Kirana Mulai Tampak Lagi

1724 Words
“Iya, Kak. Maafkan aku karena ulahku. Kini dia dan anak kalian harus hidup seperti ini,” sesal Amir lirih. “Ah! Sudahlah yang terpenting bagiku saat ini, aku sudah mengetahui di mana dia tinggal,” sahut Abizard dengan sebuah senyuman yang menyebabkan daerah matanya terlihat berkerut sehingga menyipit. “Terima kasih, Kak, kamu selalu menjadi penyelamat hidupku.” “Apa kamu merasa bersalah telah menyembunyikan ini semua dariku?” “Sangat! Selama ini aku tidak bisa hidup dengan tenang, Kak.” Dua pria terlihat memperhatikan aktivitas yang terjadi di sekitar rumah tersebut dari kejauhan. Abizard tampak gugup ketika menanti keluarnya sang pujaan hati dan juga anak yang kata Amir sangat cantik. Ia bahkan kembali mengulangi merenggangkan sendi jari-jemarinya. “Ayo, kita turun, Kak. Temui dia sekarang juga,” ujar Amir baru saja akan membuka kunci pintu mobil. “Mir, jangan sekarang. Aku rasa, aku belum sanggup menemui dia sekarang,” tutur Abizard. Seketika membuat, Amir terperanjat. “Kenapa, Kak? Bukankah, Kakak sangat menginginkan untuk bertemu dengannya.” “Kamu benar, akan tetapi entah kenapa kali ini aku ragu. Entah, ‘lah―” “Ayolah, Kak. Tunjukkan bahwa Kakak itu sangat menyayanginya.” “Belum sekarang, Mir.” Ketika, Abizard dan Amir tengah berbincang. Keluarlah seorang anak perempuan dengan wajah ayu dan rambut kecokelatan ikal yang tergerai indah. Ia juga memiliki bentuk dan rupa wajah yang teramat mirip dengan Abizard. Melihat hal tersebut, Abizard langsung terdiam mematung. Tampak jelas di matanya ada kerinduan yang sangat dalam. Diikuti pula dengan seorang wanita cantik yang mana sosoknya sangat tidak asing bagi Abizard. Wanita cantik itu berteriak memanggil nama, ‘Emilia.’ Tentunya panggilan tersebut, ditujukan kepada sang anak yang saat ini tengah berlari menjauhi pintu rumah. Kemudian ia berlari mengarah pada sebuah pohon mangga dengan ayunan yang terbuat dari ban bekas. Dengan warna merah muda. Dengan tawa riangnya dia bermain ayunan tersebut dengan penuh kebahagiaan. Tidak lama setelah itu menyusulah seorang wanita paruh baya. Dengan tertawa riang keduanya bercanda, dan berbincang hangat di bawah rimbunnya pohon mangga yang tengah berbunga lebat. Sang nenek tampak dengan sabar mengayunkan ban bekas, yang sudah di lilit tali tambang dengan sangat kuat. Lalu setelah itu, kembali diikatkan pada dahan pohon yang sudah besar dan terlihat kokoh. “Mir, katakan padaku bahwa ini bukan mimpi! Ini bukan khayalan yang akan hilang ‘kan?” ungkap Abizard seolah masih tak percaya dengan apa yang terjadi. “Tidak Kak. Itu semua kenyataan yang sedang terjadi.” Tanpa terasa butiran air mata mulai jatuh di pelupuk mata Sang CEO Sukses Nan Kaya Raya. Penguasa perusahaan raksasa pada ibu kota negara yang mereka tinggali. Selama ini, Abizard selalu dikenal sebagai sosok lelaki yang tegas, dingin, terkesan angkuh, dan tidak pernah mudah luluh terhadap apa pun. Bahkan, sepertinya kematian sekalipun dia tidak akan meneteskan air mata. Namun, kali ini dia benar-benar tersentuh. Ketika melihat sang buah hati yang sudah tumbuh besar serta mewarisi kecantikan sang kekasih. “Nenek, ayo, lebih kencang lagi, ‘dung,” pekik sang bocah ayu. “Nanti kalau terlalu kencang, Emilia bisa jatuh, luka, bahkan bisa cedera,” jawab sang nenek penuh kasih sayang. “Enggak, Nek. Emilia ini ‘kan anak yang kuat dan juga sangat terlatih.” “Hahaha. Kalau begitu Emil tidak akan menangis kalau terjatuh?” “Tidak!” Mendengar ucapan sang cucu, Beliau hanya bisa tertawa. Keduanya tampak sangat menikmati kehidupan. Setelah sang bocah turun dari ayunan ia berlari dengan dipenuhi tawa riang. Abizard yang menyaksikan hal tersebut dari dalam mobilnya. Ia terdiam membisu dengan mata yang terus mengeluarkan air bening yang sungguh sulit untuk melihat kehadirannya. “Ayolah, dekati mereka, Kak,” kata Amir berusaha meyakinkan kembali sang kakak agar mau mendekati anaknya sendiri. “Tidak! Tidak sekarang, Mir. Aku akan mencari waktu yang tepat untuk menemui mereka semuanya,” jawab Abizard dengan terus memperhatikan anaknya, “selidiki mereka, dan atur serapi mungkin. Buat aku bisa menemui mereka berdua tanpa harus mengkhawatirkan segala sesuatu.” Dengan raut wajah yang sangat serius, Abizard memerintahkan sang adik bisa mengatur waktu bertemu ia dan Almahyra. Sebagai seorang kakak dan juga sebagai, Mentor, Atasan, dan juga Sahabat. Amir memang diharuskan membantu sang kakak menyelesaikan masalahnya kali ini. Amir sendiri menyadari, banyaknya hutang budinya pada sang kakak. “Baik Kak.” “Sekarang, ayo kita jalan! Kita pulang ke hotel. Setelah itu kamu pikirkan bagaimana solusinya,” tutur Abizard dengan nada yang sudah kembali serius dan berwibawa. “Baik, Kak.” Amir menuruti perintah sang kakak untuk segera meninggalkan kediaman Almahyra. Keduanya kembali ke hotel. Sepanjang perjalanan menuju hotel. Abizard hanya terdiam dengan mata tertutup dan bersandar pada bangku mobil. Sesampainya di hotel. Amir langsung memikirkan sebuah rencana. Untuk mengatur pertemuan antara sang kakak dengan wanita yang merupakan separuh jiwanya. Abizard masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Setelah itu ia duduk di samping tempat tidur dengan wajah tertunduk, dan garis mukanya terlihat murung Tangannya memegangi kening. Sepertinya rasa pusing tengah menderanya saat itu, Abizard pasti tengah memikirkan wanitanya. “Aku tidak akan melepaskan kamu lagi kali ini, Sayang,” gumam Abizard dengan menggenggam erat sisi ranjang. “Sudah lama sekali aku menanti datangnya hari ini.” “Kali ini siapa pun yang mencoba menghalangiku. Dia akan melihat siapa aku sebenarnya!” Secara bersamaan meski di tempat yang berbeda Atertulispun tengah duduk pada sebuah kursi taman. Ia memandangi air kolam dengan ribuan ikan hias di dalamnya. Di bawah pohon rindang, Almahyra mengeluarkan sebuah buku dari dalam ttasnya Dia memandangi buku tersebut, lalu tersenyum tipis memperhatikan sampul buku dengan warna merah muda. Pada sampulnya tertulis, “Cara Melepaskan Dengan Senyuman.” Jemari lentiknya mengelus sampul buku itu kemudian dia memeluknya. Diikuti dengan terkembangnya senyuman manis. “Sayangnya aku tidak bisa melupakan dia,” gumam Almahyra masih dengan senyuman yang sama. “Tapi apa dia juga merasakan hal yang sama denganku?” “Halah! Aku sudah gila! Dia sudah menikah, mungkin saja saat ini mereka tengah menanti kelahiran anak keduanya.” Almahyra berasumsi sendiri dengan pikirannya. Dia tidak pernah terpikirkan bahwa ke depannya dia akan kembali bertemu dengan pria yang dinantikannya. “Aku terlalu naif sampai tidak pernah sadar bahwa kamu juga tidak pernah bisa melupakan aku. Tapi kini aku yakin kamu akan terus menanti kedatanganku, Sayang,” ujar Abizard dari kamar hotelnya. Berbicara seorang diri dengan memandangi seutas kalung. Itulah hal yang paling digemari oleh Abizard. Benda itu yang selalu dia kenakan selama ini. Meski berada di tempat yang berbeda, dengan tidak saling mengetahui kabar satu sama lainnya. Namun tampaknya ikatan cinta di antara mereka tidak pernah memudar. Abizard dengan pencariannya, sedangkan Almahyra dengan penantiannya. Keduanya saling terpaut meski tak saling bertegur sapa. Ketika cinta itu dibentuk dengan teguhnya pendirian. Maka apa pun yang terjadi tidak akan dapat menggoyahkan fondasi yang telah dibangun. Ketika hati telah seutuhnya percaya, ia akan bersama pada jiwa yang sama pada akhirnya kelak. Dengan perlahan berjalannya waktu ia akan menuntun tubuh untuk menemukan tempatnya menanamkan benih ketulusan. Ketika angannya tengah berkelana jauh menerobos hingar-bingar kehidupan dunia. Pada saat itu pula telepon genggam yang ada di dalam tasnya berdering. Seketika membuat sang sukma kembali pada raganya. Almahyra merogoh tasnya dan melihat nomor baru yang saat itu memanggilnya. Setelah beberapa detik ia berpikir. Akhirnya, Almahyra menerima panggilan tersebut. “Halo.” “Halo, selamat siang. Apakah benar ini dengan, Ibu Almahyra Batari. Nasabah dari Bank Permata Andalan?” sang empunya suara langsung menanyakan info yang ingin diketahuinya. “Benar, dengan saya sendiri, apakah ini dari Bank Permata Andalan?” Almahyra kembali membalik pertanyaan. “Iya benar, Bu. Perkenalkan nama saya, Anggita Swatika. Saya dari Bank Permata Andalan Pusat. Dan di sini saya bermaksud ingin menyampaikan kabar gembira untuk, Ibu Almahyra Batari. Apakah Ibu Alma sudah bersiap menunggu kabar tersebut?” “Wah! Kabar gembira? Ada apa ‘nih, Mbak. Kalau saya boleh tahu,” ungkap Almahyra dengan segala rasa penasaran yang sangat jelas terukir di wajahnya. “Begini, Ibu. Beberapa hari yang lalu kami mengadakan undian pada semua nasabah kami, dan bagi namanya yang beruntung dia akan mendapatkan paket liburan gratis bersama keluarganya. Dan kebetulan nama yang terpilih adalah nama Ibu, maka dari itu saya ingin konfirmasi data kepada Ibu secara langsung. Apakah Ibu bersedia?” jelas wanita tersebut dengan nada lembut dan juga terdengar sangat baik. “Oh, Begitu. Iya tentu saja bisa. Apakah saya harus datang ke cabang pusat di daerah saya?” tanya Almahyra memastikan. “Oh tidak perlu, Bu. Karena kami sudah mengirimkan Orang Kami untuk konfirmasi semua berkas dan menyerahkan berbagai keperluan Ibu dan keluarga selama berlibur.” Wanita itu kembali meyakinkan, Almahyra untuk tidak perlu berepot-repot mengurus segalanya sendiri. Sebenarnya dari raut wajahnya, Almahyra tidak begitu yakin, karena memang banyak ditemu di masyarakat. Penipuan dengan kedok, hadiah, undian, dan lain sebagainya. “Baiklah kalau begitu, saya akan menunggu kedatangan rekan-rekan dari Bank Permata Andalan.” “Apakah, Ibu Almahyra ada di rumah siang ini?” tanya wanita itu sekali lagi. “Iya saya ada di rumah.” “Baiklah kalau begitu, siang ini juga, anggota kami akan datang ke rumah, Ibu. Untuk mengambil segala berkas yang dibutuhkan.” “Baik, Mbak terima kasih.” Meski ia takut ini semua hannyalah tipuan belaka. Akan tetapi tetap saja ada rasa senang dalam dirinya. Setelah panggilan berakhir. Dia langsung meninggalkan tempat itu untuk cepat kembali ke rumahnya. Dalam perjalanan pulang, Almahyra terlihat sangat gembira dengan bernyanyi kecil. Almahyra benar-benar menyukai kejutan yang datang padanya hari ini. Setibanya di rumah ia langsung mandi dan berkemas diri. Kemudian barulah dia duduk di teras rumahnya dengan ditemani sang anak. Keduanya bermain boneka dan juga masak-masakan pada sebuah meja bundar dengan warna putih. Tidak lama setelah itu, datanglah seorang dua orang pria dengan pakaian yang rapi. Emilia sang anak langsung beringsut ke dalam dekapan sang ibu. Almahyra menyambut tamu tak diundang tersebut. “Selamat siang. Apa benar ini dengan kediaman, Ibu Almahyra Batari?” tanya seorang pria dengan perawakan tinggi besar. “Iya benar. Bapak-bapak ini siapa, ya?” tanya Almahyra dengan melontarkan pertanyaan kembali. “Oh begini, Ibu. Kami berdua ini dari Bank Permata Andalan. Ini kartu nama saya, tujuan kami datang kemari adalah ingin melakukan survei TKP (Tempat Kejadian Perkara.)” “Oh begitu, mari, silakan masuk terlebih dahulu.” Almahyra menurunkan sang anak dan menyuruhnya memanggilkan sang nenek. Kedua pria itu pun, masuk ke dalam teras rumah Almahyra. Mereka duduk pada kursi tamu yang sudah disediakan oleh, Almahyra. Dan memang selalu berada di sana. Hampir setiap saat.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD