12. Gadis Spesial

1811 Words
Sosok wanita tua yang berusia sekitar 70 tahunan, berjilbab, dan berkacamata tampak memasuki ruang kerja Adrian Hadiningrat. Sudah sekitar sepuluh tahunan ini mengenakan hijab akibat usianya yang sudah sepuh layaknya nenek-nenek. Wanita tua bernama Puspa Ajeng itu yang bersifat dominan, keras, dan disiplin melakukan kunjungan ke kantor Adrian selalu cucu laki-laki satu-satunya itu. “Eyang,” panggil Adrian ketika tahu sang nenek datang berkunjung ke kantornya yang ada kawasan Rungkut Industri, Surabaya. Nenek Puspa langsung menghampiri Adrian lalu memeluk cucu kesayangannya itu. “Adrian, Eyang rindu padamu. Kenapa akhir-akhir ini kau jarang pulang ke rumah Eyang? Apa terlalu sibuk sampai lupa mengunjungi Eyang?” tanya Nenek Puspa setengah menyindir. Adrian lekas menjawab pertanyaan sang nenek. “Maaf Eyang, bukannya nggak mau ke sana, tapi memang jadwalku terlalu padat. Weekend ini pun begitu. Masih ada event pameran kosmetik di beberapa mall sampai aku kebingungan cari model dadakan,” cerocos pria tampan itu. “Begitu ya, terus kapan kau mau berkunjung ke rumah Eyang? Kau tidak kasihan pada Eyang yang hidup sendiri pasca meninggalnya Eyang Kakungmu beberapa tahun lalu? Makin lama Eyang kesepian. Apalagi Tante dan Ommu sibuk kerja. Kedua cucu perempuanku juga begitu. Sibuk kerja dan kuliah. Jarang bisa berkumpul di rumah,” keluh Nenek Puspa yang baru menyadari arti kebersamaan keluarga saat usianya sudah semakin senja. Teringat sifat Nenek Puspa yang sejak dulu terkenal sebagai wanita pemimpin, dominan, keras, dan dingin itu semakin tua jadi melunak. Sifatnya yang suka mengatur-atur kehidupan sang anak membuat wanita itu jadi wanita yang kuat dalam segala hal. Bahkan di usianya yang senja ini masih kuat untuk berjalan dan beraktivitas. Namun dalam hati ada beban pikiran wanita tua itu yakni anggota keluarga yang hilang karena tak diakui dulu. Meski hanya wanita tua itu yang paham gejolak hatinya akibat masa lalu. Adrian menanggapi ucapan sang nenek. “Sekali lagi maafkan aku, Eyang. Nanti akan kusempatkan berkunjung ke sana saat jadwalku longgar. Aku dan Auriga akan datang ke sana,” janji CEO perusahaan kosmetik itu. Nenek Puspa mendesah lega. “Iya, aku tunggu saat itu tiba. Jika kalian berdua datang, kabari Eyang dulu. Eyang mau siapkan makanan dan minuman kesukaanmu. Kabar cicitku Auriga bagaimana?” “Nggak usah repot-repot, Eyang. Alhamdulillah, Auriga sehat. Eyang sendiri bagaimana? Kondisi kesehatan Eyang bagaimana?” Adrian balik bertanya. “Alhamdulillah, masih sehat, meski beberapa kali darah tinggi kumat. Tapi nggak apa-apa, Eyang sudah semakin tua. By the way, karena Eyang sudah semakin tua dan hanya kamu cucu laki-laki Eyang satu-satunya sebagai penerus keluarga kita, Eyang berharap kau segera menikah. Eyang nggak tenang selama kamu masih sendiri dan hanya hidup dengan putramu saja. Kapan kau mau mengenalkan wanita pada Eyang?” tanya Nenek Puspa yang seketika mengagetkan Adrian. Adrian menarik napas panjang lalu menghembuskannya. “Eyang Puspa nggak perlu khawatir. Kalau sudah ada wanita yang cocok pasti nanti aku kenalkan ke Eyang. Selama ini masih belum ada yang cocok, Eyang. Aku ini bukan seorang pria single. Jika mau berhubungan serius denganku harus mau menerima kehadiran Auriga juga sebagai anakku. Jadi aku harus selektif, Eyang. Nggak mau salah pilih pasangan,” jawab Adrian lugas. Nenek Puspa mendengkus lalu menatap serius ke arah cucu kesayangannya itu berdeham. “Hmm ... jujurlah padaku, apa kau masih teringat mantan kekasihmu yang tak punya hati itu sampai menyerahkan anaknya sendiri padamu? Apa kau masih mengharapkan wanita itu kembali padamu?” cecar Nenek Puspa yang segera dijawab dengan Adrian. “Enggak, Eyang. Cintaku sama Amanda mati seketika saat ia memilih karir daripada harus membangun rumah tangga bersamaku dan Auriga. Aku nggak bisa menghabiskan sisa-sisa hidupku dengan wanita seperti itu. Nggak bisa hidup dengan wanita yang prioritas utamanya adalah karir dan bukan keluarga,” tandas Adrian. “Syukurlah kalau begitu. Kau benar-benar keturunan Hadiningrat sejati, bukan seperti papamu dulu yang salah langkah sampai meninggalkan keluarga kita,” tutur Nenek Puspa yang teringat akan sang putra sulung yang lebih memilih meninggalkan keluarganya demi seorang wanita. “Eyang, aku selalu penasaran dengan masa laluku, tapi Eyang selalu menolak jika aku bertanya lebih banyak tentang itu. Eyang selalu mengelak. Sekarang Eyang bahas Papa, aku kan perlu tahu keluargaku seperti apa di masa lalu. Aku benar-benar nggak bisa ingat setelah kecelakaan itu,” keluh Adrian. Nenek Puspa melayangkan pandangan pada Adrian sambil mengangkat kedua tangan Adrian. “Adrian, kamu nggak perlu mengingat hal yang menyedihkan. Jika papamu peduli pada keluarganya, ia akan kembali tapi buktinya apa? Sudah belasan tahun tak pernah kembali. Entah dia masih hidup atau tidak juga Eyang juga nggak tahu. Dia sendiri yang meninggalkan kita dan sepertinya takkan kembali.” Adrian hanya bisa termangu jika membahas tentang orang tuanya yang menghilang itu. Orang tua yang tak pernah diingat oleh pria tampan itu semenjak ia mengalami kecelakaan parah di waktu kecil hingga mengalami amnesia. Jadilah selama ini tumbuh besar hanya bersama nenek, kakek, tante, dan omnya saja. Tak pernah bertemu dengan orang tuanya lagi. Sungguh menyedihkan bagi Adrian. “Ya sudah, Eyang mau makan siang ini. Kau bisa temani Eyang untuk makan siang?” tanya Nenek Puspa. Dengan berat hati, Adrian langsung menggelengkan kepalanya. “Maaf Eyang, bukannya nggak mau menemani Eyang makan siang tapi Adrian mau makan siang dengan klien penting siang ini. Masih sibuk. Mohon maaf.” “Oh iya, nggak apa-apa, lain kali saja kalau begitu. Mengenai Auriga apa masih belum mendapat baby sitter? Apa masih diasuh oleh asisten rumah tanggamu itu si Rahma?” tanya Nenek Puspa lagi sebelum beranjak dari ruangan Adrian. “Sudah kok, Eyang. Aku sudah dapat baby sitter baru. Sudah dua hari ini kerja di rumahku. Auriga sudah tenang sekarang. Nggak bingung cari susternya,” jawab Adrian sambil mengurai senyum. Nenek Puspa mendesah lega. “Syukurlah kalau begitu, nanti waktu kau pulang ke rumah Eyang, ajak susternya. Biar kenal sama Eyang. Eyang juga ingin tahu apa dia cocok jadi pengasuh cicitku.” Adrian mengangguk. “Iya, Eyang. Nanti aku ajak dia.” “Ya sudah, aku pulang dulu, Adrian.” “Iya, hati-hati di jalan ya, Eyang,” pesan Adrian sambil mencium punggung tangan sang nenek sebagai tanda hormat pada orang yang lebih tua. Nenek Puspa manggut-manggut lalu bergegas keluar dari sana ditemani oleh asisten pribadi beliau. Sudah beberapa tahun ini wanita sepuh itu memiliki asisten pribadi untuk pergi ke mana-mana mengingat usianya yang semakin senja. Mulai cemas pada dirinya sendiri jika pergi ke tempat lain sendiri. Usai kepergian sang nenek, kali ini Adrian meraih jas yang tersampir di kursi kerjanya untuk dipakai lagi. Siang ini ada makan siang bersama klien sekaligus membahas kerja sama mereka terkait perusahaan. Adrian pun berlalu meninggalkan ruangan kerjanya untuk bertemu sang klien. *** Tak terasa sudah hampir seminggu Ahtissa bekerja di rumah Adrian Hadiningrat. Kesan baik bekerja di tempat itu membuat Ahtissa mulai nyaman dan betah menjadi baby sitter Auriga. Tampak keakraban di antara mereka berdua. Auriga sudah mulai manja pada Ahtissa yang bersikap keibuan pada anak kecil. “M-mbak Tissa, kok lama sih tadi?” tanya Auriga yang sempat menunggu Ahtissa kembali saat mengambilkan barang anak kecil itu di kamarnya. Ahtissa langsung menjawab. “Oh iya, maafkan aku. Tadi sempat kesusahan mencari barang yang kau mau itu. Maklum sama kamarmu kan belum begitu paham letak-letaknya, Sayang.” “K-kalau begitu mulai nanti malam Mbak Tissa tidur di kamar Riga s-saja biar Mbak Tissa jadi paham sama kamarku. Ya?” pinta Auriga tergugu sambil menatap sang baby sitter memelas. “Lho kan, kalau malam kamu sering tidur sama Papa Adrian. Aku hanya bisa menemani kamu tidur siang saja,” ujar Ahtissa sambil mengelus-elus rambut Auriga. “I-iya juga sih. Tapi Riga ingin punya Mama biar nggak diejek mereka lagi. K-kalau M-mbak Tissa yang jadi Mama Riga saja gimana?” celoteh Auriga terbata-bata. Ocehan dari Auriga spontan membuat Ahtissa terkekeh. “Riga, kau ini menggemaskan sekali. Kamu itu lucu. Masa' aku yang jadi mamamu, yang benar saja. Mbak Tissa nggak pantas buat jadi istri papamu. Papamu berhak punya istri yang lebih baik dari Mbak Tissa,” sahut Ahtissa yang sadar diri jika posisinya hanyalah seorang baby sitter yang tak mau bermimpi bisa punya suami yang memikat seperti Adrian Hadiningrat. “Lho, kenapa, Mbak? Mbak Tissa kan c-cantik. Baik. Riga suka. Papa pasti juga suka,” ucap Auriga polos. Ahtissa menatap lembut anak kecil yang belum genap berusia 3 tahun itu. “Kamu masih terlalu kecil. Belum sampai tahap memikirkan hal ini. Nanti kalau sudah dewasa akan mengerti tentang ini. Apalagi kita masih belum lama kenal kan, Sayang.” Auriga manggut-manggut. Lantas Ahtissa melanjutkan ucapannya kembali. “Riga, ini kan sudah sore. Di taman depan rumah ramai sama anak-anak itu. Ayo, kita ke sana. Kau bisa main bola sore-sore begini. Cuaca sudah nggak panas lagi,” saran Ahtissa yang ditolak oleh Auriga. “E-enggak, Mbak. Nanti Riga dibilang nggak punya Mama lagi. Riga nggak mau,” tolak Auriga yang tampak masih trauma akibat ditindas oleh dua anak kecil kemarin lalu. “Riga, kau tenang saja. Selama masih ada aku, takkan kubiarkan mereka mengejek kamu lagi. Tenang saja. Mereka akan kuperingatkan jika sampai mengejekmu lagi. Mau, ya?” pinta Tissa. “Ya udah, Mbak. Iya,” jawab Auriga yang akhirnya mau bermain ke luar lagi. Mencoba mengatasi trauma pada ejekan dua anak kecil beberapa hari yang lalu. Ternyata pembicaraan Ahtissa dan Auriga sempat terdengar oleh Adrian yang baru saja pulang kerja lebih cepat dari biasanya akibat hendak mencari model dadakan untuk besok. Beberapa hari yang lalu memang sempat mencari model namun belum bertemu yang sesuai. Model-model yang sebelumnya juga terbentur dengan jadwal kerja mereka yang padat. Adrian yang sempat mendengar pembicaraan Ahtissa dan Auriga dari balik pintu, bergumam dalam hati. Tidak salah aku menjadikan Ahtissa sebagai baby sitter anakku. Auriga sampai sedekat ini padanya. Dia begitu baik pada anakku. Apalagi bisa membela putraku di depan anak-anak yang mengejeknya. Patut diacungi jempol untuknya. Dia gadis spesial. Adrian yang masih bersembunyi, berusaha tak menampakkan diri terlebih dahulu pada Ahtissa dan Auriga yang hendak berjalan ke arah taman di sore hari. Adrian mengekor di belakang mereka berdua secara sembunyi-bunyi. Melihat cara gadis cantik dan ramah itu memperlakukan anaknya seperti adiknya sendiri. Hingga pria tampan itu tak sengaja menatap ke arah Ahtissa yang ternyata sungguh cantik. Kulitnya yang putih bersih seperti porselen dan wajahnya yang cantik seperti gadis blasteran luar negeri, menjadikan gadis itu terlihat memesona meski hanya memakai seragam suster dalam mengasuh sang anak. Adrian tertegun melihat Ahtissa di taman. Apalagi saat membantu Auriga bermain bola dengan anak-anak kecil di sana. Ia jadi membatin. Kenapa aku harus susah-susah mencari model jika di depanku ini ada gadis cantik yang parasnya menjual untuk jadi model kosmetik? Tissa bisa dicoba untuk jadi model kosmetik perusahaanku. Aku akan bilang padanya setelah ini. CEO dari PT Kosmetika Luhur Indonesia tersebut memandangi Ahtissa dan Auriga dari tempatnya berdiri sekarang. Senyum mengembang di wajah Adrian. Ia merasa lega karena sosok Ahtissa mampu membuat hidup Auriga jadi semakin menyenangkan. Kini ia menanti waktu yang tepat untuk menawari Ahtissa sebagai model dadakan produk kosmetiknya. Apakah Ahtissa mau menerima tawaran dari Adrian?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD