Bab 3

946 Words
Dering ponsel kembali terdengar. Entah sudah ke berapa kalinya. Aku sengaja tak menggubris. Biar saja dia bosan. Aku tak terlalu peduli dengan segala urusan atau kebohongannya lagi. Lebih baik fokus dengan kakiku, belajar jalan sampai dia tak sadar jika istri lumpuhnya itu sudah bisa berlari.  Jika dia bisa berpura-pura lajang untuk bisa mencuri hatiku, aku juga bisa berpura-pura tetap di kursi roda untuk menyelidiki apa sebenarnya rencana busuk di balik sandiwaranya.  Benar kata orang, cinta dan benci hanya terpisah serat tipis. Orang yang begitu mencinta bisa saja berubah menjadi begitu membenci. Pun sebaliknya. Seperti halnya apa yang kurasa.  Tak kurang rasanya cinta yang pernah kuberikan padanya, namun nyatanya dia hanya membalas dengan dusta. Kini, entah mengapa cinta yang dulu begitu erat kugenggam dan kudekap dalam d**a, hilang seketika. Lenyap ditelan sakit dan kecewa.  |Sayang, maaf aku sepertinya pulang telat. Ada hal yang tak bisa kutinggalkan. Kamu marah? Atau kenapa? Tumben sekali tak ada pesan darimu dua hari belakangan? Padahal biasanya tiap kali mengaktifkan ponsel, banyak sekali pesan yang kamu kirimkan padaku saat aku bertugas di luar kota. Kamu sakit, Sha?|  Kuhembuskan napas panjang membaca pesan yang dikirimkan Mas Dimas barusan. Sebelumnya, pesan-pesan seperti itu yang paling kutunggu. Pesan yang menggambarkan kekhawatirannya padaku. Bukan pesan yang hanya kata-kata singkat untuk sekadar menjawab pertanyaan yang kuberikan.  Kini, saat dia mulai peka akan ketidakberesanku, mengapa semua terasa hambar? Bahkan aku tak peduli lagi dia akan menanyakan kabarku atau  tidak. Aku tak peduli dia akan menelepon atau justru cuek atas perubahan sikapku.  Duniaku memang berubah secepat itu. Entah apa yang dilakukannya kini, pasti ada sesuatu yang terjadi antara dia dengan istri pertamanya. Apa mungkin perempuan itu melahirkan? Seperti kata teman-teman Mas Dimas di grup itu jika istri pertamanya memang sedang hamil bahkan hampir melahirkan. Atau kini mereka masih asyik liburan dan belum puas untuk berduaan?  Ah entah! Yang kupikirkan saat ini adalah kesembuhan papa dan kesembuhan kakiku. Setidaknya jika semua sudah membaik, aku akan menyelidikinya sendiri. Untuk sementara, biarlah aku pura-pura tak tahu apa yang sebenarnya dia lakukan tiap kali pamit untuk tugas.   Perlahan menjauh dan bersikap biasa saja mungkin lebih baik daripada aku harus seperti dulu yang seolah begitu mencintanya hingga dia dengan mudah menjadikanku b***k cinta.  |Maaf baru balas. Aku sakit, Mas. Dan aku malas menatap ponsel terlalu lama. Terserah kapan kamu pulang, yang penting jika urusan kelar segera lah pulang. Kalau ada apa-apa jujur saja. Jangan ada dusta di antara kita|  Kukirimkan pesan itu padanya. Aku yakin dia pasti agak kaget membaca pesan yang kukirimkan. Biar saja. Biar dia tahu jika aku memang sudah berbeda.  Biar dia menerka-nerka apa yang sebenarnya terjadi, hingga membuatnya pusing sendiri. Karena aku tak akan pernah menjelaskan apa yang sebenarnya membuatku seperti ini.   |Sakit apa, sayang? Aku minta Pak Kosim antar ke rumah sakit, ya? Atau minta Mbak Harti untuk menemanimu ke sana? Maafkan aku sayang aku benar-benar belum bisa pulang. Masih ada hal penting yang harus kukerjakan|  |Sepenting itu kah urusanmu sampai mengesampingkan istrimu yang sedang sakit?|  Sengaja kukirimkan pesan itu padanya. Aku hanya sekadar ingin tahu, alasan apalagi yang akan diberikannya padaku. Setidaknya aku bisa menakar, seberapa besar cinta yang dulu pernah dia ucapkan.  |Kamu dan urusan ini sama pentingnya, sayang. Percayalah, kalau semua urusan kelar, aku akan segera pulang. Apa kakimu sakit lagi?|  Aku hanya bisa tersenyum kecut membaca balasan darinya. Cinta ... entah cinta seperti apa yang dia pamerkan padaku hingga aku bisa bertekuk lutut waktu itu. Cinta yang hanya sekadar ungkapan tak pernah ada pembuktian. Pintar sekali dia memainkan perasaanku.  |Fin, apa kamu ikut Pak Dimas ke luar kota?|  Kukirimkan pesan pada Fina, sekretaris di kantor yang sudah hampir sepuluh tahun bekerja di kantor papa. Biasanya tiap ada tugas penting dari kantor, dia selalu ikut karena dia memang salah satu tangan kanan papa.  |Ikut Pak Dimas ke luar kota ngapain mbak? Nggak ada tugas penting minggu ini| Lagi-lagi aku hanya tersenyum kecut membaca balasan dari Fina. Dugaanku tepat. Tak ada tugas penting minggu ini dari kantor karena memang Mas Dimas memiliki tugas penting lainnya bersama istri pertamanya.  |Ada hal yang mencurigakan dari Pak Dimas selama di kantor nggak Fin? Telepon seseorang perempuan atau apa gitu?|  |Memangnya kenapa mbak? Apa mbak mencurigai Pak Dimas?| |Kamu masih bisa diandalkan dan dipercaya kan, Fin? Katakan apa yang kamu tahu soal Pak Dimas. Kujamin namamu aman karena papaku yang memberimu gaji bukan dia|  Aku yakin Fina ketakutan jika akan cerita panjang lebar tentang atasannya padaku. Dia tahu papa sudah memberikan kepercayaan penuh pada Mas Dimas untuk mengurus kantor selama lima bulan dia bolak-balik ke rumah sakit. Papa bahkan tak pernah lagi memeriksa urusan kantor apalagi soal keuangan. Aku pun selama ini cukup terlena, karena kupikir Mas Dimas memang bisa diandalkan dan dipercaya.  Tapi sejak aku tahu obrolan teman-temannya itu, mendadak pikiranku ke mana-mana. Hati kecilku begitu yakin, banyak sekali rencana dan sandiwara yang sudah dia persiapkan dan dia susun begitu rapi sebelumnya. Sampai aku tak sadar jika cinta yang dia berikan semu belaka.  |Katakan yang kamu tahu, Fin.| Kukirimkan pesan padanya sekali lagi agar dia mau lebih terbuka. Sudah kepalang tanggung, lebih baik aku tahu semuanya sekarang daripada harus menunda-nunda lebih lama lagi. Percuma toh sekarang atau besok sama saja. Sama-sama menyakitkan dan mengecewakan.  |Beberapa hari ini banyak paket yang datang ke kantor atas nama Pak Dimas, Mbak. Aku tak tahu apa isinya tapi sempat kulihat beberapa paket dikirim dari baby shop dari sebuah market place|  Kupejamkan mata perlahan setelah membaca pesan yang dikirimkan Fina. Lagi-lagi firasatku benar, mungkin saat ini Mas Dimas memang sedang menanti kehadiran buah hatinya bersama perempuan itu. Semua biaya dan pengeluaran yang dia keluarkan berasal dari kantor papaku.  Ah ya! Apa dia sengaja menikah dengan gadis lumpuh sepertiku hanya karena aku kaya? Bukan karena cinta?  *** 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD