Satu

2000 Words
Senin (16.48), 22 Maret 2021 ------------------- “Ma, sebenarnya apa yang salah dengan Kirana?” Juan membuntuti Mamanya, Ratna Keegan, yang sedang menyiapkan makan siang di dapur. “Mama tidak suka.” “Iya, tapi kenapa? Kirana baik. Dia peduli pada Mama dan Jessie. Pintar masak, cantik, dan yang paling penting, kami saling mencintai.” Juan berkata lembut, mencoba membujuk. Ratna yang sedang mengiris bawang di meja dapur, hanya melirik putranya sekilas. “Dia terobsesi padamu. Itu tidak baik dan membuat Mama khawatir.” Juan mendesah. “Apa salahnya terobsesi pada orang yang balas mencintainya? Atau Mama tidak menyukai Kirana hanya karena Papa dan Mama Kirana pernah menjalin hubungan di masa lalu? Itu sungguh tidak adil, Ma.” KLANG. Ratna meletakkan pisau yang dipegangnya dengan kasar lalu menghadap putranya yang kini sudah berusia tiga puluh tahun sambil berkacak pinggang. “Mama tegaskan beberapa hal. Papa dan Mama Kirana itu tidak pernah menjalin hubungan. Mama tidak menyukai Viona karena dia genit pada Papamu meski sadar betul Mama belum mati dan masih istri sah Papamu, bahkan sampai sekarang. “Memang awalnya Mama tidak merestui kalian karena kelakuan Viona. Tapi sekarang Mama memiliki alasan lain, seperti yang Mama bilang tadi. Jika diteruskan, kalian pasti tidak akan bahagia.” “Bahagia atau tidak, tergantung kami yang menjalaninya.” Juan mencoba mempertahankan pendapat, masih dengan nada lembut. Ratna tidak tahu lagi bagaimana harus menjelaskan pada Juan. Ketidaksukaannya pada Kirana murni adalah feeling seorang ibu yang merasa putranya terancam. Bukan terancam berhubungan dengan nyawa, tapi lebih ke masalah kebahagiaan. Cukup lama ibu dan anak itu saling pandang hingga akhirnya Ratna mendesah lelah. “Baiklah, Mama mengalah. Mama serahkan semua keputusan di tanganmu.” Ratna melepas celemek lalu melemparnya dengan kesal ke meja dapur. Kemudian dia berbalik hendak keluar dari dapur namun berpapasan dengan Freddy yang baru melewati ambang pintu dapur. “Darl, kita akan sarapan—” “Tidak ada sarapan!!” Seketika Freddy mematung mendapat bentakan dari sang istri yang tiba-tiba. Bahkan tanpa penjelasan, Ratna melewati Freddy keluar dari dapur. Juan mendesah sedih melihat Mamanya pergi begitu saja dalam keadaan marah. Meski dia bilang menyerahkan semua keputusan di tangan Juan, tapi tampak jelas dia tidak ikhlas melakukannya. Dengan langkah tergesa, lelaki itu hendak menyusul ibunya. Saat tiba di dekat Freddy, sang Papa tampak akan bertanya tapi Juan segera mengangkat tangan menyuruh Freddy berhenti lalu berkata dengan nada kesal, “Juan sedang tidak ingin menjelaskan apapun, Pa.” Diapun berlalu dari dapur. Freddy yang masih tampak kebingungan menatap kepergian istri dan putranya. Dia menggaruk kepalanya tidak mengerti lalu berteriak, “Kalian marah satu sama lain kenapa melampiaskannya padaku?!” Mendadak Jessica Keegan berteriak dari lantai dua, hanya melongokkan kepalanya melalui pagar pembatas, “Papa jangan berteriak! Telinga Jessie sakit mendengar suara cempreng Papa!” Freddy mendongak sambil berkacak pinggang lalu menunjuk putrinya. “Hei, Nak. Banyak wanita tergila-gila pada Papa hanya karena mendengar—” BRAK. Namun belum selesai dia berkata, Jessie sudah melenggangg kembali ke kamarnya sambil membanting pintu. Astaga, ada apa dengan keluarga ini! *** Seperti yang menjadi kebiasaan Juan di pagi hari sebelum berangkat ke kantor, dia pasti menyempatkan diri  datang ke apartemen Kirana. Dengan kunci cadangan yang Juan miliki, dia masuk tanpa menekan bel lalu menghampiri Kirana yang sudah setia di dapur, memasak sarapan untuk Juan. Dengan senyum sayang, Juan memeluk Kirana dari belakang, membuat sang kekasih memekik kaget tapi kemudian tertawa begitu menyadari siapa orang di belakangnya. “Juan! Senang sekali membuatku kaget, ya?” Kirana tertawa kecil sambil memukul lengan Juan yang melingkari pinggangnya. “Ya, aku senang sekali. Bagaimana ini?” goda Juan. “Jangan menangis kalau aku mati karena kaget.” “Aku tidak akan menangis. Aku akan menyusulmu.” Kali ini nada suara Juan terdengar serius. Kirana sedikit menoleh dalam dekapan Juan, hingga keduanya saling menatap. Senyum kecilnya merekah melihat kesungguhan di mata Juan. “Aku mencintaimu.” “Aku juga mencintaimu, sangat mencintaimu.” Juan membalas senyum Kirana lalu menunduk untuk menanamkan kecupan ringan di bibir wanita itu. “Kau sudah sarapan?” Kirana kembali mengalihkan perhatian pada bahan masakan di hadapannya, masih dalam dekapan Juan. Dia tidak pernah terganggu dengan kebiasaaan Juan yang suka memeluknya saat memasak. “Itu pertanyaan yang tidak penting, Sayang. Aku selalu menyisakan ruang dalam perutku untuk menikmati sarapan buatanmu.” Kirana terkekeh geli. “Kalau begitu, tunggu sebentar. Makanan ini akan segera siap.” “Cepat atau lambat, aku tidak akan pernah bosan menunggu.” “Dasar perayu!” “Hanya kepadamu.” Kirana tertawa kecil lalu kembali melanjutkan kegiatan memasaknya. Saat seperti itu mereka jadikan kesempatan untuk saling bertukar cerita, terutama rencana keduanya beberapa hari ke depan. Selesai memasak, Juan membantu Kirana menyiapkan meja makan. Mereka tampak kompak melakukan aktivitas rumah tangga bersama, layaknya sepasang pengantin baru. Dan hal ini sudah mereka lakukan selama belasan tahun, namun sampai detik ini kemesraan keduanya belum bisa meluluhkan hati Ratna dan Jessie. “Apa kau akan benar-benar pergi selama itu dan melewatkan ulang tahunku?” Kirana mengungkit hal yang tadi sempat disinggung Juan dan berhasil merusak suasana hatinya. Juan menatap Kirana dengan pandangan penuh rasa bersalah. “Untuk kali ini, aku minta maaf, Sayang. Aku harus mengawasi sendiri pembangunan resort yang baru itu. Aku janji begitu selesai dengan urusan di sana, aku akan segera pulang dan membuat pesta kejutan untukmu.” Janji Juan sama sekali tidak berhasil mengubah suasana hati Kirana. Bahkan wanita itu terang-terangan memalingkan wajah dari Juan untuk menunjukkan kekesalan. “Aku tidak butuh pesta kejutan, Juan. Hanya butuh kau menemani pergantian usiaku.” Juan semakin merasa bersalah. Dia meraih tangan Kirana di atas meja lalu menggenggamnya erat. “Hanya untuk kali ini.” Kirana kembali menatap Juan. Matanya berkaca-kaca. “Tidak bisakah aku ikut?” “Tidak bisa, Sayang. Tempat itu cukup jauh dan berada di pulau terpencil. Juga ada masalah sengketa lahan yang kemungkinan besar akan berakhir ricuh. Aku tidak mau kau terjebak di tengah-tengah keributan itu.” Juan mengulas senyum. “Kau pasti akan jadi orang pertama yang kuajak ke sana begitu pembangunan resort selesai.” Tapi lagi-lagi, bujuk rayu Juan tidak bisa meluluhkan hati Kirana. Dia kembali memalingkan wajah dari Juan dengan bibirnya yang terkatup rapat. Juan berpikir keras, mencari ide untuk meluluhkan hati sang kekasih. Lalu dia teringat pembicaraan dengan Mamanya tadi. Juan ragu untuk mengatakan kesempatan yang diberikan Ratna karena sang Mama bahkan menghindar untuk berbicara lagi dengannya. “Ehm, Kirana.” Mendengar Juan menyebut namanya dengan nada lembut sekaligus ragu membuat Kirana menoleh. “Apa lagi?” nadanya ketus. Juan menghela napas lalu mengulas senyum cerah. “Mama sudah mengalah untuk kita. Dia menyerahkan semua keputusan di tanganku.” Punggung Kirana lebih tegak dan bibirnya terbuka tidak percaya. Namun dirinya  menahan rasa gembira yang mendadak membuncah di d**a lalu bertanya untuk memastikan. “Mengenai apa?” Senyum Juan semakin lebar. Dia tahu Kirana menahan rasa gembiranya. “Tentu saja mengenai kita. Mama tidak akan menghalangi lagi.” Air mata bahagia Kirana menitik. Dia menutup mulut dengan satu tangan yang tidak digenggam Juan. “Akhirnya Mamamu memberi restu?” Ehm, tidak mengatakan memberi restu sih. Tapi Juan mengangguk karena tidak ingin merusak kebahagiaan Kirana. “Astaga, aku tidak percaya hari ini akan tiba.” Tangis haru Kirana semakin keras dan akhirnya dia sesenggukan. Juan berdiri, mengitari meja makan lalu memeluk Kirana erat. “Sudah kubilang, kan? Kita pasti berhasil meluluhkan hati Mama.” “Lalu bagaimana dengan Jessie?” “Pendapat anak bandel itu tidak masuk hitungan.” “Tapi—dia tampak benar-benar tidak menyukaiku.” Nada suara Kirana yang semula menggebu-gebu berubah lesu. “Dia tidak akan bisa apa-apa jika Mama dan Papa sudah memberi restu.” Kirana tersenyum lega. “Senang mendengarnya. Terima kasih, Juan.” “Terima kasih juga, Kirana. Terima kasih karena bersedia menunggu hingga hati Mama luluh.” Kirana mengangguk lalu membalas pelukan Juan. Tidak ada yang lebih membuat mereka bahagia selain ujung dari penantian mereka. *** “Segera hubungi Papa setelah kau tahu detail masalahnya,” nasihat Freddy pada Juan. Kini mereka sedang berada di pelabuhan untuk mengantar kepergian Juan. Juan memang memilih naik kapal daripada helikopter untuk menuju Pulau Shelee, pulau kecil tempatnya berencana membangun resort. Juan mengangguk lalu memeluk sang Papa. Sudah sebesar ini Juan tidak pernah malu untuk menunjukkan rasa sayang pada orang tuanya, termasuk sang Papa. Dia hadir karena mereka. Jadi kenapa harus ragu dan malu? Kemudian Juan beralih pada Mamanya. Dia juga memeluk erat sang Mama seraya mengecup pelipis wanita yang telah melahirkannya itu. “Juan pergi dulu, Ma.” “Iya, Nak. Hati-hati. Segera pulang jika situasi semakin memburuk di sana. Lebih baik uang yang sudah kau keluarkan untuk membeli tanah itu hilang daripada kau terluka.” Meski Ratna kesal karena Juan tetap memilih Kirana, tapi jiwa keibuan membuatnya tidak bisa marah terlalu lama pada putranya itu. Jika Juan bisa bahagia dengan pilihannya, mau tidak mau Ratna memang harus mengalah. Juan mengangguk menanggapi nasihat Mamanya lalu beralih pada Jessie. Bibir sang adik mengerut tidak suka. Dia ingin ikut Juan ke Pulau Shelee namun tidak ada yang memberinya izin. Juan tersenyum geli melihat raut wajah Jessie. Dia mengacak rambut Jessie dengan sayang namun Jessie langsung menepis tangan Juan. “Jangan merajuk terlalu lama. Nanti wajahmu cepat keriput,” goda Juan sambil terkekeh geli. “Pergi saja sana! Semoga kau tidak kembali!” “Jessie!” Tegur Freddy dan Ratna bersamaan. Sudah sering kali mereka menasihati Jessie agar berbicara lebih sopan pada kakaknya, namun gadis yang sudah berusia dua puluh dua tahun itu tidak pernah mau menurut. Yah, kecuali jika dia sedang menginginkan sesuatu dari Juan. Dia pasti akan berbicara sangat manis. Juan sama sekali tidak tersinggung, namun terkekeh geli. “Jangan menangis kalau Kakak tidak kembali.” Mendadak sudut bibir Jessie melekuk membentuk senyuman. “Jessie malah mendoakan semoga Kakak menemukan Mrs. Right di sana.” Seketika senyum Juan menghilang. Dia tidak suka mendengar kalimat Jessie yang menyiratkan bahwa sang adik belum bisa menerima Kirana. “Hm, sudah waktunya berangkat.” Freddy menyela, menyadari suasana hati putranya berubah buruk. Juan menghela napas sejenak untuk menenangkan diri. “Sebentar lagi, Pa. Juan masih menunggu—” Juan tidak sempat menyelesaikan kalimatnya karena seseorang yang sedang ia tunggu tampak berlari ke arahnya. Senyum Juan merekah, lupa akan amarah akibat kata-kata Jessie sebelumnya. “Cih, betina—” Ratna menyenggol lengan Jessie lalu melotot memperingatkan. Jessie segera menutup mulutnya rapat seraya memalingkan wajah agar tidak melihat kemesraan sang Kakak dan Kirana yang selalu membuatnya mual. Sebenarnya tidak ada yang salah dengan cinta mereka berdua. Di mata Ratna dan Jessie, yang salah adalah orang yang Juan pilih. Ratna sendiri tidak tahu apa yang salah dari Kirana. Namun hatinya tidak pernah setuju Juan memilih wanita itu. Sementara Jessie tidak menyukai Kirana karena wanita itu selalu memonopoli perhatian Juan sedari mereka kecil. Dia jadi merasa diabaikan oleh kakaknya sendiri. Mengabaikan rasa tidak suka Ratna dan Jessie, wajah Juan bersinar cerah melihat sang kekasih berdiri di hadapannya dengan napas terengah. “Kupikir kau tidak akan datang.” Tangan Juan terulur, membelai pipi Kirana lembut dengan punggung tangannya. Kirana mengusahakan seulas senyum. “Aku tidak sanggup menahan diri untuk tidak datang.” “Senang mendengarnya.” Kirana meraih tangan Juan di pipinya lalu mendekapnya di d**a. “Berjanjilah kau akan menjaga diri di sana. Aku akan menagih hadiah ulang tahunku begitu kau pulang.” “Aku janji.” Kirana tampak lega. Lalu perlahan Juan semakin menunduk, membuat wajah keduanya semakin dekat. Namun— “Ehm, Juan. Kau pergi dengan kapal yang itu, kan?” Pertanyaan Kirana merusak suasana romantis di antara keduanya. Seketika Juan menegakkan punggung lalu berbalik, dan—Juan melongo melihat orang tua dan adiknya berada di atas kapal sambil melambai padanya. “APA YANG KALIAN LAKUKAN?!” Juan berteriak seraya bergegas mengejar kapal yang sudah berlayar sekitar lima meter menuju laut lepas. Dia bahkan melupakan Kirana, mengabaikan tubuhnya yang basah karena berlari di atas air lalu berenang mengejar kapal. Sepertinya bermesraan di tempat umum sampai mengabaikan sekeliling dan mengabaikan keluarganya bukanlah ide bagus. Juan pasti mengingat hal ini lain kali. ---------------------------- ♥ Aya Emily ♥
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD