Alfa Bertemu Aya

1670 Words
Sama seperti hari-hari sebelumnya, Alfarezi pulang saat larut malam. Suara motornya yang bising menjadi penanda kepulangannya. Ia tak pernah peduli kalau setelah ini banyak yang memarahinya sebab suara motornya yang bisa menganggu tidur. Ia sama sekali tidak peduli. "Pak, motor saya biarkan saja di sini. Setelah ini saya mau keluar lagi." Ujarnya pada salah seorang satpam yang berlari menghampirinya. Biasanya satpam itu yang menaruh kembali motornya di garasi. "Baik, tuan Alfarezi. Saya akan menunggu untuk membukakan tuan gerbang rumah." Katanya, menunduk memberi hormat pada Alfarezi. Alfarezi segera masuk ke dalam rumah. Ia akan sangat tahu kalau kepulangannya akan disambut dengan banyak pertanyaan dari papanya, dan kini terjadi lagi. Seorang pria yang sudah berkepala lima menuju enam, berdiri tegap dengan melipat tangan di depan da*a. Tatapannya yang tajam pada pria yang baru masuk itu. "Hai, pa! Alfa baru pulang. Besok saja ngomelnya karena Alfa gak punya waktu. Alfa harus pergi lagi setelah ini." Ucap Alfarezi santai, padahal ia tahu kalau tidak seharusnya dia seperti ini. Ia benar-benar tidak memperdulikan tatapan tajam papanya, seakan-akan ini adalah hal yang sudah sangat biasa menurutnya. Melengos tidak peduli, berlari menaiki undakan tangga. Namun hal itu tidak bisa dibiarkan begitu saja. Sebelum Alfarezi berhasil masuk ke kamarnya, suara lantang itu sudah menyeru memenuhi rumah ini. "BERHENTI, ALFA!" Erik, papanya Alfarezi berseru dengan lantang. Tidak hanya membuat langkah Alfarezi berhenti, namun seorang wanita paruh baya yang tampak baru bangun secara terpaksa keluar dari sebuah kamar. Keadaannya pun tampak sedikit kacau. "Ada apa, sayang?" Tanya Sakila, istri Erik yang juga merupakan mama tiri Alfarezi. "Kamu tidak perlu ikut campur, Kila. Masuk saja ke kamar, biarkan aku mengurus hal ini dengan Alfa. Dia sudah keterlaluan. Dibiarkan semakin melunjak." Ujar Erik yang menyinggung Alfarezi. "Tapi tidak sekarang juga, sayang. Ini sudah larut malam, waktunya istirahat. Alfa juga pasti juga lelah. Sebaiknya kamu bicarakan hal ini besok pagi saja. Ayo tidur." Sakila mencoba mencairkan suasana. Ia kemudian melihat ke atas, menuju Alfarezi. "Nak, kamu masuk tidur saja. Papa kamu akan bicarakan hal ini besok pagi. Istirahat, ya." Katanya, penuh kelembutan dengan senyuman yang tulus. Namun, bukan Alfarezi namanya kalau tidak menjadi pembangkang. Dia tidak menggubris maksud baik dari Sakila. Bukannya masuk ke dalam kamarnya untuk istirahat, dia malah tertawa dengan tidak berhenti bertepuk tangan. "Kenapa Anda harus repot-repot peduli dengan saya? Saya kan bukan anak Anda. Karena itu, untuk menjaga tenaga Anda tetap terjaga, mulai saat ingin jangan peduli karena jujur saja saya tidak suka. Sedikitpun!" Alfarezi yang tadinya tertawa, setelah mengatakan ucapan tidak bersahabatnya kepada Sakila, tatapannya berubah menjadi tajam pada Sakila. Ini bukan lah hal yang dilakukan sekali atau dua kali. Tapi memang sejak awal Erik menikah dengan Sakila setelah istrinya meninggal, Alfarezi sama sekali tidak menunjukan sikap baiknya kepada Sakila. Beruntungnya Sakila adalah wanita yang sabar. Dia wanita kuat yang senantiasa menerima segala perilaku buruk dari anak tirinya. Erik juga selalu ada untuknya. Seperti sekarang, Sakila tidak melawan sedikitpun meski ia tahu kalau setelah ini Alfarezi akan mengatakan banyak hal yang menyinggungnya. Ia sudah tahu hal itu, karena itu lah ia menahan tangan Erik untuk tidak melawan Alfarezi atau nanti urusannya akan semakin panjang. "Lebih baik Anda balik ke tempat asal Anda. Oh iya, saya lupa. Anda tentu tidak akan pernah mau balik ke asal Anda karena alasan Anda menikahi papa saya untuk bisa mendapatkan harta warisan, kan?" "Sejauh ini rencana Anda untuk membunuh papa saya sudah berapa persen? Nanti kalau Anda sudah siap membunuh papa saya untuk mendapatkan harta warisan, kasih tahu saya, ya. Karena saya juga siap untuk membunuh Anda, wahai parasit!" Cerca Alfarezi keterlaluan. "ALFA!" Erik kembali membentak Alfa, namun langsung dikendalikan oleh Sakila sebelum lebih meledak-ledak dari ini. "Jangan, sayang. Jangan diteruskan, dia hanya bercanda. Dia hanya lelah, karena itu bicaranya ngelantur. Dia akan kembali membaik besok pagi. Sebaiknya kita masuk tidur saja." "Tapi, dia sudah keterlaluan, Kila. Dia selalu menyakiti kamu dengan kata-katanya yang tajam." Erik masih tidak menerima perlakuan dari putranya sendiri. Ia memang menyayangi putra satu-satunya, tapi ia juga mencintai istrinya. Kebingungan besar melandanya, tidak hanya malam ini tapi setiap hari. "Tidak apa, sayang. Dia hanya lelah. Sama seperti kamu, kalau lelah juga kadang suka marah-marah, kan? Dia itu putramu, tidak jauh berbeda dengan sifatmu. Jadi sudahi saja malam ini dan istirahat. Besok pagi kamu juga harus kerja, kan?" Sakila yang baik dan penyabar, meluluhkan hati Erik. "Iya, kamu masuklah lebih dulu. Aku akan bicara dengan Alfa. Aku janji gak bakal mancing emosinya lagi." "Oke. Aku masuk ke kamar lebih dulu." Setelah memastikan istrinya masuk ke kamar, baru kemudian Erik mengurus putranya yang pembangkang. "Alfa, kita harus bicara. Sekarang!" "Gak. Aku harus pergi lagi setelah ini. Aku gak mau ketinggalan hanya karena mengurus perhatianmu yang palsu, pa!" Alfarezi menolak untuk berbicara dengan Erik. "Tapi ini penting, Alfa!" "Tidak sepenting balapan ku, kan?" Tanyanya. Tidak ada jawaban dari Erik, "jadi stop melarangku terus karena belum tentu papa juga melakukan hal yang baik," ujarnya kemudian melengos tidak peduli. Ia masuk ke dalam kamarnya tanpa berbicara dengan baik kepada Erik. *** Seharusnya Ayana pulang beberapa jam yang lalu, tapi karena ia diminta tolong oleh temannya untuk menggantikannya sebentar karena ada urusan yang tidak bisa ditinggalkan, akhirnya ia bisa pulang setelah larut malam. "Terimakasih ya sudah mau membantuku, Ayana. Mungkin kalau kamu tidak ada malam ini, aku gak bisa melihat istriku melahirkan. Pokoknya besok kalau kamu mau minta tolong, katakan saja padaku. Aku akan membantumu kalau aku bisa." Ujar Hendra, temannya yang meminta tolong untuk digantikan sementara waktu. "Iya tidak apa-apa, Hendra. Saya senang bisa membantumu. Bagaimana proses melahirkan istrimu? Lancar?" Tanya Ayana. Seperti biasa, ia selalu formal dengan kata 'saya' yang selalu mengikutinya, entah itu ketika ia berbicara dengan orang dekatnya atau tidak. Namun tetap, senyum ramah tamahnya tidak pernah ia tinggalkan. Hendra tersenyum. "Aku menangis melihat proses melahirkan istri ku. Ternyata begitu besar perjuangan seorang ibu. Anakku laki-laki, Ayana. Mungkin kalau kamu ada waktu, sesekali boleh mampir ke ruang rawat istriku." "Boleh. Kalau begitu saya mau pulang dulu, ini sudah larut malam." "Oke, Ayana. Terimakasih atas bantuanmu malam ini." "Terimakasih kembali." Ayana pulang meninggalkan rumah sakit dengan jalan kaki. Melewati jalan yang biasa ia tempuh. Sepi, tidak ada satupun kendaraan yang lewat. Tapi langkah Ayana masih tetap setia menyusuri jalanan ini tanpa ragu sedikitpun. Brak! "Siapa yang tabrakan?" Ayana bertanya-tanya, memandang asal ke segala arah. Mencari titik kecelakaan itu berada. Hingga akhirnya Ayana menemukan posisinya. Ia berlari menuju tempat itu dimana ada sebuah sepeda motor yang terjatuh, sedangkan penggunanya sudah terpental cukup jauh. "Anda tidak terluka, kan?" Tanya Ayana, menolong seorang pria itu untuk bangun. Pria itu meringis, memegang lengannya. Saat tahu kalau lengan pria itu terluka, Ayana sedikit terkejut. "Anda jangan banyak bergerak. Sebentar saya telpon ambulans rumah sakit untuk menjemput Anda." Kata Ayana. Ayana menelpon pihak rumah sakit tempatnya bekerja untuk segera membawa ambulans datang ke lokasi tempatnya berada sekarang. "Iya, mohon dipercepat ya." "Anda tunggu sebentar, ya. Sebentar lagi ambulans datang untuk menjemput Anda. Anda bisa ikut dengan mereka, ikuti prosedur pengobatan yang ada dan saya pikir Anda tidak perlu rawat inap. Luka di lengan Anda hanya sedikit, tapi ini bisa iritasi. Katakan saja secara mendetail keluhan Anda agar mereka bisa mengobatinya dengan baik." Jelas Ayana pada pria itu. "Jangan cerewet. Lebih baik kamu juga ikut ke rumah sakit daripada menjelaskan penjelasan menyebalkan itu!" "Siapa nama Anda?" Tanya Ayana. "Buat apa dia tanya-tanya nama aku?. Aneh banget cewek ini." Pikirnya. "Nama aku Alfarezi." Katanya memperkenalkan dirinya. "Baik, Alfarezi. Saya Ayana. Saya akan menemani Anda sampai ke rumah sakit. Untuk sekarang, jangan terlalu banyak bergerak. Mohon bersabar menunggu ambulans datang menjemput." Ujar Ayana pada Alfarezi. "Oke." "Formal sekali." Batin Alfarezi. Tidak lama mobil ambulans datang menjemput mereka. Hendra juga ikut dalam rombongan ambulans itu, langsing bertanya pada Ayana. "Kamu terluka, Ayana?" Tanyanya. "Bukan saya. Tapi pria yang bernama Alfarezi itu. Tolong nanti obati dia dengan baik, ya. Lengannya terluka. Dia jatuh dari sepeda motor." Kata Ayana. "Oke." Alfarezi sudah masuk ke dalam ambulans. Ayana pun juga ikut masuk sesuai dengan apa yang dijanjikannya kepada pria itu. Saat mobil ambulans mulai berjalan kembali, bertolak menuju rumah sakit, Alfarezi menggenggam tangan Ayana. "Ada apa, Alfarezi?" Tanya Ayana. "Tidak ada. Pinjam sebentar tangannya. Aku ada sedikit trauma dengan mobil ambulans." Jawab Alfarezi. "Oh, baik. Silakan." Ayana yang selalu formal, dengan nada dingin dan tatapan tanpa ekspresinya. Dia membiarkan Alfarezi menggenggam tangannya selama perjalanan menuju rumah sakit. Ada satu masa dimana Alfarezi menggenggam tangan Ayana dengan erat seperti biasanya. "Tolong tenang, ya. Saya ada di sini." Bisik Ayana pada Alfarezi. *** "Bersihkan dulu luka Anda dengan cairan alkohol ini, Alfarezi. Ini mungkin akan sakit sebentar, tapi akan membersihkan luka-luka di lengan Anda." Ucap Ayana. Dia masih sabar menghadapi Alfarezi yang terus memberontak tidak mau diobati. "Aku gak mau! Itu sangat perih!" Alfarezi menolaknya. Ayana melihat ke sekitarnya, banyak yang melihat ke arah mereka berdua. Seharusnya yang mengobatinya adalah Hendra, tapi Alfarezi malah bersikeras memilih Ayana yang melalukannya. Alhasil, mau tidak mau Ayana melakukannya meski ini bukanlah jam kerjanya. "Anda tidak malu melihat sekitar Anda? Anda sudah besar dan ini luka kecil. Kalau memang tidak mau terluka seperti ini, seharusnya Anda juga tidak perlu ngebut-ngebutan di jalanan seperti tadi. Untung saja saya menolong Anda. Jika tidak ada yang menolong, bagaimana? Beruntungnya juga ini hanya luka saja. Jadi, saya mohon, tolong tahan sebentar. Perihnya hanya sebentar." Ayana menjelaskan. "Tapi ini perih dan gak ada yang temani aku." Gumam Alfarezi pelan. "Kasihan sekali pria ini. Dia tampak kesepian. Kemana keluarganya?" Pikir Ayana. Ia cukup simpati dengan Alfarezi. "Saya tidak Anda anggap? Saya menemani Anda, mengobati Anda. Apakah itu tidak cukup bagi Anda?" Tanya Ayana. Ia sedikit marah. Alfarezi diam. Ayana duduk. Dia masih memegang lengan Alfarezi yang terluka itu. Perlahan, ia mulai membersihkan luka Alfarezi dengan cairan alkohol untuk kesehatan. Beberapa kali Alfarezi meringis dan menarik lengannya, tapi langsung ditarik oleh Ayana dengan cepat. "Sakit!" Serunya. "Anda tahan sakitnya atau saya minta perawat yang lain untuk mengobati Anda? Cepat pilih karena jujur saja Anda sudah banyak menyita waktu berharga saya." Ayana mencoba tegas kepada Alfarezi. Terpaksa, mau tidak mau Alfarezi menjawab, "oke. Tapi jangan terlalu ditekan. Itu perih."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD