu. "Tok … tok … tok …!" "Eh, kamu!” Mia tersentak. “Baru dateng?"  Tita menggeleng heran. "Siang-siang gini bengong, Mbak." "Hah?" Tita memicingkan mata lalu mengamati Mia dengan tatapan curiga. "Mbak lagi liatin apa sih?" "Hm?" shaut Mia tidak fokus. "Ayo, ngaku!" desak Tita senewen. Mia menoleh ke samping, menatap ragu pada Tita, kemudian menggerakkan jari telunjuk meminta gadis itu mendekat. Setelah wajah hampir menempel, perlahan Mia berbisik sambil melirik ke satu titik. "Itu siapa, Ta?" Sebagai perwakilan dari tim wedding organizer, Mia yakin Tita mengenal semua orang yang ada di ruangan ini. Setiap perwakilan yang dikirimkan oleh masing-masing vendor, Tita pasti tahu namanya karena sering bertegur sapa. Apalagi pembawaan Tita memang ramah dan cerewet. Berbeda dengan Mia yang cenderung pendiam dan judes. Mia tidak terlalu banyak mengenal orang dari vendor lain kecuali sudah beberapa kali bertemu ketika menangani klien yang sama. Mia juga malas bertegur sapa dengan orang lain. Mia hanya akan bercakap-cakap dengan klien yang dirias, juga dengan Tita yang cerewet. Awalnya, Mia juga malas beramah-ramah dengan Tita. Namun, gadis itulah yang selalu mendekatinya, mengajak bicara lebih dulu, bercanda tidak jelas, hingga akhirnya Mia merasa nyaman meski mereka belum terlalu lama saling mengenal. Jarak usia yang terpaut tujuh tahun pun tidak jadi penghalang bagi kedekatan mereka. Mungkin karena perasaan senasib sebagai anak rantau yang sama-sama berasal dari tanah Sundalah yang membuat mereka akhirnya jadi akrab. "Yang mana?" balas Tita berbisik juga. Matanya awas menatap ke sekeliling ruang pertemuan di hotel tempat mereka akan mengadakan technical meeting untuk acara pernikahan yang digelar pekan mendatang. "Yang pake kemeja abu. Kayak belum pernah liat." Mata Tita bergerak cepat mencari sosok yang Mia deskripsikan. "Yang mukanya blasteran?" "Hm." "Oh, itu sih fotografer baru, Mbak," sahut Tita cepat.  "Dari vendor mana?" "Klix, Mbak."  Mia manggut-manggut pelan, tetapi wajahnya terlihat masih penasaran. Mencium kejanggalan pada sikap Mia, perlaha Tita tersenyum geli. "Kenapa, Mbak? Ganteng ya?" Mia mengedik sebal. "Biasa aja." "Ih, ganteng tau, Mbak!" pancing Tita. "Terus kenapa kalo ganteng?" tanya Mia malas. "Kali aja mau dijadiin objek pelepas masa lajang, Mbak." "Cih!" Mia mendelik galak. "Masa Mbak enggak tergoda sih? Enggak tergiur?" goda Tita terus. Hampir setahun mengenal Mia, jarang sekali gadis ini menunjukkan ketertarikan pada lawan jenis. Mia terkesan tidak peduli pada kaum lelaki yang beredar di sekitarnya. "Mas Lio ini sering dikira model foto loh, bukan tukang fotonya." "Siapa namanya?" tanya Mia terkejut. "Lio," ulang Tita. "Nama lengkapnya?" "Arcelio." "Arcelio Gillean?" sambung Mia. Gadis itu menggeleng ragu. "Tita kurang tau, Mbak." "Umurnya 28?" tanya Mia lagi. "Ih, mana Tita tau, Mbak!" protes Tita akhirnya. "Biasa kamu tau segala," gerutu Mia kecewa. "Ya, masa Tita tanya-tanya umur orang yang baru kenal." "Tau, ah!" keluh Mia sebal. Setelah itu Mia memilih bungkam, tidak mau lagi melanjutkan pembicaraan meski Tita terus mengajaknya mengobrol. Setelah cukup lama didiamkan, Tita jadi tidak tenang. Dicoleknya Mia hati-hati. "Mbak Mia kenapa sih?"  "Apanya kenapa?" balas Mia ketus. "Kayak bete." "Enggak tuh!" bantah Mia cepat. "Masa?" "Ck!" Mia berdecak galak. "Mbak, kasih tau dong. Kenapa sih? Mbak ada sesuatu sama Mas Lio?" "Kenapa tanya gitu?" "Tadi abis tanya-tanya soal Mas Lio terus jadi gini." "Enggak ada apa-apa tuh." Mia terus saja mengelak. "Mencurigakan," gumam Mia pelan. "Usil!" omel Mia jengkel. "Abisnya Mbak Mia aneh sih."  "Kamu yang aneh." "Eh, jangan-jangan Mbak Mia kenal ya?" Kali ini Tita bertanya serius. "Enggak yakin," jawab Mia jujur. "Tapi dia kayak seseorang yang aku kenal." "Samperin atuh, Mbak!" usul Tita. "Ngapain?" tanya Mia tanpa minat. "Tanya. Pastiin." Mia mendengkus sebal. "Males." "Mau Tita tanyain?" Gadis itu segera menawarkan diri dengan semangat tinggi. Mia menggeleng panik. "Enggak usah!" "Ditanyain deh ya …," bujuk Tita jail.  "Ck!" Mia mendelik galak. "Jangan macem-macem deh!"  Diancam demikian, Tita malah senyum-senyum geli. "Awas kamu berani tanya-tanya!" ancam Mia sebal. "Kenapa enggak boleh sih? Rasa penasaran kan harus dituntaskan, Mbak," protes Tita. "Jangan macem-macem, Ta!" Mia kembali mengulang peringatannya yang kali ini berhasil membungkam Tita. "Oke siap, Mbak! Laksanakan!" ujar Tita patuh. Kalau wajah Mia sudah sedemikian galak, Tita pasti langsung ciut dan tidak berani aneh-aneh lagi. Tidak lama kemudian, Mia tiba-tiba beranjak dari kursinya tanpa berkata apa pun pada Tita.  “Mau ke mana, Mbak?” Refleks Tita menahan tangan Mia. Mia mengedik ke arah meja panjang tempat makanan dan minuman tersedia untuk seluruh perwakilan vendor yang mengikuti technical meeting hari ini. “Ambil minum.” “Titip camilan dong, Mbak,” pinta Tita tanpa ragu. “Ck! Pemalesan!” Mia mendelik malas. Masalahnya bukan Mia tidak mau mengambilkan, hanya saja Tita ini rakusnya tidak ketolongan. Kalau ambil camilan tidak cukup satu dua potong kue, bisa sebaki habis sendiri. Jelas bikin malu akhirnya. “Capek, Mbak ....,” keluh Tita manjan. “Iya iya, diambilin,” sahut Mia jengkel. "Tapi dikit aja loh!" “Baik deh, cantik deh …," rayu Tita demi menyenangkan Mia.  “Enggak usah ngerayu!” omel Mia.  "Nanti kalo kurang Tita tambah sendiri." Mia menggeleng takjub setelah itu langsung berjalan cepat menuju meja panjang di sudut ruangan dekat pintu masuk. Ketika berjalan ke sana, tidak sengaja Mia berpapasan dengan pemuda yang tadi ditanyakannya pada Tita. Pemuda bernama Lio yang kemungkinan besar sama dengan sosok yang Mia kenal. Pernah kenal tepatnya. Tanpa sadar, langkah Mia terhenti beberapa saat. Ketika momen saling tatap itu diakhiri dengan senyum samar Lio, Mia cepat-cepat memutus kontak mata di antara mereka dan berjalan menjauh. Namun, entah mengapa Mia merasa kalau pemuda itu terus mengamatinya. Sambil mengambil beberapa potong kue untuk Tita, sesekali Mia menoleh ke belakang dan menemukan pemuda itu memang tengah menatap ke arahnya. Bukankah wajar kalau kecurigaan Mia semakin kuat? Coba pikir! Berapa banyak kemungkinannya dua orang sama-sama memiliki nama Arcelio, dipanggil dengan Lio, dan berwajah blasteran? Bukankah terlalu banyak kebetulan dan kesamaannya? Namun, wajah pemuda ini terlihat berbeda dengan Lio yang pernah Mia kenal. Raut wajah dan sorot matanya berbeda dengan yang Mia ingat. Masih dalam keadaan setengah melamun, Mia memasukkan kantung teh ke dalam cangkir kemudian berniat menyeduhnya. “Aw!” desis Mia terkejut ketika merasakan air panas menetes ke jarinya. Gadis itu lebih terkejut lagi tatkala pemuda yang sejak tadi mengawasinya tiba-tiba sudah berdiri di samping kemudian mengambil alih cangkir yang ia pegang. “Hati-hati!” ujar Lio sambil mengusap jari Mia yang terkena air panas. “Eh?” Mia termangu. “Jangan melamun. Sayang tangannya kalau kena air panas.” Lio membawa tangan Mia mendekat kemudian meniupnya lembut. “Nanti enggak mulus lagi.” Cepat-cepat Mia menarik tangannya dari genggaman Lio. Meski hanya sesaat saja merasakan sentuhan Lio, entah mengapa jantung Mia sudah jumpalitan. Namun, jelas pantang menunjukkannya. Alih-alih tersipu, Mia malah melotot tajam. Lio tersenyum jail. “Jangan melotot begitu. Nakutin.” “Sok kenal …,” gumam Mia jengkel. Sikap Lio ini jelas tidak seperti orang yang baru pertama kali bertemu. “Bukannya kita memang saling kenal?” balas Lio santai. Mia langsung menggeleng tegas. “Kayaknya saya baru pernah lihat kamu.” “Masa?” ujar Lio tidak percaya. “Hm!” Mia langsung mengangguk yakin. “Yakin?” pancing Lio geli. Namun, sedetik kemudian wajahnya berubah murung. “Aku sedih loh dilupain semudah itu.” “Sok akrab banget sih!” Mia menggeram kesal. Ia yakin Lio hanya berpura-pura memasang wajah sedih begitu. “Aku jadi curiga. Kamu pura-pura lupa, atau ingatan kamu memang buruk?” Lio tersenyum geli sambil menjawil hidung Mia. “Maksud kamu …?" bisik Mia terkejut. Ia tidak menyangka Lio akan lancang begitu sampai telat mengelak..  “Coba lihat aku baik-baik!” Tiba-tiba saja tangan Lio naik dan menangkup wajah Mia. “Kamu benar-benar enggak ingat sama aku?” “Enggak!” sahut Mia gemas sambil menepis tangan Lio. “Jangan bohong, Mia." Lio mendekatkan wajahnya kemudian berbisik yakin. “Dari cara kamu menatap, aku tahu kamu mengenali aku.” “Sok tau …." Mia masih coba mengelak. Lio memicingkan matanya, menatap Mia sungguh-sungguh. “Atau perlu aku panggil kamu Nona biar kamu yakin kalau aku kenal kamu?” “Lio …." Akhirnya, nama itu meluncur begitu saja dari bibir Mia. Lio tersenyum puas. “Akhirnya kamu ingat juga.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD