06. Ucapan pecundang

1834 Words
Radita berjalan ke ruangan kakaknya sambil menggerutu terus-menerus karena kakaknya yang dua hari lalu pergi keluar kota, kini malah memberikan pekerjaan berat padanya. Ia harus menemui klien yang sudah ada janji-temu dengan pria itu dan menyampaikan maaf karena Hugo tak bisa menemuinya untuk kedua kalinya. Kata Hugo, dia merasa tidak enak karena sudah membatalkan pertemuan itu dua kali, pertama kali sekretarisnya yang menghubungi pihak investor, dan yang kedua ia merasa tak enak jika harus dibatalkan lewat ponsel lagi hingga akhirnya Hugo malah menyuruhnya dan sekretaris abangnya itu untuk menemui klien tersebut. Mau tak mau, Radita akhirnya pergi menggantikan abangnya. Radita jadi tak sepenuhnya yakin kalau abangnya itu memang memiliki pekerjaan di luar kota, apalagi perginya juga bersama dengan Elisa. Meski hanya 2 hari, tapi sepertinya itu waktu yang cukup untuk membuat Radita terbebani dengan pekerjaan yang bukan tanggung jawabnya. "Gila. Padahal di sini gue mau liburan malah dikasih kerjaan." rutuknya. Namun langkah Radita harus terhenti ketika ia ingin masuk ke ruangan Hugo, seseorang keluar dari pintu ruangan baca yang lokasinya tepat di samping ruangan Hugo. Felix. Ya, hanya dia sosok yang sangat memungkinkan bebas masuk ke ruang mana saja di rumah ini. Dan lagi pula Elisa juga sedang ikut Hugo ke luar kota, sementara pembantu rumah tangga abangnya tadi ia lihat sedang menyetrika pakaian. Radita berusaha mengabaikannya dan memilih melanjutkan pekerjaannya untuk memasuki ruang Hugo dan mengambil berkas yang dibutuhkan. Ia sama sekali tidak memiliki kepentingan untuk menyapa pria itu. Felix melirik Radita yang sudah masuk ke ruangan Hugo dengan perasaan yang cukup ragu, lalu menutup pintu ruang baca yang baru saja ia masuki dan memasuki ruangan Hugo. Yup, ruangan yang sama, yang dimasuki oleh Radita. "Gue mau ngomong" ujarnya ditengah kesibukan Radita. Wanita itu menoleh sebentar dengan sedikit sinis, kemudian kembali melanjutkan aktivitasnya "Gue nggak ada waktu" tolak wanita itu. Ia tidak berniat menciptakan ruang dan waktu untuk berbicara dengan Felix. "Lima menit aja." pinta Felix tak ingin menyerah. "Bahkan walau sedetikpun, gue tetep nggak ada waktu." balasnya benci. Ia menatap Felix bagaikan pemangsa ingin menerkam buruannya. Felix tetap berdiri di dinding pintu masuk sambil menatap wanita itu tanpa peduli penolakan Radita padanya "Lo nggak mungkin hamil kan cuma karena sekali main?" tanyanya tanpa pertimbangan lagi. Dari pada sibuk meminta kesediaan Radita untuk berbicara dengannya, maka lebih baik memulai agar wanita itu tertarik sendiri nantinya. Radita menatap pria itu dengan kesal karena ia benci mengingat kejadian buruk itu. Namun pada akhirnya ia tak menanggapi. Untuk kejadian itu, Radita memang sedih, kecewa, marah dan kesal, tapi beruntungnya ia tidak selemah itu untuk takut menghadapi Felix. Ia juga tidak mengalami trauma pasca kejadian, karena memang dirinya tidak mendapatkan kekerasan fisik dari Felix, selain sedikit pemaksaan untuk menembus keperawanannya. "Lo juga nggak masalahkan walaupun kehilangan keperawanan? Lagian sekarang ini, keperawanan juga nggak jadi tolak ukur untuk cinta. Gue harap lo nggak begitu mempermasalahkan kita yang main cuma sekali." Felix dengan ragu melanjutkan ucapannya karena Radita hanya diam "Dan gue yakin sih, lo nggak akan ngaduin kejadian itu sama bang Hugo. Kita sama-sama nggak mau merusak rencana pernikahan mereka kan. Ya selagi lo nggak hamil, nggak akan terjadi masalah apa-apa." Setelah menemukan berkas yang ia cari, Radita segera keluar dan melewati Felix begitu saja karena rasanya ia sudah tak ingin lagi mendengar ucapan Felix yang menunjukkan betapa brengseknya pria itu. Sekarang Radita sangat-sangat menyesal telah kehilangan keperawanannya untuk pria yang sama sekali tak bertanggung jawab dan memandang rendah wanita. Itu adalah hal yang paling ia sesali dibandingkan kehilangan keperawaannya untuk orang lain. "Brengsekk sialann." rutuknya berulang kali karena emosinya yang tak dapat ia kontrol dengan baik. Radita menatap Felix dengan senyum meremehkan, “Gue mungkin nggak bisa mempertahankan keperawanan gue sampai menikah, tapi yang gue sesali adalah orang yang mengambil keperawanan gue itu lo. Gue nggak menyangka kalau keperawanan gue harus hilang untuk cowok b******k dan nggak bertanggung jawab kayak lo, gue sangat menyesali itu.” kecamnya dengan mengeraskan hati supaya ia tidak menangis. Tangannya bahkan sudah gemetar karena ia berusaha seberani itu melawan Felix. Kalau saja Felix bukan laki-laki, Radita bersumpah bahwa ia rela mempermalukan dirinya untuk jambak-jambakan. Sayangnya Felix adalah laki-laki yang tenaganya dua kali lebih besar darinya. Buktinya melawan kekuatan pria itu ketika diperkosaa saja dirinya tidak mampu. Setelah kepergian Radita, Felix merutuki ucapannya. Ia benar-benar merutuki jiwa pengecutnya yang menunjukkan bahwa ia tidak bertanggung jawab sama sekali. Tapi keadaanya memaksanya melakukan hal itu. Ia juga tak mungkin bersikap biasa saja di depan Radita seolah tak terjadi apapun padahal ia tau kebrengsekannya melukai wanita itu. Tapi ia juga takut mendapat amukan dari kakaknya, Hugo bahkan keluarganya. Teman-temannya saja sudah menganggapnya gila, lalu bagaimana lagi dengan keluarganya. Ia hanya berpikir jika Radita tidak hamil, itu adalah hal terbaik untuk tetap dalam keadaan seperti ini. Kakaknya dan Hugo bisa melanjutkan pernikahan sementara ia bisa melanjutkan kebebasannya. Ya, harapannya hanya Radita tidak hamil. *** Setelah bertemu dengan klien Hugo, Radita kini memilih mengunjungi salah satu kafe favoritnya yang sayangnya hari ini sangat penuh. Ya wajar saja, ini jam makan siang dan para pekerja dari gedung-gedung sekitar pasti menghampiri tempat ini. Radita menyipitkan matanya saat melihat ada beberapa kursi kosong meski sebenarnya mejanya sudah diisi beberapa orang. Ia memilih memesan lebih dulu sebelum akhirnya menghampiri salah satu meja yang hanya dihuni oleh 1 orang. "Emh, permisi." Radita sedikit membungkuk sebagai tanda kesopanannya, "Boleh saya duduk di sini?" tanyanya sangat lembut sampai-sampai orang yang mendengarnya merasa terhipnotis dengan suara penuh kasih itu. Pria di depannya itu melirik ke segala arah kemudian mengangguk saat melihat meja-meja di sekelilingnya sudah terisi, "Silakan" ujarnya singkat. Radita kemudian duduk dan meletakkan tasnya, setelah itu ia pergi untuk mengambil minumnya lalu kembali ke kursinya. Ia mendudukan bokongnya sambil menatap pria itu yang cukup fokus pada bukunya, tapi tak lupa juga menyantap makanannya sesuap demi sesuap. Ketika Radita sudah selesai mengamati pria di depannya, kini pria itu balas melakukan hal yang sama dan ia menyadarinya sekalipun tidak mengangkat kepalanya. Matanya menatap pria di depannya saat pria itu membuatnya tak nyaman karena menatapnya begitu lekat "Emh, apa ada yang salah?" tanyanya sopan. Pria di depannya mengerjapkan mata beberapa kali lalu dengan ragu mengulurkan tangannya pada Radita, sekalipun ia sebenarnya takut ditolak karena mereka merupakan 2 orang asing yang tidak ada kepentingan untuk saling kenal. "Saya Joster" "Saya Dita, oh lebih tepatnya Radita." ujar Radita singkat sambil membalas uluran tangan Joster kemudian menariknya lagi. "Anda bekerja di HGiot?" tanya Joster Radita melirik pandangan Joster yang mengarah ke dadanya, oh lebih tepatnya kartu tanda staff HGiot enterprise yang ia kenakan dan lupa ia lepaskan setelah bertemu dengan klien kakaknya tadi. "Ah iya" jawabnya sambil menganggukkan kepala dan menipiskan bibirnya dengan ragu. "Saya sangat kagum dengan perusahaan tersebut." ujar Joster terus terang. "Ah benarkah?" tanya Radita dengan takjub. Joster mengangguk "Sayang sekali saya tidak bisa menjadi bagian perusahaan itu." "Memangnya apa pekerjaan anda?" "Saya pengacara." "Oh pantas saja. HGiot sudah memiliki pengacara yang cukup sejauh ini." "Ya. Lagipula mungkin bukan nasib saya untuk bekerja di sana." Joster sangat menyayangkan hal tersebut. "Tidak apa. Bekerja di manapun, asal anda bekerja keras pasti hasilnya tidak akan mengecewakan." "Saran yang baik Ms. Dita" "Terima kasih Mr. Joster" "Boleh kita saling berbagi nomor telepon?" tanya Joster ragu. Ini merupakan langkah yang terlalu berani untuk orang baru sepertinya. Dan jujur saja, ia tidak pernah segila itu pada orang yang pertama kali ia temui, sudah meminta nomor ponsel saja. Radita mengernyit melihat Joster memberikan ponsel padanya lalu menatap pria itu sejenak sebelum akhirnya mengambil ponsel Joster dan mengisi dengan nomornya. Sepertinya bukan hal yang buruk mengenal pria itu. Joster tersenyum selagi Radita menyentuh ponselnya kemudian memasang wajah sebiasa mungkin saat Radita melihatnya dan mengembalikan ponselnya "Terima kasih." ujarnya. *** "Cerah banget muka lo" ujar Esra melihat Joster yang baru saja datang masih dengan kemeja kerjanya. Felix dan Topan langsung menghentikan kegiatan mereka ketika mendengar ucapan Esra ketika Joster datang. Mereka ingin melihat secerah apa sih wajah Joster yang dimaksud oleh Esra. Joster terkekeh sambil membuka dua kancing bajunya lalu duduk di sofa single selagi menggulung lengan kemejanya sampai siku, “Percaya nggak sih sama cinta pandangan pertama?” tanyanya tiba-tiba dan membuat teman-temannya menatapnya sinis. “Ngapain lo nanya gitu? Jangan bilang lo baru merasakannya?” duga Topan. "Mungkin. Gue ngerasa udah nemu tipe ideal yang selama ini gue cari." Felix menatap sinis dengan alis terangkat sebelah sambil menggelengkan kepalanya "Cewek kan?" tanyanya membuat Esra dan Topan tertawa. Joster mencebikkan bibirnya "Ya cewek lah, b**o kok dipelihara." sinisnya "Ketemu cewek di mana lo sampe yakin dia tipe ideal lo?" "Yang pasti nggak di club kayak lo pada." sindirnya. "Nggak di club juga kalo udah nggak perawan sama aja." balas Topan sambil tertawa puas. "Bodo amat, yang penting gue udah yakin buat deketin dia. Gila sih, auranya positif banget, bikin orang senyum kalo neglihat muka sama senyum dia. Cara bicaranya juga lembut gilaa, bikin gue ngerasa jantungan tiba-tiba." "Cewek mana sih Jos?" Esra penasaran karena hal yang paling sulit ditakhlukkan menurutnya adalah perasaan Joster karena sejak berteman dengan tiga orang itu, ia merasa Joster lah temannya yang tidak pernah menyanjung wanita secara sembarangan. Berbeda dengan Topan dan Felix yang paling sering menilai dari fisik wanita. "Gak tau. Baru kenalan tadi." "Baru kenalan dan lo yakin itu tipe ideal lo? Gila" sindir Topan "Gue emang gila. Baru liat dia dan gue langsung ngerasa tertarik. Sempat ada percakapan singkat sih, tapi gue ngerasa dia orang yang bisa membuka pandangan gue dengan baik." aku Joster. "Jangan bilang lo gak tau namanya?" ujar Felix "Tau, tapi cuma nama singkat aja. Lagian buat apa lo pada tahu. Sekarang ini lagi musim ngerebut pacar temen, gue nggak mau gebetan gue direbut temen sendiri." "Tanya nama lengkap lah Jos, biar bisa ngepoin akun-akun sosmed dia" "Yaelah, nantilah kalo gue udah chatingan sama dia juga bakal tau seluk beluknya sampe warna dalemannya." "Anjirrr. Kepo gue sama cewek yang lo taksir" ujar Felix diangguki setuju oleh Topan dan Esra. "Lo tumben nggak main?" tanya Joster kepada Topan yang duduk bersama mereka karena biasanya setiap kali ke club, Topan pasti sudah sibuk dengan wanitanya. "Lagi males." "Bisa juga lo males." sindir Joster "Oh ya, lo udah lihat adeknya bang Hugo?" tanyanya tiba-tiba teringat dengan rencana gila Felix dengan Topan "Belum. Nih kambing bilang cewek itu tadi nggak di rumah." Jelas Topan sedikit kesal, padahal tadi ia sudah bersiap-siap dengan pakaian cukup rapi menurutnya untuk bertamu ke rumah Hugo dan melihat adik Hugo. Felix tidak sepenuhnya berbohong mengatakan Radita tidak ada di rumah, hanya saja ia sedikit merasa b***t jika sampai Radita menjadi korban Topan selanjutnya. Ia tiba-tiba berpikir bahwa ide itu sangat gila mengingat Topan sangat ahli mempermaikan hati wanita. "Udah kerja Lix?" tanya Joster "Masih kuliah. Kan gue udah pernah bilang adeknya bang Hugo itu kuliah di luar negeri." "Ya lupa." desis Joster "Kenapa lo nanyain itu?" tanya Felix "Kepo aja sama mukanya." Balas Joster dan diikuti anggukan oleh Esra dan Topan. “Gue juga penasaran. Pengen lihat cewek yang siall banget karena keperawanannya diambil sama oknum tidak bertanggung jawab kayak lo.” Sindir Esra.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD