Bab 1. Where Does the Sunlight Go?

2068 Words
Bangun tidur pukul tujuh pagi bukanlah kebiasaan Zachary Evan. Apalagi sejak dia dipecat dari pekerjaannya sebagai seorang jurnalis di sebuah surat kabar ternama, beberapa hari yang lalu. Zack, panggilan akrab Zachary, akan bangun paling cepat pukul sepuluh pagi. Namun, entah kenapa pagi ini dia terbangun pagi sekali, padahal biasanya dia masih betah bergelung di dalam selimut tebalnya. Sekarang hampir memasuki musim gugur, udara lumayan dingin. Siapa pun orangnya pasti akan betah berlama-lama di dalam selimut yang hangat. Terutama bagi pengangguran sepertinya. Zack mengerang. Kata pengangguran menjadi kata yang sangat mengganggu di telinganya beberapa hari terakhir ini. Lebih tepatnya sejak dia dipecat. Sialan! Zack mengepal teringat kata-kata yang diucapkan bos-nya saat memecatnya beberapa hari yang lalu itu. "Maaf, Zack, tapi kurasa surat kabar kita tidak memerlukan berita darimu lagi. Selamat, kau dipecat!" Fvck! Fvck! Fvck! Zack menggeram marah. Dipecat tanpa kau tahu apa kesalahanmu sudah merupakan sesuatu yang buruk. Ditambah lagi tanpa pesangon. Semakin lengkap sudah penderitaannya. Beruntung dia masih memiliki tabungan dan sebuah rumah miliknya sendiri sehingga dia tidak perlu khawatir akan diusir dan menjadi gelandangan. Hanya saja, dia tetap membutuhkan biaya untuk makan. Seandainya saja ada yang memberinya makanan gratis setiap hari, tentu akan sangat menyenangkan. Zack tidak akan menolaknya, dia akan menerimanya dengan senang hati. Zack bangun dan melangkah ke kamar mandi sekedar untuk mencuci muka dan menggosok gigi. Tidak perlu mandi, dia tidak akan ke mana-mana setelah ini. Paling dia akan kembali ke atas tempat tidur untuk melanjutkan mimpi. Sangat boros air kalau dia sampai mandi. Zack keluar dari kamar mandi dengan handuk kecil di atas bahunya. Dia biasa mengeringkan mukanya setelah cuci muka menggunakan handuk itu. Zack melangkah ke arah jendela, membuka gorden penutupnya dan mengernyit. Benarkah sekarang sudah pukul tujuh pagi? tanya Zack dalam hati. Lalu, kenapa langit masih gelap sekali? Zack mengernyit. Dia tidak sedang bermimpi bukan? Benar kan sekarang pukul tujuh pagi, bukan pukul tujuh malam? Zack menengok ke belakang, ke arah jam digital yang terletak di atas nakas. Alis Zack semakin berkerut tajam. Dia tidak tahu mana yang salah, apakah jam digital miliknya ataukah matahari memang masih belum bersinar? Tapi ini pukul tujuh pagi, ke mana sinar matahari pergi sehingga sampai sekarang masih gelap saja. Masih bingung, Zack menyalakan televisi yang berada di depan tempat tidurnya. Televisi yang sangat jarang dinyalakan karena sang pemilik yang tidak pernah menontonnya. Bagi Zack, televisi hanya sebagai hiasan dan pelengkap, agar dia tidak dikatakan kuno dan tidak ketinggalan zaman saja. Berita di televisi pun membingungkan. Semua orang juga sama sepertinya, bertanya-tanya. Sudah pagi tapi keadaan tetap seperti malam saja. Zack mengembuskan napas lega, ternyata bukan dia saja yang mengalami keanehan alam seperti ini. Gawat kalau hanya dia yang merasa hari masih gelap sementara orang di luar sana terang semua. Berarti ada masalah dengan matanya. Dia harus memeriksanya ke klinik mata, dan itu membutuhkan biaya tambahan. Di saat tidak memiliki penghasilan seperti sekarang ini, uang satu peni pun sangat berguna untuknya. Zack mengembuskan napas kuat melalui mulut, mematikan televisi. Sejak awal dia tidak pernah suka dengan yang namanya menonton, apalagi tadi penuh dengan berita keanehan alam yang kini sedang melanda mereka. Semuanya dikaitkan dengan fenomen alam dan makhluk asing. Zack tertawa kecil seorang diri, menertawakan orang-orang di televisi itu. Tidak mungkin semua ini berhubungan dengan makhluk asing. Alien dan sebangsanya itu tidak ada. UFO yang dikatakan oleh orang-orang NASA itu bohong belaka. Benda itu adalah meteor atau bintang, mereka hanya membesar-besarkan. Zack keluar kamar, tujuan utamanya adalah halaman belakang. Dia ingin memastikan apa yang sedang terjadi sebenarnya. Apa yang menutupi sinar matahari sehingga bumi masih dalam keadaan gelap seperti ini. Sebelumnya Zack membuat secangkir kopi terlebih dahulu. Dia memerlukan kafein untuk membuat matanya untuk tetap terbuka di pagi hari. Meski hanya beberapa jam saja, karena dia akan kembali ke tempat tidur dan bangun saat makan siang. Benar-benar rutinitas yang sangat membosankan. Apalagi untuk seorang seperti Zack yang tidak pernah berada di dalam ruangan selama dua puluh empat jam. Pekerjaannya sebagai jurnalis membuatnya terus berada di luar ruangan. Zack membuka pintu dapur, keluar dengan membawa serta cangkir kopi. Dia akan meminum kopinya di halaman belakang sambil mengamati. Hal yang tidak pernah dia lakukan sebelumnya. Biasanya Zack mengamati sekitar termasuk kegiatan para tetangga melalui jendela di kamarnya yang terletak di lantai dua. Namun hari ini dia akan melihat-lihat melalui halaman belakang. Ternyata sudah ada beberapa orang tetangga saat Zack keluar. Mereka berada di halaman belakang rumah mereka masing-masing dengan mata menatap ke arah langit, mengamati keanehan yang terjadi. Syukurlah bukan hanya dia saja yang merasakan keanehan. Lagi-lagi Zack tersenyum lega. Sungguh sesuatu yang tidak seharusnya dilakukan di saat-saat keanehan terjadi di mana-mana. Benarkah? Bagaimana hanya di tempat mereka saja? Tetapi, bukankah di semua stasiun televisi tadi juga membahas tentang keanehan ini? Berarti bukan hanya mereka. "Maaf, sekarang pukul tujuh pagi, bukan?" Zack mencoba menyapa salah seorang tetangganya. Bertanya kepada seorang pria paruh baya yang tinggal di sebelah rumahnya. Pria yang tidak diketahui Zack namanya itu menoleh, menatap Zack dengan tatapan bertanya. "Kau bertanya padaku, Anak Muda?" Pria itu balas bertanya. Tubuhnya tinggi besar dan tegap dengan rambut cokelat dan mata karamel. Kalau Zack tidak salah menduga, pria ini semasa muda pastilah seorang prajurit. Zack meringis kemudian mengangguk kaku. Dia memang tidak mengenal para tetangganya, begitu pun mereka. Aktivitasnya sangat menyita waktu, membuatnya tidak sempat berkenalan dengan para tetangga. Dia sangat jarang berada di rumah. Hanya beberapa hari ini saja dia selalu berada di rumahnya. Gara-gara pemecatan tanpa alasan itu. Zack mengerang kesal mengingatnya, mengingat dirinya yang pengangguran dan belum juga mendapatkan pekerjaan setelah pemecatan itu, sampai sekarang. "Iya," jawab Zack serba salah. Bukan hanya suaranya yang terdengar serba salah, gerakan tubuhnya juga. Maklum, pembicaraan pertama yang dilakukannya bersama tetangga setelah beberapa tahun tinggal di lingkungan ini. Pria besar itu tersenyum. Menatap Zack dengan tatapan meneliti kemudian mengulurkan tangan mengajak bersalaman. "Namaku Jonah Martin. Senang bertemu denganmu," ucap si pria besar memperkenalkan namanya. Zack segara menyambut uluran tangan Jonah dan menyebutkan namanya. "Namaku Zack Evan. Maaf, baru bisa berkenalan dengan Anda." Jonah tertawa. "Tidak apa-apa," sahutnya. "Aku mengerti, aku juga pernah muda. Setiap anak muda selalu memiliki cita-cita yang tinggi dan akan berusaha mengejarnya sekuat tenaga. Jujur saja, aku dulu juga sepertimu." Senyum hangat Jonah menghilangkan semua kekakuan Zack. Dia sudah bisa bersikap normal, tidak lagi gugup dan merasa serba salah. Senyum hangat pria itu menulari Zack. "Kau tadi bertanya soal waktu?" tanya Jonah. Zack mengangguk. "Iya," jawabnya. "Aku ragu kalau sekarang pukul tujuh pagi." Zack memeriksa jam tangan yang selalu menempel di pergelangan tangan kirinya. Bahkan saat mandi pun Zack tetap mengenakannya. "Karena seperti yang kau lihat, langit masih tampak gelap. Matahari belum terbit." "Apakah menurutmu ini ada hubungannya dengan alien?" Zack tertawa, tak menyangka kalau tetangga tuanya juga percaya pada hal-hal menggelikan seperti itu. "Maaf, Jonah, aku tidak bermaksud menertawakanmu." Zack menghentikan tawanya saat melihat kerutan di dahi Jonah. Dia juga meminta maaf. "Hanya saja, aku ... tidak percaya pada lelucon semacam itu. Menurutku pemerintah hanya sedang melawak saja." "Benarkah?" Alis Jonah semakin berkerut tajam. Zack mengangguk, lantas mengedikkan bahu. "Entahlah, tapi kurasa iya. Kalau benar, lalu kenapa mereka menyembunyikan semua fakta tentang makhluk-makhluk itu?" "Kurasa mereka tidak ingin menakuti kita, mungkin," jawab Jonah. Tatapannya kembali mengarah ke langit yang tetap pada keadaannya. Gelap. "Kau pasti tahu, Nak. Anak-anak zaman sekarang mudah sekali terprovokasi, sedikit saja salah mereka pasti akan menanggapinya dengan menggebu. Kurasa itu juga menjadi salah satu alasan pemerintah tetap bungkam dan merahasiakannya." Zack manggut-manggut, tapi bukan berarti dia percaya pada apa yang dikatakan Jonah. Sampai kapan pun dia tidak akan memercayai hal yang hanya dianggapnya sebagai lelucon. Tidak ada kehidupan lain di luar sana. Tidak adanya oksigen membuat makhluk hidup tidak akan bisa bertahan. Api pun memerlukan udara untuk menjadi besar. Tanpa udara, api akan padam. Begitu juga dengan makhluk asing. Meski mereka digambarkan tidak berbentuk seperti manusia, makhluk-makhluk itu tetap memerlukan udara. "Entahlah, Jonah." Zack kembali mengangkat bahunya. "Aku rasa semua ini tidak ada hubungannya dengan alien dan teman-temannya. Kurasa ini hanya fenomena alam saja." Jonah tidak menanggapi. Dia kembali memfokuskan tatapannya pada langit. Entah apa yang terjadi pada kubah besar pelindung bumi itu sehingga matahari yang mereka nantikan tidak menampakkan diri. Semoga saja semua ini bukan suatu pertanda buruk. Semoga saja Zack benar, kalau semua ini hanyalah fenomena alam semata. Melihat Jonah yang fokus pada langit, Zack mengikutinya. Menatap langit yang belum menandakan matahari akan segera terbit. Keadaan masih sama seperti malam hari, seolah ada sesuatu yang menutupi matahari. "Kuharap NASA segera menemukan penyebab matahari tak bersinar ini," ucap Zack. Meskipun tidak percaya pada NASA dan pemerintah, Zack tetap menggantungkan harapan kepada mereka. Karena saat ini hanya pemerintah saja yang bisa diandalkan. Jonah melirik Zack sekilas mendengar perkataan pria muda itu. Kembali menatap langit dan mengangguk. "Aku juga berharap demikian," sahut Jonah. "Aku menyukai malam karena aku bisa beristirahat dengan tenang saat malam, tapi aku tidak menyukai keadaan seperti ini. Lagipula ini bukan malam, sekarang sudah pagi." Zack mengangguk mengiakan. Dia juga tidak menyukai keadaan seperti ini. Di mana seharusnya semua orang keluar rumah untuk bekerja, bukan beristirahat dan tetap tidur. Terlalu banyak tidur sangat tidak baik untuk kesehatan. Tubuhmu akan kehilangan kekuatan karena terus-menerus diistirahatkan. Zack bukan seorang pemuja kesehatan, dia masih suka memakan makanan cepat saji, meminum soda dan alkohol. Namun, semua itu tidak sering dilakukannya. Dia masih menyayangi tubuhnya. Karena itu, Zack selalu berolahraga rutin setiap harinya. Pekerjaannya sebagai seorang jurnalis yang bekerja di lapangan menuntutnya untuk memiliki tubuh yang sehat dan bugar. Dari luar, sosok Zack tak terlihat sebagai orang yang bekerja di sebuah surat kabar. Orang-orang lebih mengira dia seorang model. Penampilannya yang selalu modis, ditunjang dengan bentuk tubuh proporsional membuatnya tampak seperti model ketimbang wartawan surat kabar. Zack juga sangat tampan. Rambut hitam dan mata biru cemerlang menjadikannya idola di kalangan para wanita. Namun, sampai sekarang Zack tetap sendiri. Dia belum siap berumah tangga. Para perempuan menurutnya sangat berisik, dan dia masih menyayangi hidup tenangnya. Itu dulu, sebelum dia dipecat dari pekerjaannya tanpa sebab yang jelas. Sekarang dia pengangguran, kemungkinan besar tak ada seorang pun wanita yang mau dekat-dekat dengannya lagi. Zack meringis menyadarinya. Tampan dan pengangguran, terdengar sangat menggelikan. Zack menggeleng pelan. Zack memeriksa jam tangannya. Sudah pukul delapan pagi. Seharusnya sinar matahari sudah terik saat seperti ini. Biasanya dia akan berada di meja makan, sarapan sambil membaca koran, mencari lowongan pekerjaan. Kemudian kembali ke kamar, menghubungi nomor-nomor yang tertera di iklan lowongan itu. Kembali tidur setelah tidak mendapatkan pekerjaan yang diinginkannya. Namun, hari ini dia berada di luar rumah. Tepatnya di halaman belakang rumahnya bersama seorang tetangga dan mengamati langit. Sungguh sebuah kemajuan yang mungkin bisa diacungi jempol. Mungkin fenomena alam seperti ini ada baiknya juga. Zack jadi pergi ke halaman belakang rumahnya dan berkenalan dengan salah seorang tetangga yang tinggal di samping rumahnya. Iya, seperti itu. Namun, tetap saja lebih banyak kerugiannya. Para ibu-ibu tetangganya yang lain mengomel, mereka mengeluh karena matahari tidak muncul. Sebagian lagi ada yang berdoa dengan Rosario di tangan mereka. Hanya menggeleng kecil melihat kelakuan para tetangganya yang beraneka ragam. Ternyata sangat banyak yang dia lewatkan di lingkungan tempatnya tinggal. Zack memutuskan akan lebih sering bercengkerama dengan tetangganya setelah ini. "Apa kau penghuni rumah ini?" Seorang wanita yang sudah berumur bertanya kepada Zack. Wanita itu berada di halaman belakang rumahnya sendiri. Rumah mereka berseberangan kalau dari belakang. Zack mengangguk, bibirnya menyunggingkan senyum ramah. "Syukurlah ternyata ada penghuninya!" seru wanita itu dengan mata berbinar. "Aku sudah takut saja, apalagi anak-anak mengatakan kalau rumahmu itu berhantu." Dia meringis, merasa tidak enak. Zack tertawa kecil. Kepalanya menggeleng. "Hantu itu aku, Nyonya!" seru Zack. Wanita berbadan gemuk itu pun tertawa. "Kurasa kau benar," guraunya. "Namaku Hailey Brown. Senang bertemu denganmu, Nak!" "Aku Zack Evan," balas Zack. "Senang berkenalan denganmu, Hailey." "Hantu yang ramah." Zack kembali tertawa mendengar candaan itu. "Terima kasih," ucapnya. "Bagaimana menurutmu dengan keadaan seperti ini, Zacky?" Zack mengernyit, merasa sedikit aneh dengan panggilan yang diberikan Hailey padanya tapi dia tetap menanggapi. "Menurutku ini hanya fenomena alam belaka." Zack mengangkat bahu. "Aku harap keadaan ini hanya beberapa jam saja. Aku tidak dapat membayangkan kalau kita hidup tanpa sinar matahari." "Kita akan membeku," sambung Jonah. Sejak tadi dia mendengarkan interaksi Zack dan Hailey. Rasanya kurang sopan kalau dia tidak ikut dalam percakapan kedua tetangganya itu. Hailey menggeleng. "Aku tidak mau itu!" ucapnya penuh penekanan. "Cukup ikan-ikan saja yang membeku, aku tidak menginginkan itu." Zack mengangguk mengiakan. Dia juga tidak ingin membeku. Well, tidak ada seorang pun yang menginginkan hal itu. Zack kembali mendongak, berharap dia dapat menemukan sinar matahari di sana.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD