Dua

1639 Words
Senin (16.50), 22 Maret 2021 ----------------------- Juan masih merasa kesal jika mengingat bagaimana keluarganya menjailinya. Karena terlalu panik Juan sampai lupa bahwa di sekitarnya ada banyak kapal motor dan malah memilih berenang mengejar kapal besar yang terus berlayar lambat. Beruntung barang-barangnya sudah lebih dulu ia letakkan di dalam kabin sebelum berpamitan. Jika tidak, dia pasti datang ke Pulau Shelee tanpa barang bawaan atau dengan barang bawaan yang basah. Yang lebih menyebalkan dari semua itu, Juan tidak bisa menghubungi Kirana untuk memastikan bahwa kekasihnya itu tidak marah karena ditinggalkan begitu saja. Masalah utamanya tentu saja sinyal. Tapi setidaknya dia bersyukur orang tua dan adiknya tidak lantas memutuskan untuk ikut bersama Juan ke Pulau Shelee. Mereka kembali ke pelabuhan dengan perahu motor hanya berselang beberapa menit setelah Juan berhasil mencapai kapal dan awak kapal membantunya naik. Sayang Juan tidak bisa melampiaskan kekesalannya karena kapal itu berangkat atas perintah sang Papa. Butuh dua belas jam untuk mencapai Pulau Shelee. Juan tiba di sana setelah lewat tengah malam. Tapi hebatnya, banyak warga berkumpul di pelabuhan, tampak jelas sedang menyambut kedatangan Juan. “Di mana mobil yang akan mengantarku ke penginapan?” tanya Juan seraya mengenakan jaketnya. Delon Colton—asisten Juan—menyahut, “Sudah menunggu di pelabuhan, sedekat mungkin dengan kapal seperti yang Anda minta.” “Bagus.” “Tapi—” Delon mendesah. “Saya tidak berhasil mendapatkan penginapan untuk Anda.” Juan menatap Delon tajam. “Maksudmu, aku akan tidur di lapangan terbuka?” “Ah, tidak!” buru-buru Delon berkata begitu mendengar nada kesal Juan. Tidak ada yang berani membuat Juan Keegan kesal, selain keluarganya, tentu saja. “Saya sudah mengantisipasi hal ini dan menyiapkan rumah untuk Anda. Hanya saja, rumah ini sangat sederhana dan mungkin akan membuat Anda tidak nyaman.” “Aku tidak masalah meski harus tidur di kolong jembatan sekalipun. Yang penting ada atap untuk tempatku bernaung.” Juan memasukkan kedua tangan ke dalam saku jaket seraya berjalan melewati Delon. Buru-buru Delon membuntuti sambil menenteng tas Juan. Di luar kabin, para awak kapal sudah menunggu Juan, termasuk sang Nahkoda. Kapal itu adalah kapal penumpang milik Keegan Corp. Namun perjalanan kali ini hanya khusus untuk mengantar Juan Keegan, calon penerus kerajaan bisnis Keegan Corp. ke Pulau Shelee. “Situasi di luar sedikit ricuh, Mr. Keegan.” Jerald Gervaise—sang Nahkoda—memberitahu Juan dengan nada khawatir. “Aku bisa mendengarnya dari sini,” sahut Juan enteng seraya terus berjalan melewati orang-orang yang menunggu di luar kabin. Memang sejak tiba di satu-satunya pelabuhan di Pulau Shelee, Juan mendengar banyak suara ribut. Dia hanya menganggapnya sebagai suara hewan malam dan sama sekali tidak merasa terganggu. Delon terus membuntuti Juan dengan perasaan cemas. “Mr. Keegan, orang-orang itu tampak marah dan tidak menerima kedatangan kita.” “Itu urusan mereka.” “Tapi—Anda bisa terluka.” “Maka akan kupastikan orang yang melukaiku dipenjara. Hukum di wilayah ini tentu masih berlaku. Namun jika tidak, aku tidak akan segan-segan melaporkannya ke kepolisian tingkat Provinsi.” Delon hanya bisa pasrah atas kekeraskepalaan Juan. Bukan urusan lapor-melaporkannya yang jadi masalah. Tapi ini mengenai keselamatan Juan. “Kami tidak menerima kedatangan orang-orang dari Keegan Corp.” Suara itu terdengar lantang dan serentak layaknya paduan suara. “Pergi dari sini!” Juan berhenti mendadak di tangga teratas untuk turun dari kapal. Delon yang berjalan terlalu dekat di belakang Juan karena takut tidak mengantisipasi hal itu. Alhasil dia menubruk punggung Juan, membuat lelaki itu menoleh lalu melotot pada Delon. “Kau tidak punya mata?!” “Kalau tidak punya, Anda pasti sudah memecat saya sedari dulu,” celetuk Delon lalu segera menutup mulut menyadari kelancangannya. “Kau!” “Maaf, Mr. Keegan.” “Ini tanah kami! Pulau Shelee adalah rumah kami! Orang-orang dari Keegan Corp. atau dari manapun tidak berhak mengusir kami!” Juan mengalihkan perhatiannya kembali pada penduduk Pulau Shelee yang berkerumun di dekat kapal, lengkap dengan obor dan kayu di tangan mereka. Astaga, memangnya mereka tinggal di zaman penjajah? Mereka seperti kaum pribumi yang sedang berusaha mengusir penjajah. Tanpa ada rasa takut, Juan menapaki anak tangga satu per satu. Delon di belakangnya hanya bisa menelan ludah namun tetap dengan setia membuntuti Juan. Awak kapal dan belasan tim keamanan Juan juga membuntuti, bersikap melindungi. Beberapa bahkan sudah menunggu di bawah, menjadikan dirinya sendiri sebagai tameng bagi Juan. Tiba di hadapan penduduk Pulau Shelee yang tampak murka, Juan hanya menampilkan raut datar. Tidak ada satupun wanita di antara orang-orang yang berkerumun itu. Mungkin karena sudah larut malam—bahkan bisa dikatakan dini hari—jadi para wanita dilarang keluar. Tidak seperti orang metropolitan seperti Juan. Siang dan malam tidak ada bedanya, mudah sekali menemukan wanita-wanita yang berkeliaran dini hari, terutama di club-club malam. “Kalian tidak diterima di sini! Pergilah!” Perhatian Juan langsung tertuju pada orang yang baru saja berkata lantang. Dia tampak lebih muda beberapa tahun dari Juan dan berdiri di barisan paling depan. Juan maju dua langkah untuk menunjukkan dirinya sama sekali tidak takut. Sementara tim keamanannya bersiaga di kanan kiri Juan. Tangan mereka tampak sudah menggenggam gagang pistol masing-masing, tidak segan melepaskan tembakan kapan saja. Sejenak pandangan Juan menyapu pada orang-orang yang menatapnya sangar lalu berhenti pada lelaki yang tadi bersuara lantang di depannya. “Aku bukan penyusup atau pencuri. Aku memiliki bukti pembelian atas seperempat tanah di pulau ini.” Pulau Shelee adalah sebuah pulau kecil yang hanya memiliki luas tanah sekitar lima ratus hektar. Pulau ini bukanlah destinasi wisata karena belum banyak orang yang tahu. Padahal pemandangan alamnya sangat memukau. Itu sebabnya Juan memilih untuk membangun resort di Pulau ini dan berencana menjadikannya tempat wisata. Dia sudah membayangkan sekitar dua atau tiga tahun mendatang, Pulau Shelee akan menjadi pulau wisata ramai pengunjung. Jelas ini adalah investasi yang sangat menguntungkan. “Bukti apapun yang kau miliki tidak sah karena para penduduk tidak pernah merasa menjual tanah mereka dan tidak satupun yang menerima uang darimu.” Lelaki tadi kembali berkata, lalu diikuti seruan membenarkan dari yang lainnya. Juan berdecak merendahkan seraya berkacak pinggang. “Kau ini lulusan apa? Aku punya tanda tangan pemilik tanah. Lengkap dengan kwitansi dan surat perjanjian jual-beli. Sebaiknya tidak perlu banyak bicara. Kita bawa masalah ini ke pengadilan.” “Ini penipuan!” Seru salah seorang Bapak bertubuh cokelat gelap, menunjukkan dia menghabiskan sebagian besar waktu di bawah terik matahari. Seruan itu memancing gemuruh persetujuan dari yang lain. Juan mengibaskan tangan malas. “Percuma bicara di sini. Hanya buang-buang waktu. Kita bertemu saja di pengadilan. Bawa semua penduduk di Pulau ini sekalian. Tanpa bukti, sampai pita suara kalian putus sekalipun, aku tetap menang.” Setelahnya Juan berbalik menuju mobil yang sudah menunggu. Suara riuh yang menyertai kepergiannya hanya ia anggap angin lalu. Tapi tinggal beberapa langkah dari mobil, Juan berhenti karena sebuah benda keras mengenai keningnya. “Astaga, Mr. Keegan! Anda berdarah!” Seruan Delon disertai tembakan ke udara yang dilayangkan tim keamanan Juan. Seketika, warga yang  semula saling sahut riuh langsung terdiam. Sementara tiga orang anggota tim keamanan dengan sigap berlari ke arah orang yang baru saja melempar batu ke arah Juan. Tidak sulit menangkap orang itu karena tampaknya dia juga tidak menyangka lemparannya berhasil melukai. Dia hanya berdiri mematung dengan wajah pucat dan kedua tangan membekap mulut. “Mr. Keegan, Anda harus segera dibawa ke rumah sakit!” seru Delon panik. Dia bahkan bergetar di tempat karena terlalu takut sekaligus bingung. Dengan santai Juan mengeluarkan sapu tangan putih yang selalu ia bawa di saku bajunya, lalu ia gunakan untuk mengelap darah yang mengalir menuruni sisi wajah. Setelahnya ia membuang sapu tangan itu lalu berjalan tenang menghampiri orang berpakaian serba hitam yang tadi berhasil melukainya. Para penduduk tampak membeku di tempat. Mereka juga tidak tahu siapa orang itu. Jarak orang itu dari kerumunan penduduk cukup jauh dan karena minimnya penerangan, wajah orang itu jadi tidak jelas. Tiba di depan orang itu, Juan berdiri dengan angkuh. Tinggi orang itu yang hanya mencapai leher Juan membuat Juan bisa tampak mengintimidasi. “Berani sekali kau melakukan ini padaku. Belum pernah merasakan dinginnya penjara?” Orang itu tidak mengatakan apapun. Dengan kedua tangan dicekal tim keamanan Juan, dia mendongakkan dagu dengan angkuh menunjukkan sikap perlawanan. Juan masih tidak bisa melihat wajah orang itu dengan jelas karena tudung jaket hitam yang dia kenakan dan tidak ada cukup cahaya. Akhirnya dengan kasar Juan menarik tudung jaket orang itu sementara tangannya yang lain menggenggam jaket di bagian d**a lalu menariknya hingga orang itu terpaksa berjinjit. Sejenak Juan tertegun dan terdengar suara terkesiap dari orang-orang di sekitarnya begitu tudung jaket lepas dan rambut hitam sebahu tergerai. Bahkan dua anggota tim keamanan yang semula masih mencekal tangan si pelaku pelemparan batu langsung melepasnya. “RISMA!!” “Itu Risma!” “Iya, Risma!” Terdengar seruan nyaris bersamaan dari penduduk yang langsung mengenali wanita yang telah melukai Juan Keegan. Mereka tampak kompak hendak menolong wanita itu, namun tim keamanan Juan dengan sigap membuat pagar pembatas dengan pistol mengacung. Juan tersenyum dingin masih dengan tangan mencengkeram jaket wanita itu dan membuat wajah mereka sejajar. “Ah, seorang wanita rupanya. Cukup berani. Tapi keberanian itu tidak pada tempatnya.” Bersamaan dengan kalimat terakhir Juan, terdengar suara sirene polisi mendekat. “Aku bukanlah orang yang suka mendiskriminasi berdasarkan jenis kelamin. Karena itu, tidak peduli apa jenis kelaminmu, aku tetap akan menuntutmu.” Bukannya gentar, Risma malah membalas tatapan mata abu-abu Juan dengan tajam. “Aku sama sekali tidak takut. Meski dibalik jeruji besi, akan kupastikan kau menyingkir dari pulau kami.” Mata Juan berkilat geli, merasa terhibur. “Jangan berlebihan, Nona. Bisa jadi malah sebaliknya. Mungkin kau dan keluargamu yang akan dilempar keluar dari pulau ini.” “Itu tidak akan terjadi!” “Kita lihat saja, dan—” mendadak wajah Juan mendekat lalu ia menggosokkan keningnya yang terluka dan masih mengeluarkan darah ke pipi Risma. “akan kupastikan kau membayar tiap tetes darahku yang kau tumpahkan.” -------------------------- ♥ Aya Emily ♥
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD