Perempuan Z

2020 Words
Dua pria yang tampak dominan berdiri tegap gagah diantara pria lainnya. Pria yang memiliki aura dominannya masing-masing, memperlihatkan dan mempertandingkan wibawanya masing-masing. Pria yang memegang helm berwarna hitam, dengan alis tegas serta wajah proporsional yang dimiliknya. Tampak tampan, namun begitu angkuh dibandingkan yang lainnya. Berdiri tegap dengan tubuh atletis selayaknya pria yang sering melakukan olahraga. Tentu saja, hal itu tidak bisa dia lewatkan begitu saja. Berbeda halnya dengan pria yang ada di sampingnya, yakni pria dengan helm berwarna biru tua. Dia tampak tenang meski sebenarnya jauh dari dalam hatinya sudah ingin melabuhkan bogemannya pada pria disampingnya kini. "Jangan harap kamu bisa menang dariku Derry Kavindo!" Ujar pria dengan helm hitam itu. Ia melengos tidak suka, kembali menghadap ke depan. Tepatnya ke arah jalanan yang tampak sepi dan siap diramaikan oleh suara motor mereka yang beradu di atas aspal panas. Pria yang berhelm biru tua yang memiliki nama Derry Kavindo itu menatap pria di sebelahnya. Ia tertawa meremehkan, sengaja menyenggol dengan menggunakan lengannya. "Kamu pikir bisa menang juga dariku, Alfarezi Fabian? Aku harap kamu bisa bangun dari mimpi buruk mu itu, karena sejak awal kamu sangat tidak pantas untuk menenangkan apapun itu di dunia ini. Tidak memenangkan pertandingan, apalagi memenangkan perasaan Cantika. Dia hanyalah milikku, dan selamanya akan seperti itu." Ujar Derry. Ucapan Derry yang demikian membuat emosi Alfarezi melonjak naik. Dia kelepasan, ingin langsung benar-benar melepaskan bogemannya pada Derry. Hanya saja, hal itu bisa terhentikan karena interupsi dari juri mereka kali ini. "Derry! Alfa! Kalian stop saling adu jotos karena aku sudah muak melerai kalian setiap hari. Sekali lagi aku melihat kalian bertengkar hanya karena satu cewek, nama kalian langsung aku coret dan gak bakal aku ikutkan lagi di setiap balapan." Seru seorang pria yang sepertinya lebih berkuasa dibandingkan mereka. Terbukti dengan setelah ia mengatakan hal itu, baik Alfarezi ataupun Derry membungkam dan meredakan emosi mereka satu sama lain. Pria itu berdiri diantara Alfarezi dan Derry. Menatap keduanya bergantian. "Kalian tanding berdua atau ada yang ikut dibelakang kalian? Jika memang alasan kalian selama ini bertengkar hanya karena satu cewek dan kalian pikir menyelesaikannya hanya dengan cara balapan seperti ini, maka selesaikanlah hari ini juga. Berdua tanpa ada yang mengiringi kalian di belakang. Siapapun pemenangnya, secara jantan harus mengakuinya dan jangan ungkit lagi. Setuju?!" Derry dan Alfarezi diam. Belum ada yang mau menjawab. Malah mereka beradu melalui tatapan, tidak dari suara. "KALIAN SETUJU ATAU TIDAK?!" Serunya lagi sebab tidak ada yang menjawabnya. "Setuju!" "Kalau begitu, pasang helm kalian dan persiapkan mental kalian. Ingat, lakukan semuanya dengan adil dan jangan ungkit-ungkit lagi hal ini." Perintah itu langsung dituruti oleh Alfarezi dan Derry. Memakai helm masing-masing, menunggangi motor kebanggaan mereka satu sama lain. Beberapa orang ada yang menyeru nama Alfarezi, beberapa pula ada yang menyeru nama Derry. Semakin membuat keributan di jalan yang sepi ini. Brummmmm.... Brummmmm.... Brummmmm.... "Kamu siap Alfa?!" Alfarezi mengangguk. "Kamu siap Derry?!" Derry pun juga mengangguk. Suara peluit terdengar nyaring sebagai penanda kalau dua pria itu boleh langsung melesatkan motornya sekencang mungkin melalui jalanan aspal itu. Dua pria dengan emosinya masing-masing, dengan ambisinya masing-masing, berusaha untuk menjadi yang terbaik demi membuktikan siapa yang sebenarnya pantas selama ini. Mereka melanggar aturan. Aturan yang seharusnya mereka lakukan adalah berlaku adil sepanjang aspal panas itu. Namun, baru setengah jalan, keduanya sudah melakukan pelanggaran. Saling senggol, bahkan tak jarang pula saling melemparkan kata tak layak satu sama lain. "Dasar kau, Derry. Brengs*k!" Cerca Alfarezi. "Sok suci kamu, Alfa! Lebih baik kamu pulang ke rumah orangtuamu dan pakai popok saja. Dasar anak manja!" Tak mau kalah Derry pun juga ikut mencerca Alfarezi. Semakin mendekati kata finish, semakin mereka mengencangkan kecepatan menuju garis itu. Di ujung sana, sudah ada satu orang pria yang memegang bendera catur hitam putih sebagai penanda garis finish. Siapapun yang pertama kali melewati garis itu, dialah pemenangnya. "Pemenangnya adalah...." Menjelang itu, baik Alfarezi ataupun Derry mempertajam.penglihatan mereka, semakin menambah kecepatan. Namun, siapakah yang akan menjadi pemenangnya?. "Derry!!!!!" Derry menjadi pemenang balapan kali ini. Dia menang sekaligus bangga, menjadikan dirinya semakin angkuh. Terlebih lagi pada Alfarezi, membuktikan kalau dia menjadi pemenang dari pria itu. Derry semakin angkuh. "Sial!" Kesal Alfarezi. Dia melempar helmnya sendiri. Derry mendekati Alfarezi dengan senyuman mengejek, penuh kemenangan. Dia menepuk keras bahu Alfarezi, sembari berkata, "sudah sadar kan kamu sekarang? Aku lah pemenangnya. Kamu tahu, Alfa? Sejak awal kamu memang tidak punya mental sebagai pemenang. Kamu kalah dari balapan hari ini, kamu juga kalah dalam mendapatkan seorang perempuan yang sayangnya sejak awal memang menjadi milikku." Ujar Derry. Alfarezi tetap diam. Namun, dia sedang menahan dirinya untuk tidak menonjok wajah songong pria di sampingnya kini. Derry mendekati telinga Alfarezi. "Cantika hanyalah milikku, Alfa. Kamu kalah, dan mungkin setelah ini kamu akan mendapatkan surat undangan pernikahan ku dengannya. Segera." Bisik Derry. Alfarezi sudah tidak bisa menahan emosinya. Dia menarik kerah baju Derry, siap memberikan sumpah serapahnya, dan kemungkinan paling buruk adalah dia akan memberikan pukulan mautnya untuk Derry. "Sayang!" Suara itu membuat Alfarezi langsung melepaskan tangannya. Baik Alfarezi maupun Derry menoleh ke samping dan melihat seorang perempuan cantik dengan segala alasan kalau dia adalah perempuan idaman seorang pria. Perempuan cantik itu menampilkan senyum manisnya hanya untuk Derry. Apalagi ketika mereka bertemu, dunia seakan menjadi milik mereka berdua. Tak menghiraukan kalau di samping mereka ada Alfarezi yang sudah terbakar api cemburu. "Kamu menang, sayang. Aku bangga banget sama kamu." Ujarnya pada Derry. "Tentu saja, sayang. Kemenangan ku kali ini, aku berikan padamu. Aku memilikimu dan akan aku lakukan semuanya untukmu." Balas Derry. Tidak mau terbakar api cemburu cukup lama, Alfarezi langsung mengambil helmnya, memakainya dan menunggangi motornya. Meninggalkan area balapan dengan kecepatan tinggi. "Sial!" Kesalnya. *** Mungkin benar apa yang dikatakan oleh Derry, kalau Alfarezi adalah anak yang manja. Dibuktikan dengan dia yang langsung pulang ke rumahnya, alih-alih melarikan diri ke tempat lain setelah kekalahan yang ia dapatkan telak di depan mata. Tapi, tidak sepenuhnya hal itu bisa dijadikan sebuah pembenaran. Suara motornya yang terdengar khas membuat seorang wanita paruh baya berlari keluar rumah dengan membawa sebuah sendok sayur. Menunggu di depan pintu dengan senyuman manis. "Kemana aja kamu, Alfa? Kenapa kamu baru pulang sekarang? Mama sama papa khawatir banget sama kamu, nak." Tanyanya pada Alfarezi yang masih tampak kesal. Alfarezi hanya salim saja, tanpa menjawab pertanyaan dari mamanya. Setelah salim, masuk ke dalam rumah. Begitu cuek, tapi itu lah dirinya. "Alfa, makan dulu, nak!" Sorak sang mama dari lantai bawah. Alfarezi berbalik. Dia berpegangan pada penyangga di depannya. "Peduli apa kalian? Aku makan atau tidak pun, tidak akan membuat rugi. Lebih baik kalian makan dan jangan peduli lagi sama aku. Lagipula sejak awal kalian tidak akan mengabulkan apa yang aku inginkan. Dasar pembual!" Ujar Alfarezi terdengar kasar. "Kamu bisa sakit kalau gak makan, nak. Kamu mau papa marah sama kamu?!" Alfarezi yang hampir masuk ke kamarnya, berbalik kembali. Dia melepas jaketnya dan melemparnya. "Lebih baik mama cuci saja baju aku, daripada suruh aku makan. Urusan papa marah sama aku atau gak, itu gak ada urusannya sama mama. Sebenarnya aku muak sama mama, tapi aku kasihan sama papa yang telah mencintai wanita palsu kayak kamu, ma!" Katanya. Wanita yang disebut sebagai mama itu terdiam membatu di tempatnya. Dia tidak bergeming sedikitpun. "Dan perlu kamu ingat satu hal, ma. Kamu itu bukan mama kandung aku. Jadi, stop pura-pura peduli. Karena semakin kamu peduli, semakin aku ingin muntah!" Kali ini Alfarezi benar-benar masuk ke kamarnya. Rasa kesal yang ia rasakan masih melingkupi dirinya, membuatnya berani untuk menghancurkan benda-benda di sekitarnya. Terutama pada benda yang menjadi pemberian Cantika sebelumnya. Prang! "Dasar palsu! Ternyata semua perasaanmu selama ini hanya lah kepalsuan, Cantika! Aku muak sama kamu!" Prang! Alfarezi melempar sebuah bingkai yang berisi kebersamannya dengan Cantika. Itu adalah potret kebersamaanya dua tahun lalu. "Dasar palsu!" *** Berbeda halnya dengan seorang pria yang sedang kesal itu, kali ini ada seorang perempuan yang sedang fokus mendengarkan cerita dari atasannya. Seorang perempuan cantik dengan wajah yang bisa membuat orang tenang ketika melihatnya. Senyumannya yang tampak tulus, namun sayang tatapannya tampak begitu kosong. Dia adalah Ayana Ningrum. Perempuan cantik dan baik hati yang memiliki profesi sebagai seorang perawat di salah satu rumah sakit swasta besar yang ada di Jakarta. Banyak pria yang ingin meminangnya, namun karena memiliki sedikit trauma pada sebuah hubungan percintaan membuatnya enggan untuk mengurus masalah percintaan lagi. Ia dikenal sebagai perempuan cuek, namun tetap menjadi incaran banyak pria tampan. Terlebih lagi, dia yang begitu dekat dengan atasannya, membuatnya tak jarang memiliki musuh di tempat kerja. "Bagaimana menurutmu, Aya? Aku harus melakukan apa untuk putraku? Masalahnya, aku ragu untuk memberikan hartaku padanya, sedangkan dia bilang akan baik pada mama tirinya setelah aku memberikan hartaku. Aku bingung. Kamu tahu sendiri kan bagaimana dia yang begitu kasar pada mamanya. Dia tak tanggung-tanggung kalau bicara, selalu nyelekit dan bahkan sampai membuat mamanya nangis. Dia itu tidak bisa aku percayakan untuk memegang semua hartaku, Aya. Aku takut dia malah menggunakannya untuk hal yang tidak-tidak. Judi, misalnya." Ujar pria yang sudah kepala lima itu. Ayana hanya tersenyum. Dia menyodorkan sebuah gelas yang berisi air minum itu kepada atasannya. "Minum dulu, pak. Supaya bapak lebih tenang." Katanya. Dan benar saja, dia meminum air yang tadi disodorkan oleh Ayana. Setelahnya, dia kembali mengeluh, alih-alih menjadi tenang. "Aku harus bagaimana? Aku sangat butuh saranmu, Aya." Ujarnya lagi, terdengar gelisah. "Sebenarnya, percuma saja bapak menanyakan pendapat saya. Karena menurut saya pribadi, yang seharusnya bapak ajak berdiskusi adalah anak bapak sendiri. Percuma kalau saya memberikan pendapat dari A sampai E, kalau ternyata yang diinginkan oleh anak bapak adalah Z dan ternyata Z itu lah yang bisa mengubah sifat anak bapak dari yang pembangkang sampai menjadi pribadi yang baik. Dan menurut saya, anak bapak bukanlah pembangkang. Dia sebenarnya ingin perhatian dari kalian sebagai orangtuanya. Dia hanya butuh itu sebenarnya." Ujar Ayana. Itu lah Ayana. Selalu menganggap semua orang itu adalah orang baik. Pria itu tampak setuju. Dia mengangguk. "Tapi bagaimana kalau Z itu adalah seorang perempuan yang ternyata berdampak buruk baginya dan kami sebagai keluarganya? Karena jujur saja, selama ini aku tahu kalau dia suka sama seorang perempuan, tapi perempuan itu gak baik untuknya, Aya. Bagaimana menurut kamu?" Perbedaan yang sangat mendasar dari mereka berdua. Jika pria yang sebagai atasannya itu berusaha untuk terlihat dengan Ayana dari segi gaya bicaranya yang menggunakan kata 'aku , tapi berbeda dengan Ayana yang tetap mengedepankan profesionalitas. Dia menggunakan kata 'saya' dalam setiap kata yang ia ucapkan. Ayana terkekeh. "Jika Z itu perempuan yang berdampak buruk, maka itu bukan lah Z yang sebenernya. Dia bukan lah apa yang dibutuhkan oleh anak bapak meski anak bapak keras kepala akan hal itu. Karena yang saya maksud di sini adalah Z ini yang bisa mengubah sifat anak bapak menjadi pribadi yang lebih baik, bukan lebih buruk. Karena itu, saya pikir bapak juga patut turun tangan untuk mencarikan seseorang yang baik untuknya, meski saya tahu kalau tidak semua orang akan suka dijodohkan seperti itu. Tapi, saya yakin kalau lambat laun rasa cinta itu pasti akan muncul, apalagi pada dasarnya anak bapak butuh sebuah perhatian untuk mengubahnya menjadi lebih baik. Bukannya bapak pernah mengatakan kalau dia berubah semenjak istri bapak meninggal? Saya pikir, dia sedang mencari perhatian yang sama persis dengan perhatian dari mamanya." Dan lagi-lagi pria paruh baya itu mengangguk setuju. "iya, kamu benar sekali, Aya. Dia berubah semenjak istriku meninggal dan alasan kenapa aku memutuskan untuk menikah lagi karena aku ingin dia tetap merasakan kasih sayang seorang ibu. Aku gak tahu kalau akhirnya akan seperti ini. Tapi, aku juga gak mau menceraikan istriku begitu saja. Seperti katamu tadi, lambat laun perasaan itu pasti ada dan aku merasakannya pada istriku yang sekarang. Aku hanya berharap kalau anakku bisa memaklumi apa yang aku rasakan. Andai anakku punya pikiran seperti dirimu, Aya. Mungkin aku gak bakal stres seperti ini." "Semua anak punya pribadi yang berbeda-beda, pak. Karena itu, sebagai orangtua, sekali-kali jangan pernah membedakan anak karena mereka sangat tidak suka dengan hal itu." Ujar Ayana. Ayana melihat jam tangannya, sudah waktunya baginya untuk bergantian shift dengan yang lainnya. "Kalau begitu, saya pamit dulu, pak. Saya harus jaga, mengganti yang lainnya. Mungkin kita bisa bertemu di lain waktu. Terimakasih, pak." Ayana meninggalkan ruangan atasannya, dan kepergiannya itu diperhatikan penuh oleh atasannya sendiri. Pria paruh baya itu tersenyum manis ke arah pintu. "Atau mungkin perempuan Z itu adalah kamu, Aya?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD