DELAPAN

1493 Words
Andra membantu Alya untuk turun dari mobilnya. Tangan kirinya ia sisipkan di bawah lekukan lutut Alya, sedangkan tangan kanannya menopang punggung gadis itu. Alya sempat menolak saat Andra akan menggendongnya. Tapi mengingat kondisinya yang tidak memungkinkan untuk keluar dari mobil itu tanpa bantuan, akhirnya Alya membiarkan Andra mengangkat tubuhnya dan mendudukannya di atas kursi rodanya yang sudah di keluarkan Andra sebelumnya. Andra mendudukan tubuh Alya di atas kursi rodanya dengan sangat hati-hati. Dia tidak mau Alya merasa tidak nyaman saat duduk di kursi rodanya akibat pendaratan yang salah. Dia sangat ingin melihat gadis yang dicintainya itu merasa sangat nyaman. “Kita mau ngapain ke sini, Ndra?” tanya Alya pelan. “Kita mau ke taman.” Jawab Andra tegas dan kemudian mendorong kursi roda yang sudah diduduki Alya. Alya mengernyitkan dahinya. “Buat apa kita ke taman?” Andra tidak menjawab pertanyaan Alya. Dia hanya memberikan Alya sebuah senyuman hangat saat gadis itu menoleh padanya. Andra terus mendorong kursi roda Alya, sedangkan gadis itu masih menyimpan sejuta tanya dalam hatinya. Andra berhenti di ujung taman yang menghadap ke arah barat. Alya semakin bingung saat Andra menghentikan langkahnya di sana. Kemudian Andra membungkukkan sedikit tubuhnya dan berbisik di telinga Alya. “Udah saatnya.” Alya yang bingung kini semakin bingung saat Andra memegang kedua pipinya dan mengarahkan lurus wajah Alya ke depan. Saat itulah Alya melihat sesuatu yang tidak pernah dia lihat sebelumnya. Alya terkesima melihat fenomena yang ada di depannya. Benda berwarna keemasan itu perlahan-lahan meninggalkan singgasananya di atas sana untuk kembali ke peraduannya. Sang surya berinar-sinar dengan sangat indah. Langit yang berwarna jingga keemasan menambah kemewahan sang pemilik hari tersebut. Alya tidak pernah berhenti menatap matahari di depannya, walaupun sang mentari itu kini sudah menghilang dari pandangannya. Alya masih merekam jelas detik-detik di mana matahari terbenam tepat di depan matanya itu. Kejadian itu sangat singkat baginya. Seperti sekejap mata. Alya tersadar dari kekagumannya dan mendongakkan kepalanya untuk melihat Andra. Tanpa Alya sadari, sedari tadi Andra terus memperhatikannya sejak pertama Alya menatap kagum matahari yang terbenam itu. Alya sempat kaget saat melihat Andra tersenyum padanya. Kemudian rasa kaget itu mulai sirna seiring munculnya senyum secerah matahari di wajah Alya. “Keren banget, Ndra…” seru Alya dengan mata berbinar-binar. “Lo suka?” Tanya Andra tanpa melepaskan pandangannya dari wajah Alya. Alya mengangguk mantap. “Suka Ndra… Suka banget malah.” “Syukur deh kalo elo suka,” Kemudian Andra memutar kursi roda Alya dan membawa gadis itu ke tengah-tengah taman yang dikelilingi beraneka ragam bunga itu. “Sumpah, Ndra, baru kali ini aku lihat langsung matahari terbenam dengan mata kepalaku sendiri. Dan itu bener-bener keren Ndra. Makasih, ya, udah bawa aku ke sini.” Andra mengangguk senang saat melihat gadis yang sekarang berada di hadapannya itu tersenyum bahagia. Kemudian Andra teringat rencana awalnya. Dan dia sama sekali tidak ingin melewatkan kesempatan yang ada. Dia sudah lama menyiapkan diri untuk menyambut datangnya hari ini. “Alya…,” panggil Andra pelan sambil menatap lurus wajah Alya. Alya yang masih tersenyum-senyum karena masih membayangkan kejadian tadi langsung menoleh saat Andra memanggilnya. “Eh, kenapa Ndra?” “Ada yang mau gue omongin sama elo, Al.” “Kamu mau ngomong apa Ndra?” Andra menggapai kedua tangan Alya yang berada di atas pahanya. Kemudian Andra menggenggam erat kedua tangan Alya sembari menatap dalam mata Alya. Alya sedikit salah tingkah saat Andra memegang tangannya, apalagi Andra kini menatapnya dengan serius. Andra mengumpulkan seluruh keberaniannya untuk mengucapkan kata-kata yang sudah dia persiapkan sejak lama itu. Andra menarik nafas dan menghembuskannya perlahan sebelum benar-benar mengucapkan kata-kata itu. “Al, gue suka sama elo, sejak pertama kali kita MOS. Saat itu elo nolongin gue dari hukuman para senior. Elo ngasih salah satu peralatan MOS yang saat itu lupa gue bawa. Dan kebetulan elo bawa lebih, dan dengan sukarela elo ngasih ke gue..” Alya tidak sanggup berkata-kata saat mendengar kata-kata Andra yang mengejutkan itu. “Gue sayang sama elo Alya. Gue gak perduli dengan kondisi elo, gue gak perduli Al. Karena gue mencintai elo apa adanya, bukan karena ada apanya. Gue tulus sayang sama elo Al. Gue bener-bener mencintai elo dari dasar lubuk hati gue. Elo mau kan jadi pacar gue, Al?” Tanya Andra sambil memberikan sekuntum mawar merah dari belakang tubuhnya. Alya menutup mulutnya saat melihat keseriusan di wajah Andra. Alya tidak menyangka Andra mengatakan semua perasaannya pada Alya. Alya benar-benar tidak menyangka kalau cowok itu memiliki hati dengannya. Ragu-ragu Alya menerima bunga pemberian Andra. Andra menatap Alya dan berharap gadis itu menerimanya. Andra sangat yakin kalau Alya juga memiliki perasaan yang sama dengannya. Entah dari mana pikiran itu. Tapi Andra benar-benar yakin dengan pemikirannya itu. Alya menatap Andra dengan bingung. Dia tidak mungkin menerima Andra. Tapi saat itu dia sangat tidak ingin Andra terluka kalau dia menolaknya. Alya sama sekali tidak mempunyai perasaan yang lebih terhadap Andra. Andra memang laki-laki yang baik, dia tau itu. Tapi itu tidak lantas menjadi alasan Alya untuk menyukai Andra. Alya benar-benar bingung ingin mengatakan apa pada Andra, sedangkan laki-laki itu menatap Alya dengan pandangan yang penuh harap. Alya hanya menganggap Andra sebagai teman, tidak lebih. Karena Alya dari dulu sampai sekarang sudah menyukai seseorang laki-laki dalam hidupnya. Laki-laki yang begitu dia rindukan hingga kini. Laki-laki yang akan selalu di nantinya sampai kapan pun. Akhirnya Alya memilih untuk mengatakan sejujurnya tentang apa yang dia rasakan pada Andra. Alya sudah memikirkannya matang-matang dan tanpa ingin membuat laki-laki itu merasa sakit hati saat mendengar kata-katanya. Andra terlihat sumringah saat melihat Alya ingin mengeluarkan suaranya. Andra langsung menegakkan badannya dengan penuh semangat. “Ndra,” panggil Alya pelan. “Kamu sudah tau mau jawab apa, Al?” Andra sudah sangat yakin Alya akan menerimanya. “Ndra, aku akui kamu memang laki-laki yang baik. Kamu salah satu orang yang penting dalam hidup aku. Kamu selalu ada saat aku kesepian, kamu juga sering membantuku saat aku berada dalam kesulitan.” Alya menarik nafas perlahan. “Aku kaget saat kamu bilang kalau kamu suka sama aku... Aku benar-benar tidak menyangka kamu bisa menyukaiku, mengingat kondisiku yang seperti ini.” “Gue gak perduli dengan kondisi elo, Al. Bukannya tadi gue udah bilang kalo gue terima elo apa adanya.” “Iya, Ndra, aku tau Ndra, jujur aku memang menyayangimu. Aku menyayangimu sebagai saudaraku, sebagai temanku, sebagai orang penting di dalam hidupku. Aku tidak pernah menyangka kamu menganggapku lebih dari seorang teman. Maaf Ndra, bukannya aku ingin melukai perasaanmu, tapi dari dulu sampai sekarang aku tidak mempunyai perasaan yang lebih padamu. Perasaanku padamu ini murni perasaan sayang dari seorang teman untuk temannya. Tidak lebih. “Maaf Ndra, sekali lagi aku bukannya ingin menyakitimu. Aku hanya tidak mau melukai perasaanmu kalau aku menerimamu, sedangkan di hatiku tidak ada perasaan yang lebih untukmu. Maafkan aku Ndra, aku merasa lebih pantas dekat denganmu sebagai seorang teman, bukan kekasih. Aku tidak pantas untukmu, Ndra. Kamu lebih pantas untuk gadis lain yang lebih baik dariku Ndra. Aku tidak pantas untuk kau cintai.” Alya menatap Andra dengan penuh penyesalan. “Aku tidak mau menyakitimu Ndra. Karena itu, lebih baik kita hanya berteman.” Andra terlihat tidak bersemangat saat Alya mengatakan kalau dia tidak memiliki perasaan yang lebih padanya. Alya memang mempunyai perasaan pada Andra, tapi perasaan itu hanya sebatas perasaan pada seorang teman. “Aku tidak pantas untukmu... Kau lihat sendiri Ndra seperti apa keadaanku. Aku cacat Ndra, kakiku lumpuh…” tambah Alya lirih. Andra mencoba untuk menerima kenyataan yang ada. Alya salah, bukan dia yang tidak pantas buat Andra, tapi Andra-lah yang tidak pantas untuk Alya. Andra sadar tidak seharusnya dia mengharapkan lebih pada Alya. Alya terlalu sempurna untuk Andra walaupun gadis itu tidak sama dengan gadis lainnya. Dengan susah payah Andra menata bibirnya untuk mengembangkan sebuah senyuman, walaupun saat itu dia merasa bibirnya terasa berat untuk digerakkan. Dengan sedikit mengabaikan hatinya yang patah, Andra tersenyum pada Alya. Meskipun itu adalah senyum yang terpaksa. “Elo gak usah minta maaf kok, Al. Lo gak ngelakuin kesalahan apa pun sama gue... Dan yang lo bilang kalo elo gak pantes buat lo itu salah besar Al. Gue yang gak pantes buat elo, bukan elo yang gak pantes buat gue. Elo itu selalu bersemangat menjalani hari-hari lo, sesuatu hal yang jarang ditemuin untuk orang-orang seusia kita.” “Ndra, aku…” “Dan elo juga gak perlu susah-susah buat minta maaf. Karena gue sama sekali tidak menyalahkan elo. Gue terima kalau elo tidak menyukai gue, dan itu sama sekali tidak menyakiti gue.” Kata Andra berbohong. Kemudian dia tertawa pelan, tawa yang pilu. “Ndra, aku benar-benar tidak mau menyakitimu. Kalau aku menerimamu itu sama saja aku menyakitimu,” Andra menggelengkan kepalanya, kemudian beranjak dari duduknya. “Kita pulang Al. sudah malam.” Andra berdiri membelakangi Alya. Dia tidak ingin gadis itu melihat wajahnya yang pasti terlihat begitu memilukan itu. “Ta… tapi Ndra...” “Lupain aja apa yang udah gue omongin sama elo. Anggap itu gak pernah ada. Sekarang kita pulang Al. Sudah malam.” ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD