Bab 2

1010 Words
Hujan rintik-rintik mengisi keheningan malam. Angin dingin menembus masuk dari celah jendela. Denting jam mulai merayap naik. Saat ini sudah pukul sebelas malam, tapi mata belum jua bisa terpejam. Aku biasanya tak pernah seinsomnia ini. Aku selalu bisa tidur cepat. Namun malam ini memang sangat berbeda. Pikiranku melayang ke mana-mana. Mengingat masa lalu sebelum dan sesudah menikah dengan Mas Dimas. Rasanya terlalu manis hingga membuatku benar-benar tak habis pikir jika Mas Dimas sudah menipuku dan papa sejauh ini. Kepalaku pusing tapi mata belum jua bisa terpejam. Aku masih terus memikirkan Mas Dimas dan aku benar-benar nggak bisa tidur. Bagaimana aku bisa tidur jika sampai detik ini, Mas Dimas belum juga memberi kabar padahal dia sendiri bilang akan segera memberiku kabar jika urusannya sudah kelar. Urusan yang baru tadi pagi kutahu jika itu tak ada sangkut pautnya dengan urusan di kantor papa melainkan urusannya sendiri dengan istri pertamanya yang entah kapan kelarnya. Mau menghubungi pun aku tak tahu nomor barunya. Lagipula gengsiku terlalu tinggi untuk menghubunginya lebih dulu sejak tahu kelicikannya itu. Padahal sebelumnya, aku tak pernah absen menanyakan kabarnya meski semua hanya sia-sia, karena tiap kali Mas Dimas ke luar kota, dia mematikan ponselnya. Aku harus rela menunggu, kapan dia sempat menghubungiku. Saat ini, aku tak mungkin merendahkan diri sendiri dengan mencari tahu keberadaannya seperti biasanya. Biar saja dia puas. Sesuka hatinya. Sebelum semua fasilitas yang dia punya kembali ke tempatnya. |Sayang, lagi ngapain? Ini aku Dimas suamimu. Maaf sayang baru bisa kirim kabar, ponselku hilang. Sudah kucoba telepon berkali-kali namun tak aktif. Entah jatuh di mana. Kalau jatuh di rumah, tolong simpan dulu ya, sayang. Aku besok pulang| Sebuah pesan dari nomor baru muncul di aplikasi hijauku. Nomor baru Mas Dimas ternyata. Tengah malam baru dia memberiku kabar. Begini kah nasib sebagai istri kedua? Harus rela mendapatkan waktu yang tersisa? Malas sekali membalas pesannya jika teringat obrolan teman-teman lelakinya di grup w******p tadi pagi. Sungguh, hati ini masih terasa perih dan nyeri. |Sayang, kamu belum tidur, kan? Aku tahu kamu pasti masih rebahan di kamar. Mana mungkin kamu bisa tidur kalau aku belum memberi kabar| Lagi-lagi sebuah pesan masuk di ponselku. Air mata mulai menitik satu-satu. Kamu tahu kebiasaanku, Mas. Aku tak mungkin bisa tidur jika kamu belum memberi kabar, itu benar. Bahkan berulang kali kamu bilang jangan menghubungi saat kamu ke luar kota, biar kamu yang menghubungiku dulu, aku pun tak mempedulikan itu. Beberapa jam sekali pasti kukirimkan pesan singkat padamu. Meski kutahu kamu tak mungkin membalasnya secepat yang kumau. Jangankan membalas pesanku bahkan kadang kamu tak membaca pesan-pesan yang kukirimkan hingga hari telah berganti. Entah kesibukan seperti apa yang dia lakukan tiap kali keluar kota, sampai membalas pesan dari istrinya saja seolah tak sempat. Kamu tahu mas, bagaimana khawatirnya aku tiap kali kamu pamit ke luar kota. Jangankan ke luar kota, sekadar ke kantor saja aku selalu menanti pesan singkat darimu. Sekadar bilang bahwa kamu sudah sampai kantor dalam keadaan baik-baik saja. Entah mengapa begitu mengkhawatirkanmu. Tak tenang rasanya jika aku belum tahu bagaimana keadaanmu. Maafkan aku yang mungkin terdengar over protektif. Tapi begitulah aku. Tak bisa dipaksakan sama dengan perempuan lain yang mungkin biasa saja jika suaminya berangkat kerja. Atau mungkin itu lah salah satu caraku untuk mencintaimu. Sama sekali aku tak menyangka jika perhatian, kesetiaan dan kekhawatiranku tentangmu selama ini justru hanya kamu jadikan pelampiasan. Aku tak sadar jika selama ini kamu sudah mengkhianati cinta tulus yang sudah kubangun dan kutitipkan padamu. Cinta yang kupikir akan menjadi yang pertama dan terakhir, namun nyatanya kini harus hancur berkeping-keping karena sebuah sandiwara penuh dusta. Luka di hatiku detik ini jauh lebih dalam dan sakit dibandingkan luka kakiku setahun lalu karena kecelakaan itu. "Aku mencintaimu, Lisha. Apa pun yang terjadi padamu, cinta itu tetap akan tumbuh. Bukan kah dokter bilang jika kamu hanya lumpuh sementara? Kenapa aku harus mengkhawatirkannya?" Ucapan cinta yang dulu selalu kamu koarkan ternyata hanya semu belaka. Palsu tiada pernah nyata adanya. Bodohnya aku yang dimabuk cinta percaya jika semua ucapanmu tak mungkin dusta. Aku yang salah memang, terlalu mempercayaimu yang licik dan curang. "Tapi aku lumpuh, Mas. Aku nggak mungkin bisa melayanimu dengan baik. Aku nggak bisa menjadi istri seperti yang kamu harapkan," ucapku lirih di sela isakku. Kamu yang saat itu baru beberapa bulan bekerja di kantor papa, namun sudah membuatku jatuh cinta dengan kegigihan dan semangatmu dalam bekerja. "Lumpuh di kakimu tak akan pernah melumpuhkan cintaku, Lisha. Percayalah, kamu akan tetap menjadi yang terbaik di hatiku. Kamu bisa menjadi istri yang baik dengan caramu, meski kaki tak bisa melangkah namun hati dan ketulusanmu tak akan pernah kalah. Aku yakin keputusanku tak salah, aku sangat bersyukur jika kamu mau menerima cinta ini. Atau-- "Atau apa mas?" tanyaku gugup. "Atau kamu memang merasa aku bukan levelmu? Karena kasta kita memang jauh berbeda. Kamu punya segalanya, sementara aku hanya pemuda kampung yatim piatu yang tak punya harta benda." Air mata ini menetes seketika saat kamu mengatakan itu. Bagaimana mungkin aku memikirkan soal harta, sementara dalam hatiku disesaki bunga cinta. Aku hanya takut kamu tak bisa menerima kekuranganku, itu saja. Apalagi saat kudengar kamu memiliki hubungan spesial dengan teman SMA mu. Rasanya hati ini semakin tak karuan. "Bukan kah kamu punya hubungan dengan teman SMA mu di kampung, Mas?" "Siapa? Niken? Hahaha teman kecilku itu sudah menikah beberapa bulan yang lalu, Lisha," ucapmu dengan suara bergetar. Aku tak pernah curiga apa pun yang kamu katakan, termasuk tentang hubunganmu dengan perempuan itu yang sekadar teman biasa, katamu. Lagi-lagi, bodohnya aku terlalu percaya akal bulusmu. Memang benar perempuan itu sudah menikah, namun ternyata bukan dengan lelaki lain seperti dugaanku melainkan denganmu! Astaghfirullah ... kepolosan yang kamu tunjukkan selama ini ternyata penuh kepalsuan. Entah apa yang sudah kamu rencanakan selanjutnya, aku pun tak tahu. Tapi yang pasti, aku tak akan pernah membiarkan seorang pun menghancurkan perasaan dan perusahaan papaku. Banting tulang dia membangun semuanya, tak mungkin kubiarkan kamu menikmati hasilnya dengan perempuan itu sesukamu. Kamu harus tahu, Mas. Cintaku memang dalam, namun sakit hati yang kini menjalar di hatiku jauh lebih dalam. Begitu lah bangkai, serapat apa pun kamu menutupi, angin pasti akan menyebarkan dan membawa baunya pergi. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD