Bertemu Calon Ibu Mertua

1584 Words
"Arumi, setelah makan kamu ke kamar papa," pinta Aditya sesaat setelah ia mengusap mulutnya dengan tisu. Arumi melihat ke arah Aditya, memperhatikan lelaki yang sudah menduda lima tahun karena ibunya meninggal karena sakit. "Iya pa," jawab Arumi yang duduk di samping Aditya. Sementara Bella yang duduk di hadapan Arumi menyunggingkan senyumnya pada kakaknya. Aditya pun meninggalkan meja makan. Setelah menyadari Aditya tak lagi di ruang makan Arumi melihat ke arah Bella. "Kakak pasti diminta untuk bertemu dengan calon suami kakak," tebak Bella sambil menyimpan sendok yang ia pegang. "Seyakin itu kamu?" Ujar Arumi. Bella mengangguk. Sementara itu Elsa, bibi dari Arumi dan Bella yang tak lain adik dari Aditya hanya bisa mendengar percakapan kedua keponakannya itu. Elsa memang tak banyak bicara. Sejak kakak iparnya meninggal, Elsa diminta tinggal di rumah Aditya. Elsa yang belum berkeluarga pun menyanggupinya karena hanya tinggal sendiri. Bella menatap wajah Arumi lekat. "Kalau menurut aku sih lebih baik kakak terima saja pinangan anak ayah itu," ucap Bella. Arumi meneguk air mineral yang ada di dekatnya, menghabiskannya dan meletakkannya di atas meja. "Sudah ah kakak mau menemui papa dulu," ucap Arumi sambil bangkit dari duduknya. "Bibi, aku menemui papa dulu. Piring kotor biar Arumi saja yang cuci nanti ya," ujar Arumi sambil melihat ke arah Elsa. Elsa pun tersenyum seraya mengangguk. Setelah itu Arumi pun meninggalkan meja makan. "Ah semoga saja kakak mau menikah dengan anak teman papa," ucap Bella kemudian. Jika dibandingkan Bella, Arumi memang lebih mengerti pekerjaan rumah. Hanya Arumi yang selalu membantu Elsa di rumah itu. Berbeda dengan Bela yang cuek dan tak pernah mengerjakan pekerjaan rumah. Arumi berjalan dengan langkah pasti ke arah kamar ayahnya yang ada di lantai satu. Rumah Aditya memang mempunyai dua lantai, tapi rumahnya minimalis. Aditya bukanlah pengusaha besar. Ia hanya pengusaha biasa yang memiliki sebuah toko. "Pa," ucap Arumi sambil menutup pintu dan melihat Aditya yang tengah duduk di meja kerjanya sambil menatap layar laptop. Aditya melihat ke arah Arumi dan tersenyum. Aditya berdiri dari duduknya. "Ayo duduk, ada hal yang sangat penting yang ingin papa bicarakan padamu," ujar Aditya sambil menunjuk sofa yang ada di kamarnya. Arumi mengangguk dan menuruti perkataan Aditya hingga akhirnya anak dan ayah itu duduk. "Begini Arumi, mau tidak mau. Suka tidak suka, papa harap kamu akan tetap menikah dengan anak teman papa," ucap Aditya tegas. Arumi mengerutkan keningnya. "Begini Arumi," ucap Aditya saat melihat anak sulungnya itu hendak bicara. Arumi pun mengurungkan niatnya yang akan bicara. "Papa sebenarnya punya hutang yang cukup besar pada teman papa itu," ucap Aditya dengan suara berat. Aditya sebenarnya tak ingin melibatkan Arumi dalam hal ini. "Tapi?" Ucap Arumi menanggapi ucapan Aditya. "Teman papa minta kamu dinikahi anaknya saja. Jika kamu menikah dengan anaknya, maka hutang papa lunas," jawab Aditya tegas. "Hah!" Arumi melebarkan matanya. "Jadi, aku dijadikan penebus hutang? Begitu pa?" Tanya Arumi dengan tatapan tak percaya. "Maaf Arumi. Sepertinya memang begitu." "Papa tak punya pilihan lain. Kamu tahu sendiri usaha papa sedang jatuh," ungkap Aditya mengatakan hal yang sebenarnya. Arumi menghela nafasnya. Ia memang lebih tahu kondisi keuangan ayahnya dibandingkan Bella. Melihat Arumi terdiam, Aditya pun angkat bicara lagi. "Kamu tenang saja Arumi. Keluarga teman papa itu baik, bahkan anak mereka tahu kamu. Jadi menurut papa kalian tak akan sulit untuk adaptasi," ucap Aditya lagi. Arumi benar-benar tak bisa berpikir. Selama ini Aditya tak pernah meminta apapun darinya. Tapi ia merasa permintaan ini sangat membuat ia keberatan. "Arumi, papa mohon," ucap Aditya pelan dan suara Aditya yang seperti itu membuat Arumi memejamkan matanya. "Papa meminjam uang pada teman papa untuk pengobatan ibumu. Jika kamu tak menikah dengan teman papa itu sudah dipastikan kita akan kehilangan semua hal yang kita punya sekarang. Bella juga mungkin akan putus kuliah," lirih Aditya. Arumi membuka matanya, lalu melihat ke arah Aditya. "Baiklah pa, aku bersedia dinikahi anak teman papa," jawab Arumi sedikit ragu. Mendengar jawaban putri sulungnya itu mata Aditya berbinar. "Kamu tidak bercanda kan nak?" Tanya Aditya sambil berdiri. "Tidak pa." "Jika memang ini akan memperingan beban papa, Arumi akan siap melakukannya," ucap Arumi yang masih duduk di sofa. Aditya langsung meminta Arumi untuk berdiri. Arumi menerima pelukan hangat dari Aditya, tapi perasaan Arumi saat itu tak menentu. Keesokan harinya. Arumi masuk ke ruang makan dengan masih memakai pakaian tidur dan di meja makan hanya ada Bella dan Elsa. "Loh, papa kemana?" Tanya Arumi sambil duduk di kursi yang ada di seberang Bella. Bella saat itu sedang mengunyah makanan. "Ke toko," jawab Elsa. Arumi melihat ke arah Elsa. "Sepagi ini bi?" Tanya Arumi heran. Karena tak biasanya papanya ke toko pagi sekali. "Bibi juga tidak tahu kenapa," jawab Elsa apa adanya. "Oh iya Arumi. Kamu segeralah sarapan. Satu jam lagi akan seseorang yang menjemputmu," ujar Elsa. Arumi mengerutkan keningnya. "Ada yang menjemputku? Siapa?" Tanya Arumi. *** Satu jam kemudian Elsa mengetuk pintu kamar Arumi dan tak berselang lama pintu terbuka dan Arumi sudah siap dengan pakaian andalannya. Kaos dan celana jeans. "Arumi, bisakah kamu ganti pakaianmu dengan pakaian yang lebih feminim?" Tanya Elsa tampak kurang setuju saat melihat style pakaian keponakan. "Nggak bisa bi. Aku lebih nyaman seperti ini," jawab Arumi sambil nyengir dan menutup pintu kamarnya. "Arumi, kamu ke rumah keluarga calon suamimu loh. Bibi minta kamu ganti pakaian dulu ya? bibi mohon," ucap Elsa sambil menangkupkan tangannya. Arumi langsung menyentuh tangan Elsa dan menurunkannya. "Aku tak ingin jadi orang lain bi. Biarlah keluarga calon suamiku tahu aku ini bagaimana aslinya," ucap Arumi sambil tersenyum. Elsa menghembuskan nafasnya. "Jemputannya sudah datang ya bi?" Tanya Arumi sambil menatap Elsa. Elsa pun mengangguk. "Iya Arumi. Sopir keluarga El Zein sudah ada di depan," jawab Elsa. "Oke, aku akan segera turun bi. Aku duluan bi," ucap Arumi sambil meninggalkan Elsa yang masih berdiri di depan kamarnya. Elsa hanya bisa menggelengkan kepalanya. Sesampainya Arumi di teras, Arumi tampak terkejut saat melihat mobil mewah yang ada di depan pintu. "Selamat pagi nona. Perkenalkan saja Pram, sopir keluarga El Zein. Saya diminta nyonya besar untuk menjemput anda. Silahkan masuk," ucap sopir berusia empat puluh tahunan memperkenalkan diri setelah itu ia membuka pintu belakang mobil. Arumi pun mengangguk dan masuk ke mobil itu. Tak lama setelah itu sopir masuk dan mulai menjalankan mobilnya. Baru kali ini Arumi menaiki mobil mewah. Di mobil Arumi lebih banyak diam karena wajah Pram tidak tampak ramah sama sekali. Setelah menempuh perjalanan selama kurang lebih satu jam lamanya mobil sedan mewah itu pun memasuki sebuah gerbang yang terbuka secara otomatis. Dua satpam tampak berdiri di dekat pos menyambut kedatangan mobil sedan mewah itu. "Wow," ucap Arumi pelan. Ia takjub melihat gerbang yang terbuka secara otomatis dan melihat taman yang cukup luas. Hingga beberapa menit kemudian mobil berhenti di depan pintu rumah cukup besar dan mewah. Lagi-lagi Arumi terlihat takjub, di sisi lain Pram keluar dari kursi kemudi. "Kita sudah sampai nona," ucap Pram sambil mempersilahkan Arumi untuk masuk. Arumi mengangguk dan keluar dari mobil mewah itu. Saat Arumi keluar, sudah ada dua orang lak-laki yang memakai seragam pelayan. "Silahkan masuk nona. Nyonya besar sudah menunggu Anda," ucap salah satu pelayan mempersilah Arumi berjalan terlebih dahulu. Arumi mengangguk dan mulai berjalan diikuti dua pelayan di belakangnya. 'Nyonya besar? Apa nyonya besar itu sudah sangat tua? Dan aku akan menikah dengan lelaki tua?' Pikir Arumi. "Ke sebelah sini nona," ucap pelayan memberitahu. Arumi pun menghentikan langkahnya dan mulai masuk ke sebuah ruangan. "Silahkan nona duduk dulu, nanti nyonya besar akan kemari untuk menemui anda," ujar pelayan. Arumi pun mengangguk. Arumi mendudukan tubuhnya di sofa yang ada di sana. Kini hanya ada Arumi saja di ruangan itu. Ia memperhatikan detail ruangan itu dengan seksama. 'Mewah. Semuanya pasti mahal. Apa iya aku akan siap dengan ini semua? Aku akan menjadi bagian dari keluarga ini? Keluarga super kaya?' Pikir Arumi. "Selamat pagi," ucap seorang wanita dari arah belakang Arumi. Arumi langsung berdiri dan melihat ke sumber suara. Arumi melihat ke arah Delian yang diikuti seorang pelayan perempuan di belakangnya. "Selamat pagi nyonya," jawab Arumi sambil menundukan kepalanya, tak berani menatap wajah Delian yang sangat cantik dan anggun. "Ayo silahkan duduk lagi. Tak usah sungkan," ucap Delian sambil berjalan dan mendudukan tubuhnya di sofa. Delian sedikit melihat ke arah pelayan yang mengikutinya. "Kamu boleh pergi dulu," ujar Delian. Pelayan itu membungkukan sedikit tubuhnya dan pergi dari ruangan itu. Tak lama setelah itu dua orang pelayan masuk dan menyajikan minuman di atas meja. Semua pekerja di rumah itu memakai seragam dan itu membuat Arumi semakin merasa rendah diri. Tak lama kemudian dua pelayan itu keluar dan menutup pintu ruangan itu. "Selamat datang di kediaman El Zein, Arumi," ucap Delian. Arumi tersenyum kaku. "Saya Delian, calon ibu mertuamu," Delian mulai memperkenalkan diri. "Saya sangat senang saat tahu kamu bersedia menikah dengan anak saya," ujar Delian kemudian. Arumi bingung harus bilang apa. "Iya nyonya. Salam kenal dari saya Arumi." "Oh iya nyonya, apa nyonya tidak keberatan saya berpakaian seperti ini?" Tanya Arumi memberanikan diri. Delian pun tersenyum. "Tidak sama sekali." "Saya menyukaimu dari kepribadianmu Arumi." "Sebenarnya saya sudah sejak dulu mengincar kamu untuk menjadi menantu saya," ungkap Delian. "Sejak dulu?" Tanya Arumi mengerutkan keningnya. Delian mengangguk seraya tersenyum. "Kamu jangan pikirkan dulu itu. Karena kamu sudah setuju menikah dengan anak saya, jadi mari kita persiapkan pernikahan kalian." "Kemungkinan besar anak saya tak bisa ikut dalam persiapan pernikahan kalian karena dia masih di luar negeri," ujar Delian memberitahu. Arumi pun hanya bisa mengangguk. "Silahkan diminum dulu tehnya," ucap Delian pada Arumi. Arumi pun mengambil cangkir dihadapannya, begitupun Delian. Setelah keduanya menyimpan kembali cangkir teh itu. Arumi pun bertanya, "Em, maaf nyonya. Kalau boleh tahu siapa anak nyonya yang akan menikah dengan saya itu?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD