Terjebak....

3103 Words
Dada Edward bergemuruh seketika. Menggenggam lengan Adriana dengan tenaganya hingga meninggalkan jejak, melempar Adriana dengan sangat kasar keatas ranjang bigsize kamar mereka. Adriana takut, diperlakukan kasar oleh Edward. Edward merobek pakaian Adriana, menciumi Adriana dengan kasar, menampar, menjambak rambut indah Adriana. "Kau mempermainkan aku Adriana. Jawab aku." Teriak Edward sambil menindih tubuh Adriana. "A a a aku akan bicara. Lepaskan aku. Jangan sakiti aku Edward." Rintih Adriana. Membuat Edward merenggangkan genggamannya, sambil mengulum bibir Adriana dengan sangat kasar. "Aku justru bernafsu padamu saat kau tersakiti Adriana." Bisik Edward ketelinga Adriana yang terdengar menyeramkan. Adriana hanya pasrah atas perlakuan Edward. Deraian air mata Adriana tidak dipedulikan oleh Edward. Edward sangat kasar pagi itu, berkali-kali melampiaskan emosinya dengan mencumbui tubuh Adriana. Adriana menjerit kesakitan karena perlakuan Edward yang membabi buta. "Apa kau akan membunuhku.?" Tangis Adriana terdengar ditelinga Edward. Edward hanya tersenyum sinis, beranjak kekamar mandi meninggalkan tubuh Adriana yang penuh memar. Tak lama, Edward keluar dari kamar mandi menghampiri Adriana. "Pakai bajumu, kita lanjutkan diruangan kerjaku. Aku kasih kau waktu 5 menit, ingat aku tidak suka menunggu." Tegas Edward. Edward berlalu meninggalkan Adriana. 'Hmmmm... apakah anak-anak sudah bangun.?' bisik Edward dalam hati. Edward pergi kedapur menemukan anak-anaknya sudah berkumpul disana. "Adrian, silahkan kalian tinggalkan tempat ini sekarang, ikuti Alberth. Dia telah menyiapkan tempat untuk kalian. Amankan diri kalian." tegas Edward. Adrian yang awalnya ingin mengajak Daddy sarapan bersama, hanya terdiam mengikuti intruksi Edward. Mata Edward menatap mata Bram dan Kevin. Memberi sedikit kode, Bram mengerti. "Tapi dad, aku akan menemui Mami." Adrian coba berlalu, tapi dicegah oleh Edward. "Pergi sekarang, atau kalian semua akan mati." Tatapan Edward sinis. Berlalu pergi keruangannya. Adrian, Veni, Kevin, Bram dan Fene segera meninggalkan rumah Adriana tanpa berpamitan pada Adriana. Adrian hanya menatap Bram, butuh jawaban. Tapi Bram hanya menepuk bahu Adrian sambil berbisik, "Kita akan bicarakan semua, setelah Daddy menyusul kita." Adrian membawa Veni. Memasuki mobil yang sudah disiapkan Alberth. Kevin, Bram, dan Fene lebih memilih menggunakan mobil Kevin, mengikuti arah tujuan Alberth. Adriana diruangan Edward... Tangan Adriana dingin seketika, untuk menyatukan jari-jari saja Adriana sudah tidak mampu. Hanya bisa berharap belas kasih dari Edward. "Aku akan menceraikanmu." Edward menatap tajam mata Adriana yang sembab. "Jangan Edward, aku mohon." tangis Adriana pecah seketika. "Tanda tangani ini, rumah ini menjadi milikmu, dan jangan pernah menghubungi aku ataupun anak-anak. Aku akan memberikan uang padamu, dan jangan mengganggu ku." Tegas Edward. Adriana memohon sambil bersimpuh dikaki Edward. "Aku mohon jangan tinggalkan aku, Edward... aku minta maaf." tangis Adriana pecah. Berharap belas kasih dari Edward. "Aku tidak ingin menghabiskan sisa waktumu untuk bersama Mark, pergilah. Tinggalkan aku." Edward beranjak pergi meninggalkan Adriana dalam duka, tangis yang makin menggema terdengar disetiap sudut rumah. "Edward.... jangan pisahkan aku dari Adrian." teriak Adriana. Edward lebih memilih pergi meninggalkan Adriana beserta rumahnya. Bagi Edward penghianatan itu adalah hal yang sangat menyakitkan dan memalukan. Villa... Bram mengirimkan semua bukti kejadian tadi pagi kepada Adrian. Adrian hanya menggenggam hpnya melihat video Adriana dan Mark tanpa henti, terus berulang. Terasa ini semua hanya mimpi bagi Adrian. Adrian memeluk erat tubuh Bram, dengan tangis yang tak dapat ditahan oleh Adrian. "Sudahlah... ini kenyataan, harus kita hadapi." Bram berusaha menenangkan Adrian dari kesedihannya. "Tapi apa tujuan Mami menemui Mark, Bram.?" beribu pertanyaan ada dikepala Adrian, tapi dia harus bertanya pada siapa. "Kita tunggu Daddy, beliau akan segera menyusul kita." Bram meninggalkan Adrian. Adrian berteriak agar dapat melegakan hatinya yang hancur hari ini. Bram masuk kevilla mencari Fene. "Vin, Fene dimana.?" Bram mengambil hp Kevin, yang tengah asyik dimainkannya. "Aaaaagh lo... sini hp gue..." kesal Kevin. "Fene..." Bram seolah akan melemparkan hpnya, sambil memberikan hp Kevin kembali. "Mana gue tau, sama Adrian kali." senyum Kevin. Bram ngeloyorkan kepala Kevin sambil berlalu pergi. "Feen... Fene." Mata Bram tertuju pada pemandangan yang tidak biasa, 'Fene bersama Adrian.' Geram Bram. 'Perasaan tadi gue tinggal Adrian sendiri, kok sekarang Fene sudah ada disana.' gerutu bram. Bram menghampiri Adrian dan Fene. "Heeeeiii... sweety." Bram memeluk tubuh Fene dari belakang mengagetkan Fene dan Adrian. "Hmmmm, kamu tu yah." Fene melepaskan pelukan Bram. "Kirain tadi didalam." Bram mengalihkan tatapan Fene pada Adrian. "Adrian lagi sendiri, tadi aku lihat dari atas, trus aku samperin aja." Fene menjelaskan pada Bram sambil memeluk lengan Bram. "Makasih yah, kalian udah mau menghibur gue." Tatapan Adrian kosong, hati masih hampa. Beribu kejadian selama mereka di eropa, membuat Adrian merasa lelah dan terlarut akan keadaan. "Dri... dari awal gue udah bilang, kita ini memegang teguh komitmen dan kepercayaan. Mungkin ini lebih baik daripada nanti jadi berlarut-larut." Senyum Fene sambil menatap Adrian. "Veni tu..." Bram melihat kedatangan Veni yang semakin mendekat. "Apakan aku melewatkan sesuatu sayang.?" Veni memeluk Adrian sambil mencium bibir Adrian. "Hmmmm... nggak, lagi menikmati keindahan saja." Adrian berusaha tersenyum dihadapan Veni. "Kevin main game mulu, kasihan Nichole belum bisa menyusul." Bram melihat Kevin dari kejauhan. "Biarin, dari pada rewel..." tawa Fene. Bram terus merangkul Fene, sesekali mencium bibir Fene tanpa disadari Edward memperhatikan mereka dari kejauhan. Adrian juga berusaha tetap tenang dan tegar walau hati dipenuhi tanda tanya. "Apa kalian senang disini.?" Edward mengejutkan Bram, Fene, Adrian dan Veni. "Eeeeh... senang dad." Bram menatap mata Edward. "Syukurlah, kalau kalian bahagia, ayo masuk, cuaca sangat dingin." Edward merangkul kedua putranya dengan penuh kehangatan. Mencoba mengalihkan pikirannya dari segala permasalahan yang dia hadapi hari ini. Begitu berat, karena akan menghadapi perceraiannya. "Bisa kita bicara nanti Bram.?" Edward mengajak Bram untuk bicara empat mata berlalu meninggalkan anak-anak diruangan keluarga. "Oke dad, aku akan segera menyusulmu." Bram, berbisik ketelinga Fene, akan bertemu daddy dilantai atas. Fene hanya mengusap lembut punggung Bram. "Dad..." Bram mengetuk pintu yang sedikit terbuka, melihat Edward yang sedang bersantai dikamarnya. "Ya, masuklah, tutup dan kunci pintunya." Edward merapikan kemejanya, sambil duduk dihadapan Bram. "Saya akan berpisah dengan Adriana, saya harap, kamu bisa menjaga Adrian." Edward tertunduk mengusap wajahnya. "What...!! Apakah tidak ada jalan lain dad.?" Tanya Bram. "Hmmmm... Adriana telah menghianati Daddy." Edward mencoba bersahabat dengan hatinya saat ini. "Apa kamu serius dengan Fene.? Apa kamu mencintainya.?" Edward mengalihkan pembicaraannya. "Of cours dad, aku sangat mencintainya." Jawab Bram sangat yakin. "Apa kamu sering menghabiskan waktu bersama Fene.?" Tanya Edward sangat santai. "Hmmmm... Jujur setelah disini saja dad, apa ada hal yang mengganggu.?" Bram coba mencari tau, maksud dari pertanyaan Edward. "Bram, kamu adalah anak ku, dan Adrian juga anak ku, bedanya kamu anak kandungku, tapi aku sangat memahami Adrian." Edward mengalihkan pandangannya. "Mmmm... maksud daddy.?" "Aku tidak ingin, apa yang sudah terjadi padaku, terjadi pada mu. Aku sudah mendengar semua tentang Fene dan Adrian." Jelas Edward. "Hmmmm... aku mencintai Fene dad, sangat mencintainya." tegas Bram. "Oke, pertahankan, aku akan terus menjaga kalian. Apa kamu siap dengan semua kejutan.?" Edward tersenyum merangkul bahu Bram. "Maksud daddy.?" "Aku akan mengirim Fene untuk menemui Mark, ditemani Adrian. Aku akan membuka tabir lebih kejam lagi, setelah aku mendapatkan semua bukti dari Alberth." Bram menelan slavianya, mendengar tindakan Edward, yang seakan-akan menakutkan. "Aku percaya pada Fene dad, Aku yakin itu. Fene wanita yang baik, dan tidak mudah di jebak oleh Mark." Tegas Bram. "Tapi Fene Terjebak dalam permainan ini Bram." Senyum Edward sinis. Bram mengehela nafas panjang sambil bersandar di sofa. Mata Edward sesekali bertemu dengan mata Bram. "Apa kamu akan menikahi Fene.?" "Ya dad... Aku akan menikahi Fene, setelah misi kita selesai." Bram berdiri, sambil memeluk Edward. "I love you dad. i love you so much." "i love you to son..." Edward berusaha membendung air matanya. Sesungguhnya hati Edward sangat rapuh. "Apa kita bisa menghabiskan malam bersama.?" Pinta Bram. "Why not." Edward merangkul bahu Bram, menuju ruangan keluarga tempat anak-anak berkumpul. Kebersamaan... "Uncle... kita akan berpesta.?" teriak Kevin. "Benarkah.?" Edward disambut dengan hidangan mewah malam ini. 'Begitu hangat malam ini bersama mereka, setidaknya dapat melupakan semua kepenatan pikiranku.' "Guuuuys.... Erotis netherland..." Kevin menggunakan pakaian erotis pria mencoba menari-nari dihadapan para sahabatnya. Semua tertawa bahagia, melihat beberapa adegan yang dipertontonkan oleh Kevin. "Ingat pesan Adrian, jangan jadi pecandu jika ingin kaya." Banyolan Kevin membuat ruangan keluarga menjadi sangat hangat dengan tawa canda. Edward mendengar kata-kata itu tertawa seketika. 'Rasanya aku tidak ingin melepaskan mereka.' Adriana.... Setelah kepergian Edward, Adriana terus meratap. Seperti kehilangan separuh jiwanya. Terus memanggil nama Edward dan Adrian. Adriana mengetahui dimana villa Edward. Sesungguhnya Adriana tidak bisa hidup tanpa Edward, dia laki-laki baik, setia. Tapi kali ini Adriana kalah, Mark terus mencoba merayu Adriana untuk melepas rindu. Tapi Adriana malah terjebak permainan Mark. Adriana memohon pada penjaga untuk segera mengantarkannya ke Villa Edward. "Please help me mister. Aku tak ingin berpisah dari Edward. Aku mohon, antarkan aku berjumpa Edward dan anak-anakku." Raungan Adriana sangat menggema, membuat penjaga pribadinya menuruti keinginan Adriana. Didalam mobil Adriana hanya bisa menangis dan menangis, tanpa bisa berucap. Setiba divilla, Adriana berlari menerobos masuk menembus semua pengawal mengeluarkan seluruh tenaga yang tersisa agar dapat bertemu Edward memohon agar tidak menceraikannya. "Edward.... Edward...." Suara Adriana menggema seketika diruang tamu. Edward terlonjak kaget, mendengar suara Adriana. Bram dan Adrian berlari mencari tahu keberadaan suara Adriana. Fene, Veni dan kevin beranjak menuju kamar. "Edward... Aku mohon, jangan tinggalkan aku." Adriana bersimpuh dihadapan Edward. Mata Edward melihat pengawal yang hanya diam, membiarkan Adriana menerobos villanya. "Angkat perempuan ini, aku tidak mau melihat dia disini." Teriak Edward pada pengawal. Adrian berlari memeluk Adriana. "Dad, kenapa Daddy tega...." Suara Adrian terdengar keras menatap sinis kepada Edward. "Ooooh... Kamu ingin tau dia kenapa, dia telah berkhianat dari kita, dia adalah biang keroknya." Edward menunjuk Adriana menggunakan tangan kirinya. "Mi.... Kita masuk kedalam." Adrian mencoba membawa Adriana. "Jangan pernah membawa penghianat menginjak rumahku Adrian." Tegas Edward. Bram memberi isyarat pada Adrian untuk melepaskan Adriana. Dilema bagi Adrian. "Kamu tau Adrian, dia telah berselingkuh dari papimu. Apa kamu tau, bahwa kamu adalah...." Edward tercekak. Memilih pergi meninggalkan Adriana, Adrian dan Bram. Berlalu kekamarnya. Adrian hanya bersimpuh menatap mata Adriana, "Pulang lah mi, kami baik-baik saja." Adriana memeluk erat tubuh Adrian. Dengan berat hati, Adrian lebih memilih menemui Edward untuk semua penjelasan dari pertanyaan yang sedang mengisi otaknya. "Adrian.... Adrian...." Suara tangis Adriana sangat memilukan hati Adrian. Adriana dibawa oleh pengawal Edward. "Tenanglah nyonya, biarkan tuan Edward tenang dulu." Adriana hanya menangis menuruti perintah pengawal. Bram menemani Adrian bertemu Edward dikamarnya. "Dad... Boleh saya masuk.?" Pintu kamar terbuka sedikit. Edward masih termenung didalam kamar menatap sebuah amplop coklat yang diberi Alberth siang tadi. "Ya, masuklah." Edward mempersilahkan kedua putranya duduk. "Dad... Ada apa sebenarnya.?" Edward memberikan amplop coklat itu kepada Adrian. Adrian membuka, melihat satu persatu foto-foto Adriana bersama Mark masa dulu. Sangat lusuh, tapi masih dapat dilihat. Adrian merasakan air matanya mengalir dipipi. Foto perselingkuhan Mark dan Adriana, hingga surat asli kelahiran Adrian. Adrian tertunduk. 'benarkah aku anak biologis Mark, kenapa Mami begitu tega kepada Papi.' Bram mengambil beberapa foto, Adrian kecil menggandeng Fene kecil. Seketika Bram menanyakan siapa Fene pada Edward. "Fene dan Mark dad.?" Tanya Bram pada Edward. "Fene adalah putri dari Irene Parker yang diberikan Irene pada Mark." Bram menatap nanar mata Edward, mencari kesungguhan sebenarnya melalui mata Edward. "Apakah Kevin sepupu Fene.?" Tanya Bram kaget. "Ya, Kevin dan Fene sepupu. Mark telah memberikan keuntungan lebih pada Irene." "Apakah Irene telah menjual Fene pada Mark dad.? Apa Fene mengetahui tentang ini.?" Tanya Bram lagi. Edward menarik panjang nafasnya. "Fene tidak mengetahui apapun, karena Mark mengambil Fene saat usia Fene 1 tahun." Jelas Edward pada Adrian dan Bram. "Tapi kenapa Mark tidak pernah menceritakan apapun pada Fene atau pun Mami dad.?" "Adriana mengetahui semua sepak terjang Mark, semua. Semua tentang kalian. Saat Bram dan Kevin bertemu Fene pertama kali di Swiss, saya mencari tau siapa Fene Claire Zurk. Ternyata benar, Fene adalah anak Irene dan Hanz Parker." Jelas Edward pada Bram dan Adrian. "Makanya, saya meminta Kevin untuk terus mendekati Fene, agar mau bekerjasama dengan kita untuk melawan Mark dan Irene." Tambah Edward. Adrian hanya tertunduk menggenggam fotonya bersama Chiang Lim, yang selama ini dia anggap Papi kandungnya. "Apakah Papi Lim tau perselingkuhan Mami dan Mark dad.?" Adrian mencoba tenang. "Saya tidak pernah mendengar Lim menceritakan tentang Adriana dan Mark, tapi saya rasa Lim tau semua tentang ini sebelum dia menghembuskan nafas terkahirnya. Karena Lim bukanlah pria bodoh." Senyum Edward pada Adrian. "Apakah Mami Marisa mengetahui tentang ini dad.?" Tambah Bram. "Marisa yang memberikan bukti ini pada Alberth, dan saya sudah mengetahui ini sejak lama." Edward hanya bersandar disofa menatap langit kamarnya dengan wajah yang sangat tenang. "Apakah Daddy akan memusuhi ku setelah mengetahui semua ini.?" Adrian menatap mata Edward mencari jawaban. "Kamu adalah putraku Adrian, walaupun aku belum bisa menerima kenyataan ini, bagiku kamu adalah putraku. Aku akan melakukan apapun untuk mu." Mata Edward memerah menatap Adrian. Adrian memeluk Edward menangis sesengukan dibahu Edward yang kekar seperti anak kecil yang kehilangan arah. Bram hanya bisa mengusap wajahnya dengan kedua tapak tangannya. "Aku ingin tidur disini dad." Adrian melepaskan pelukannya. "Ya... Malam ini kita akan tidur bersama disini. Bram, apa kamu akan tidur bersama kami.?" Edward menyentuh bahu Bram. "Ya... Aku sangat merindukan mu daddy." Bram memeluk Edward sambil membuka tangannya untuk Adrian. Malam itu mereka bersenda gurau bersama, memikirkan bagaimana dengan nasib Fene selanjutnya. "Dad, besok Veni akan kembali ke Jakarta, karena ada beberapa pekerjaan yang harus dia selesaikan." "Ya... Besok kamu dan Fene juga akan ke Italy. Bram dan Kevin akan mengurus barang yang sudah dikirim oleh Mr.Huang." Adrian mengangguk setuju akan rencana yang disampaikan Edward. "Ingat, lo jangan pernah merayu Fene Adrian." Sindir Bram. Adrian hanya tertawa, "Ya, ingatkan Kevin untuk tidak memberikan bingkisan pada Fene." Gelak Adrian sambil merangkul Bram. Edward hanya tertawa mendengar gurauan kedua putranya. "Saya akan mengawal Fene dan Adrian, Bram. Jangan kawatir akan itu." Sahut Edward. Membuat Adrian memeluk Edward kembali dan merangkul kepala Bram. Fene dan Kevin.... "Vin, Bram masih dikamar daddy yah.?" Fene membelai rambut Kevin yang duduk dibawahnya. Sementara Fene berada di atas kasur. "Hmmmm.... Biarlah dulu, mereka lagi melepas rindu." Tawa Kevin. "Aaaah lo... Gue kan rindu pengen dipeluk Bram." Canda Fene. "Bram apa Ad....." Bibir Kevin terhenti sejenak sambil melirik Veni. "Lo tu jangan sebar berita hoax vin." Bantah Veni sambil melempar bantal kearah Kevin. Kevin hanya tertawa. Fene merangkul leher Kevin dari belakang, "Barang lo kemaren masih ada.?" Fene melentikkan matanya menatap Kevin dari samping memutar kepala Kevin dengan paksa. "Aaaaagh, gila lo... Ntar gue digorok Bram." Bantah Kevin. "Besok gue ke italy sama Bram kan.?" Tanya Fene merangkul makin erat. "Itu gue belum tau.... Kalau ama gue, aman lo, sebab kita akan berpesta diclub." Canda Kevin. Fene menjambak rambut Kevin. Beralih kesamping memeluk tubuh Veni. "Veni hanya mengusap lembut tangan Fene, "gue besok ke Jakarta." Veni berbicara seraya memejamkan matanya. "Oooouh... Cepet banget." Fene memeluk erat tubuh Veni. "Ya... Papi akan mencoret namaku dari kartu keluarga, jika aku masih disini, hahahaha." Fene tertawa sambil mengelus tangan Veni. Mereka hanya ingin melanjutkan kegiatan mereka tanpa ada masalah. Tiba-tiba Bram masuk kekamar melihat Fene dan Veni sudah tertidur. Kevin masih sibuk dengan permainannya merasa dikejutkan oleh kehadiran Bram masuk tanpa menggedor pintu. "Vin... Kekamar Daddy." Perintah Bram pada Kevin. Tak lupa matanya mengarah pada Fene yang sudah terlelap kedunia mimpinya. "Oke." Kevin berdiri berlalu menuju kamar Edward. Kevin dikejutkan dengan cerita sebenarnya oleh Edward. Melihat semua bukti-bukti yang disodorkan padanya. Tante Irene adalah adik Mami Kevin, menikahi Hanz Parker. Memiliki anak bernama Holi Parker. Kalau Fene, Kevin tidak pernah mengetahui cerita itu. Sebab Holi adalah wanita karier di New York, jarang berkumpul dengan keluarganya. Holi Parker berkerja sebagai eksekutif disebuah Bank. "Apakah Om Hanz telah membantu semua kegilaan Mark dad.?" Edward hanya tersenyum. "Oya dad... Siapa nama keluarga Mami Marisa.? Saya pernah melihat Mami Marisa menemui Om Hanz." Tanya Kevin ingin tau segalanya. "Saya tidak tau persis tentang Marisa, karena saya tidak mengenalnya." Jawab Edward sambil membaringkan tubuhnya diatas sofa. "Bukannya Mami Marisa keluarga Parker dad.?" Lanjut Kevin sambil membuka data-data kekayaan rifal mereka. "Didata saya pemegang saham kedua Mark adalah Marisa Parker, apakah yang dimaksud itu Mami Marisa.?" Lanjut Kevin. Menurut data yang dimiliki Kevin, Edward Lincoln adalah pemilik saham terbesar 85%, Mark hanya 68%, Marisa Parker 70%, Hanz Parker 65%, Irene Stuard 45%, Adriana Lim 50%, Holi Parker 15%... "Apakah mereka menguasai semua benua dad.?" Kevin menatap serius pada Bram, Adrian dan Edward. "Saya sudah membaginya dengan baik, dulu. Tapi mereka semua serakah ingin menguasai saham saya secara keseluruhan. Disitulah awal permusuhan ini terjadi. Chiang Lim memiliki 76% yang telah diwariskan ke kamu Adrian." Jelas Edward. Bram hanya melihat pergerakan data dari layar Kevin. "Saham gue masih 34% Bram..." Tawa Kevin. "Aaaaah lo..... Pintar amat. Tapi disemua ini kenapa tidak ada nama Fene.?" Tanya Bram lagi kepada Edward. "Fene sudah diambil alih oleh Mark, dengan memberikan separoh keuntungan Mark kepada Fene." Jawab Edward. "Lo juga, kemaren belum ngasih duit Fene kan Bram.?" Ledek Kevin. "Sengaja, biar dia nggak pergi dari gue." Gelak Bram. Edward hanya tersenyum, "Licik." Suara Edward pelan. Bram hanya tertawa mendengar kata-kata Edward. "Oya Adrian, berapa saham Fene di Jakarta.?" Edward menaikkan satu alisnya. "Fene wanita tangguh diJakarta dad... Sahamnya 87%." Jelas Adrian. "Baru kemaren saya mewakili Fene untuk hadir meeting virtual bersama investor Australi." Jelas Adrian. "Oooh... Apakah dia terus bekerja selama disana.?" "Fene jarang keluar dad, hanya kantor dan rumah." Lanjut Adrian. "Ooooh... Ternyata dia wanita cerdas dapat mempertahankan warisan Mark." Edward berdecak kagum. "Fene pewaris tahta dad." Tawa Adrian pecah sambil melirik Bram. "Saya rasa Mark akan mengambil alih jika mengetahui ini semua." Edward tersenyum lirih. "Hmmmm.... Saya akan membantu Fene dad, don't wory." Ucap Adrian. "Membantu yah, bukan memanfaatkan." Sindir Bram. "Anjing lo..." Adrian bergumul diatas tubuh Bram sambil menutup mulut Bram. "Kevin tu..." Adrian menunjuk Kevin. "Kok..." Tanya Kevin kebingungan. "Lo punya kerja, ngerjain Fene." Tegas Adrian. "Hmmmm... Kalian terlalu mendramakan kisah ini." Jawab Kevin sangat santai tanpa dosa. Edward hanya mendengar racauan ketiga anaknya. Sambil geleng-geleng kepala. "Gue akan melamar Fene secepatnya." Bram mengusap matanya yang berair karena tertawa. Adrian dan Kevin saling bertatapan, Edward terduduk kaget mendengar pernyataan Bram. "Secepat inikah Bram.?" Kejut Edward. "Ya dad.... Sebelum Adrian merebutnya dariku." Tawa mereka kembali pecah seketika. Edward hanya menggelengkan kepala merebahkan kembali tubuhnya diposisi semula. Mereka bekerja keras untuk mengatur semua strategi malam itu. Semoga besok berjalan dengan baik sesuai rancana. Pagi yang indah sebelum berpisah.... Fene mendengarkan segala pengarahan yang diberi Bram padanya. Adrian masih sibuk membantu Veni. "Kamu baik-baik yah." Bisik Adrian ketelinga Veni. "Iya, kamu juga hati-hati. I love you." Veni memeluk tubuh Adrian dengan erat. Adrian membalas pelukan Veni meberikan kecupan diwajahnya. Fene dan Bram juga saling berepesan, karena mereka akan berpisah beberapa hari. Edward memberikan perlengkapan kepada Fene, dan mengeluarkan hp tercanggih untuk Fene. "Semua nomor sudah ada disana. Ingat jangan gegabah. Kalau ada apa-apa hubungi saya segera. Saya percayakan sama kamu untuk mengatasi Mark." Suara Edward terdengar berat. "Ya dad... Thanx." Fene memeluk Edward. Memeluk Bram, Kevin dan Veni. Mereka semua berpisah menuju tempat sesuai schedul. Tobe continue....
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD