Chapter 1 - Jatuh Cinta

1597 Words
Arga terbangun saat merasakan panas menjalari sekujur tubuhnya. Kaosnya basah, keringat membasahi keningnya. Padahal AC di kamarnya nyala, tapi kenapa udara terasa begitu panas? Setelah mencari-cari di mana remot AC berada, akhirnya Arga mendapatkan apa yang dicari juga. Ternyata remot AC-nya ada di atas ranjang, tepat di samping bantal kepalanya. Arga begitu terkejut saat melihat seorang perempuan tidur tepat di sampingnya. Dengan posisi tidur membelakangi Arga, rambut coklat panjang nan lebat perempuan itu terurai indah sekali. Bagaimana bisa dia tidak menyadari kehadiran perempuan ini sedaritadi? Atau jangan-jangan …. hantu? Dengan perlahan, Arga menyentuh lengan perempuan itu, membalikkan posisi tidurnya menjadi terlentang. Setelah wajahnya nampak, Arga kaget bukan main saat melihat siapa perempuan yang tidur di sampingnya. Alina Minara, tetangga sekaligus sahabat dekat Arga Pranadipa. Sahabat kecil Arga yang bahkan sudah dianggap seperti adik sendiri. Ya walaupun sebenarnya Arga cuman 6 bulan lebih tua dari Alina. Dengan perlahan, Arga membangunkan Alina. “Na .. Bangun Na ..,” bisiknya. Tak lama kemudian, Alina membuka matanya. Bahkan saat baru bangun tidur pun, Alina terlihat cantik sekali. Matanya yang coklat, bulu matanya yang lentik, hidungnya yang mancung bak perosotan, dagunya yang berbentuk huruf V sempurna … Kadang Arga berpikir, bagaimana bisa perempuan yang ada di sampingnya ini nyata? Alina tersenyum manis saat melihat Arga. Dia lalu mencium bibir ranum Arga. Ciumannya begitu lama, tetapi anehnya Arga sama sekali merasa tidak kekurangan oksigen alias ngos-ngosan karena dicium begitu lama. Setelah ciumannya usai, Alina memandangi wajah Arga. Mengagumi betapa indahnya lelaki ciptaan Tuhan satu ini. Arga hanya terdiam, dirinya juga larut dalam paras rupawan Alina. “I love you ..,” bisik Alina. “I love you too,” bisik Arga. Arga lalu menindih tubuh mungil Alina. Kedua tangannya menangkupkan wajah Alina, sementara ibu jarinya mengelus betapa halusnya pipi Vania. “Arga .. aku mau ‘itu’ ..,” bisik Alina manja. Arga menyeringai, “Mau apa? Hmm?” Pipi Alina merona merah. Tangan Alina lalu bergerak turun, mengelus ‘adik kecil’ Arga dengan jari-jari tangannya. “Mau ini ..,” jawab Alina malu-malu. Seringai Arga melebar. “Kamu yakin?” tanyanya. Alina hanya mengangguk. Tanpa basa-basi, Arga langsung menanggalkan celananya. Pipi Alina merona semakin merah saat melihat betapa besar dan gagahnya milik Arga saat sedang ‘tegang’. Tanpa ragu-ragu, Alina mengelus milik Arga yang sudah tak tertutup sehelai kain pun. “Arga .. Gede banget ..,” bisik Alina. Arga menyeringai. “Suka kan?” godanya. Alina hanya tersenyum malu. Arga lalu menanggalkan seluruh pakaian yang menutupi tubuh mungil Alina. Nafsunya semakin memuncak saat melihat kedua gundukan kembar Alina yang begitu ranum dan menantang tepat di hadapannya. Arga menciumi gundukan kembar Alina bergantian, membuat sang empunya tak henti-hentinya mendesah. “Arga ..,” desah Alina. “Enak kan?” goda Arga. Alina tak menjawab. Fokusnya sudah hilang, terganti oleh nafsu. Alina sudah tidak sabar apa yang akan terjadi selanjutnya .. “Boleh?” tanya Arga. Alina mengangguk ragu. “Pelan-pelan ..” Dengan perlahan, Arga memasukkan miliknya ke dalam Alina. Keduanya mendesah saat merasakan nikmatnya surga dunia. Dengan perlahan, Arga mulai bergerak, memompa miliknya keluar masuk lubang hangat dan sempit milik Alina. Tak lama kemudian, Arga mengeluarkan cairan putih dan lengket miliknya. Bersamaan dengan itu, tiba-tiba sekelilingnya berubah menjadi gelap. Seolah-olah rumahnya mati lampu. Mungkinkah listrik di rumahnya diputus PLN karena nunggak? ***** Kring!!!! Arga terbangun saat mendengar suara alarm dari HP nya. Waktu menunjukkan pukul enam pagi. Arga memegangi kepalanya yang tidak pusing. Celana boxer yang dia gunakan terasa lengket, demikian juga kasurnya. Arga sadar, yang tadi itu cuman mimpi. Arga baru mengalami mimpi basah. Arga mengumpat dengan kesal. Kenapa juga harus mimpi basah lagi? Padahal sih sebenarnya tak apa juga, hal itu wajar dan pasti dialami semua laki-laki kan? Dari SMP juga Arga sudah diberitahu guru Biologinya. Tapi yang jadi masalah, kenapa perempuan dalam mimpinya harus Alina? Padahal biasanya yang hadir artis seksi dan terkenal seperti Scarlett Johansson, atau idolanya, Pevita Pearce. Arga jadi merasa canggung sendiri. Dengan cekatan, Arga bangun dari kasurnya, mengganti boxer nya beserta selimut dan spreinya. Lia, adik perempuan sekaligus adik Arga satu-satunya, langsung histeris saat melihat Arga pagi-pagi sudah ganti celana dan bawa sprei kotor. “Kenapa bang?” tanya Lia penasaran. “Kepo banget sih lo. Sana ah,” jawab Arga. Melihat kakaknya bad mood, Lia malah jadi tambah iseng. “BUUU!! SINI BU, SINI! LIAT BANG ARGA NGOMPOL!” teriak Lia histeris. Ibu akhirnya menghampiri kedua anaknya. Arga malah jadi tambah malu. “Lia apaan sih pagi-pagi udah ribut?” tanya ibu. Lia cuman menyeringai. Puas melihat kakaknya malu. Ibu nampaknya tahu kalau ‘ngompol’ yang baru saja terjadi pada Arga bukan ‘ngompol’ yang ada di pikiran Lia. Ibu tersenyum, “Taro di ember baju kotor aja. Biar ibu yang bersihin.” “Ih, jangan bu. Gapapa aku bersihin sendiri,” kata Arga. Akhirnya Arga membersihkan sprei, selimut, serta boxer nya menggunakan mesin cuci. Setelah selesai bersih-bersih dan mandi, Arga langsung siap-siap berangkat ke kampus. Padahal masih pagi, tapi Arga sudah mau pergi duluan. Apalagi penyebabnya kalau bukan Alina? Arga sengaja pergi sepagi ini supaya tidak bertemu Alina. Dia masih merasa malu dan canggung. Apalagi Arga sempat melihat gundukan ranum milik Alina … ya walaupun hanya di mimpi saja. Bisa saja yang di mimpi dengan aslinya berbeda kan. “Berangkat dulu pak, bu,” pamit Arga. “Nggak sarapan dulu?” tanya ibu. “Nanti aja gampang.” “Kok tumben? Pagi amat?” tanya bapak. “Mau kerja kelompok,” bohong Arga. Tapi takdir berkata lain. Baru Arga mau buru-buru mengeluarkan motornya, tapi ternyata orang yang tak mau ditemui malah sedang berdiri di depan rumahnya. Alina dan Arga memang tetanggaan. Rumahnya persis samping-sampingan. Dari kecil Arga selalu bermain dengan Alina. Yang paling memorable saat main masak-masakan dulu, Alina membuatkan Arga ‘nasi goreng’ dari tanah kuburan. Arga langsung buang muka saat melihat Alina. “Arga!” sapa Alina. Arga tak menjawab. Alina akhirnya yang menghampiri Arga. “Tumben amat kamu udah mau berangkat? Biasanya lima menit sebelum kelas baru dateng?” tanya Alina. Arga menyerah. “Nggak apa-apa, lagi pengen bangun pagi aja.” Duh, lagi-lagi Arga bohong. “Mau berangkat bareng nggak? Eh tapi kamu bawa motor ya?” “Iya.” “Boleh bareng? Nanti aku ganti deh uang bensinnya. Ya? Boleh ya?” pinta Alina. Arga tak punya pilihan. “Ya udah. Tapi nanti beliin gorengan sama bubur ayam.” Akhirnya Arga memboncengi Alina. Setiap kali numpang di motornya Arga, Alina tak pernah melingkari tangannya di perut Arga. Paling-paling kalau Arga tiba-tiba ngerem, Alina cuman memegang punggung Arga. Supaya tak ikut oleng. Satu jam kemudian, mereka sampai tujuan. “Udah sampe. Turun gih,” kata Arga. “Nih helmnya. Makasih ya,” kata Alina. “Eits jangan kabur dulu. Inget kan mau beliin aku gorengan sama bubur ayam?” “Iya bawel. Inget kok.” Setelah membeli gorengan, keduanya langsung ke kelas. Kelas masih sepi, tapi sudah ada beberapa mahasiswa yang datang. Termasuk Revan dan Devan, si kembar identik sekaligus sahabat setia Arga. “Pagi amat bro?” tanya Revan. “Lagi pengen bangun pagi,” jawab Arga dingin. “Ada masalah?” tanya si kembar satunya, Devan. Arga terdiam sejenak sebelum kembali bicara. “Wajar nggak sih kalo pas mimpi ‘itu’ kita mimpiin orang yang kita kenal?” “Mimpi ‘itu’ mimpi apaan?” tanya Revan. “Ah masa nggak tau sih ..,” jawab Arga. “Oh mimpi itu. Wajar kok. Dulu gue malah mimpiin temen sekelas pas SMP,” kata Devan. Devan lanjut bicara, “Kenapa emangnya?” Arga tak menjawab. Devan menyeringai, “Abis mimpiin Alina ya?” Pipi Arga langsung memanas. “Lo jodoh kali sama Alina,” canda Revan. Ah, mana mungkin Arga dan Alina berjodoh? Setelah selesai kelas, Arga langsung buru-buru pulang. Padahal biasanya nongkrong dulu di kantin. Entah mengapa, Arga masih merasa canggung dengan Alina. Tapi lagi-lagi takdir berkata lain. “Arga, udah mau pulang ya?” tanya Alina. Ah, baru mau menghindar, tapi sudah bertemu lagi. “Iya. Kenapa? Mau bareng lagi?” “Nggak kok. Cuman nanya. Aku duluan,” jawab Alina. Akhirnya Alina menunggu kendaraan umum sendirian di stasiun. Melihat hari sudah mulai sore dan Alina cuman seorang diri, Arga akhirnya menawari Alina pulang bersama. Dia tak mau Alina kenapa-kenapa. Arga ingin selalu melindungi Alina. “Naik,” kata Arga. “Gapapa nih?” Bukannya menjawab, Arga malah memberikan Alina helm. Alina tersenyum, “Makasih.” Selama perjalanan, Arga dan Alina tak banyak bicara. Arga fokus menyetir, sementara Alina tenaganya sudah habis karena dari pagi sudah di kampus. Apalagi Alina harus fokus mengerjakan skripsi juga. Sama seperti Arga. Satu jam kemudian, Arga dan Alina sampai di tujuan. Alina langsung turun dari motor dan membuka kaitan tali helmnya. Tapi entah kenapa jadi susah sekali dibuka. Arga yang melihat Alina kesusahan membuka kaitan tali helmnya cuman tersenyum. Akhirnya Arga yang membantu membukakan kaitan tali helm Alina. “Sini,” kata Arga. Seketika, wajah Arga dan Alina berada sangat dekat. Mereka bisa merasakan hembusan napas masing-masing. Setelah kaitan helmnya terbuka, Arga malah jadi memandangi wajah Alina. Dalam keadaan capek sekalipun, Alina tetap menarik di mata Arga. Deg deg. Jantung Alina berdegup kencang. Pipinya memerah, tak tahan dipandangi Arga terlalu lama. “Aku masuk dulu ..,” pamit Alina yang jadi salah tingkah. Sesampainya di rumah, Arga juga jadi senyum-senyum sendiri. Bayangan wajah Alina dan pipinya yang memerah tadi, tak mau keluar dari otak Arga. Ibu sampai heran sendiri melihat putranya senyum-senyum sendiri seperti orang tak waras. “Kamu kenapa?” tanya ibu heran. “Nggak apa-apa kok,” jawab Arga. Oh, inikah yang dinamakan cinta?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD