Radita menghela nafas lega setelah melihat hasil tesnya yang menunjukkan tulisan hitam tebal yang dengan jelas mengatakan bahwa dirinya negatif hamil. Hingga akhirnya ia bisa kembali bernafas dengan bebas hingga dengan berani ia memutuskan kembali ke rumahnya pada saat ini juga.
Sebenarnya Rifka menegurnya karena kebodohan Radita yang memilih mengeceknya ke dokter sementara kejadiannya saja baru 3 minggu yang lalu. Tidak mungkin hasilnya keluar secepat itu, kecuali Radita berada pada masa suburnya Ketika melakukan itu, tapi Radita sendiri mengaku tidak dalam masa subur.
Radita juga sebenarnya sadar dengan kebodohannya itu, tapi demi membuat dirinya lega, ia akhirnya memaksakan diri untuk tes secepatnya dan akhirnya mendapat hasil sesuai dengan yang ia harapkan. Setidaknya untuk saat ini ia masih bisa bernafas lega dan bahagia karena hasil negatif.
"Balik juga." sindir Hugo. Radita terkekeh kemudian menghampiri pria yang sibuk membaca buku itu diruang keluarga. Wanita itu kemudian memeluk Hugo dengan senang.
"Kenapa lo?" tanya Hugo
"Gue meluk lo. Nggak liat? Nggak ngerasa?"
"Liat, tapi nggak biasa aja" ujar pria itu bingung.
"Gue sayang lo bang" ujar Radita. Hal itu semakin membuat Hugo ngeri dengan adiknya.
"Awas lo" Hugo mendorong adiknya hingga pelukan Radita lepas darinya.
"Ihhh, jahat banget lo. Nggak seneng banget gue baikin"
"Baiknya lo itu ngeri tau nggak"
"Bang, persiapan pernikahan lo udah berapa persen?"
"Ya berapa persen apaan? Masih juga rancangan. Kenapa nanya-nanya? Emang lo peduli sama nikahan gue"
"Ya enggak sih, tapi mau nanya aja. Siapa tau lo butuh bantuan gue"
"Nggak perlu, sana lo di kamar aja"
"Gue doain lo langgeng ya bang"
Hugo menatap adiknya dengan heran "Lo kenapa sih? Bikin orang takut aja. Kemaren aja pas gue bilang doain biar gue langgeng, lo malah ngomong nggak bakal ada yang betah sama gue. Sekarang tiba-tiba lo ngagetin gue"
Radita melipat kedua tangannya di depan d**a "Lo kenapa sih dari tadi nanyain gue kenapa. Gue gapapa. Emangnya nggak boleh gue doain lo biar kawinnya langgeng"
"Ya boleh. Tapi gue aneh liat lo pura-pura baik gitu sama gue"
"Yaudahlah lah, nggak enak doain lo yang baik-baik. Lo nya aja nggak terima"
"Elehhh bilang aja lo ada maunya sama gue"
"Ihh enggak"
"Bilang lo mau apa?"
"Enggak ada"
"Tinggal jujur doang. Lo mau apa? Mobil baru?"
Radita menabok wajah songong Hugo "Mentang-mentang perusahaan lo belum bangkrut, songong amat"
"Omongan lo jelek banget kayak muka lo"
"Biarin"
"Udah sana tidur, ganggu gue baca buku aja"
"Eleh, lo mah baca buku tentang bisnis mulu. Baca tuh buku 18keatas"
"18keatas itu biasanya video, anak kecil. Mentang-mentang lo di luar negeri terus sekarang lo sok dewasa gitu dari gue."
"Eh enak aja"
"Eleh, ngaku lo. Lo pasti udah nonton kan atau jangan-jangan lo udah ....."
"Apaan sih?" Radita menepis jari telunjuk Hugo yang menunjuk-nunjuk wajahnya lalu meninggalkan pria itu begitu saja hingga Hugo tertawa renyah.
Sesampainya di kamar, Radita menghela nafas berulang kali ketika dadaanya terasa sesak karena tak bisa membohongi diri sendiri "Lemah banget sih" desisnya "Lo harus bisa pura-pura nggak terjadi apa-apa."
Rasanya ia sudah benar-benar mencoba untuk menutupi semuanya tapi ketika itu didepan Hugo, ia akan merasa sakit sekali. Hugo adalah satu-satunya orang yang terus memperhatikannya dan menyayanginya setulus pria itu, berat rasanya menyembunyikan hal sekecil apapun dari pria itu.
***
Joster meletakkan makanan yang baru saja sampai setelah menunggu pesanan yang hampir 30 menit itu diatas meja, lalu membukanya dan memakan bagiannya sambil matanya fokus melihat televisi yang menayangkan kartun.
Esra mengelap kepalanya dengan handuk sambil menghampiri Joster "Enak banget lo makan sendiri, ngerasa rumah sendiri"
"Ya kan lo mandi, mau gue anterin makanan ke kamar mandi?" sinisnya
Esra terkekeh "Sensitif banget lo, kayak cewek pms aja"
"Biasa aja. Gue cuma nggak sabar denger cerita sibangke sana" ujarnya sambil melirik sembarang, namun Esra jelas tau bahwa yang dimaksudkan oleh Joster adalah Felix yang masih pulas dengan tidurnya.
"Paling nanti jam 10 tuh anak baru bangun. Kepo banget lo jadi cowok"
"Gimana nggak kepo, gue kan pengen tau rasanya merawanin anak orang"
"Yaudah sih sana cari, di club juga kadang ada stok perawan" desis Esra
Joster menggelengkan kepalanya "Males, niatnya aja mau jual diri, jadi udah pasti tuh cewek yang jual-jual keperawanan itu cewek murahan" ujarnya sambil mencebikkan bibirnya dengan sinis.
"Yaelah,-----"
Brakk
Topan muncul dengan nafas ngos-ngosan dan menghampiri dua pria di sana dengan tergesa-gesa. Esra mengernyit melihat keringat yang mengucur di wajah Topan "Kenapa lo? Abis sekss cepat?"
"Enggak. Gue nggak bakal cerita" ujar Topan masih dengan nafas tersengal-sengal. Ia menunduk dan bertumpu pada lututnya setelah menutup pintu.
"Yaelah, kayak cerita lo penting aja" desis Joster tak peduli.
"Masalahnya cerita gue malu-maluin" aku Topan dengan jujur bahwa ia baru saja melakukan hal yang memalukan dan tak layak dibagikan kepada dua temannya itu.
"Lo juga udah biasa kan malu-maluin"
"k*****t" desis Topan melempar bantal sofa pada Joster.
"Kenapa lo?" tanya Esra penasaran.
"Lo bakalan ngakak denger cerita gue" ujar Topan setelah ia kembali mengatur nafasnya lebih perlahan.
"Yaudah, cerita" tuntut Esra tak sabar.
"Gue tadi di basement ngeliat cewek rambut panjang lagi nangis gitu deket mobil. Terus gue samperin dan nanya dia 'kenapa nangis' karena gue adalah orang yang berprikemanusian kan. Tapi pas dia noleh, eh buset yang gue liat senyum m***m banci, anjing. Gue mau muntah dikejer-kejer tuh cewek jadi-jadian"
Esra tertawa puas sementara Joster hanya menggelengkan kepalanya "Gatel sih burung lo, sampe nggak bisa bedain mana cewek beneran sama cewek jadi-jadiaan"
"Gila lo Pan, cowok aja mau lo tembus juga" sindir Esra.
"Anjingg, ya kali" umpatnya pada Esra " Felix mana? Belum bangun?" tanyanya begitu tidak mendapati Felix berkeliaran di sekitar mereka.
"Masih tidur"
"Terus, gue ke sini ngapain sih? Ada info apaan? Penting gitu buat gue?" cecar Topan. Ia merasa kesal karena sudah menyempatkan waktunya untuk sesuatu yang belum penting.
"Felix merawanin adeknya bang Hugo"
Topan membulatkan mulutnya dengan mata mengerjap beberapa "Gila. Gokil tuh anak. Dia mau nyaingin kakaknya sendiri" ujarnya lalu duduk di sofa single "Terus gue ke sini cuma mau denger cerita itu aja?" tanyanya tak percaya.
"Iya" angguk Joster "Esra nganggep lo babunya makanya dia mau lo juga di sini dengerin cerita Felix nanti"
"Uekkkk uekkk" Esra segera ke kamar mandi dalam kamarnya di mana Felix sedang berusaha menumpahkan seluruh isi perutnya yang mengganggu.
"Begaya sih lo minum banyak" ejeknya tanpa membantu Felix sama sekali, ia hanya bersandar di tepi wastafel.
"Ah, kepala gue pusing. Jangan nambahin, b**o" desis Felix sambil memijat kepalanya. Ia membasuh mulutnya lalu mengelap dengan tisu sebelum akhirnya keluar dari kamar dan menemui Topan dengan Joster yang sibuk main game.
"Nih" Esra melemparkan minyak kayu putih ke Felix dan ditangkap pria itu dengan kernyitan menyepelekan.
"Ini buat apa?" tanya Felix merasa geli sendiri karena diberikan benda yang seharusnya digunakan oleh anak kecil.
"Buat digosokin ke perut lo, kepala, hidung sekalian seluruh tubuh"
"Lo kira gue masuk angin? Lagian ini mana mempan, b**o banget sih" ejeknya.
Esra melemparkan bantal sofa ke kepala Felix "Cuma itu yang ada di apartemen gue, lo kira gue ibu rumah tangga yang punya apa aja kalo lo butuh" cibirnya.
"Lix, gimana rasanya merawanin anak orang?" tanya Joster melirik Felix beberapa detik sebelum akhirnya kembali fokus pada televisi yang menayangkan permainan yang ia mainkan dengan Topan.
Felix membeku, lalu menatap teman-temannya bergantian karena terkejut mendengar pertanyaan itu. Seingatnya, ia sama sekali tidak bercerita soal itu kepada siapapun termasuk teman-temannya, lalu dari mana mereka mengetahui hal itu?, "Kalian tau dari mana gue merawanin anak orang?" tanyanya hati-hati sambil meneguk ludah.
Esra tersenyum picik "Lo sendiri ngaku kalo lo merawanin adeknya bang Hugo"
Felix berdecak sambil memejamkan matanya dengan penuh sesal karena ia harus mabuk semalam dan malah berakhir dengan rahasia yang terbagi pada tiga manusia terdekatnya itu. Ia sama sekali tak berencana membagikannya, apalagi ia tahu kalau teman-temannya itu cukup dekat dengan Hugo.
"Udahlah, gausah cari alibi lagi. Jawab aja" tuntut Topan mengerti jika Felix sedang mencari alibi guna melindungi diri.
"Gue ga sadar, gue kira itu cuma mimpi, tapi waktu gue bangun gue malah liat darah di selimut sama sprei kamar" ujarnya.
"Jadi gimana rasanya? Enak?" tanya Joster menghentikan permainannya dan mendekati Felix. Felix menabok wajah Joster agar menjauh darinya.
"Rasain sendiri" desis Felix kesal "Intinya itu bukan merawaninnya, tapi nasib gue gimana?"
"Nasib lo?" tanya Esra dan Joster secara bersamaan.
"Nasib tuh cewek yang harus lo pikirin" dengkus Joster.
"Yaelah, itumah nggak masalah selagi dia nggak hamil." Felix dengan santainya menanggapi ucapan teman-temannya seperti itu.
Lagi-lagi dan Joster dan Esra kompak menyudutkan Felix dengan memukul kepala pria itu secara bersamaan. Felix meringis kesal "Ngapain sih lo berdua?"
"Perasaan muka sama kelakuan lo kemaren nggak sebrengsek ini" ujar Esra. Berteman dekat dengan Felix, Topan dan Joster, ia jelas tahu bagaimana kelakuan mereka semua, meski mungkin perilakunya berbeda ketika bersama orang lain. Tapi Esra tahu kalau Felix tidak sebrengsek itu.
"Ya terus gue harus gimana? Gua nggak mungkin tanggung jawabin dia. Rencana pernikahan Elisa sama bang Hugo bisa gagal." Jelasnya masuk akal. Dengan keadaan Elisa dan Hugo yang sudah lama berpacaran dan sedang merencanakan pernikaha, Felix tidak mungkin dengan gilanya mengatakan bahwa ia akan menikahi Radita karena telah merenggut keperawanan wanita itu.
"Terus kalo mereka udah nikah dan adeknya bang Hugo ketahuan hamil, lo mau apa?" tanya Esra mengambil dugaan sebaliknya.
"Dia nggak bakal bilang kalo yang ngehamilin dia itu gue, dia juga nggak mungkin ngerusak kebahagiaan bang Hugo." Jelas Felix dengan yakin.
Ya, itu juga masuk akal. Apa yang dijadikan Felix alasan sejauh ini memang masuk akal, tapi tetap saja itu tidak bisa menyingkirkan kemungkinan-kemungkinan yang ada. Radita tetaplah seorang wanita yang butuh pertanggungjawaban saat dirinya kehilangan sesuatu yang sangat berharga bagi seorang wanita.
"Wuah, gila lo. Ternyata lo lebih b******k dari Topan" ujar Joster diangguki Esra setuju. Pemikiran yang dijelaskan oleh Felix tadi sudah cukup membuka pandangan mereka lebih jauh terhadap pria itu.
Topan mengernyit "Gue b******k apaan?" tanyanya.
"Udahlah Pan, gapapa minjem nama lo bentar aja" ujar Esra
"Ck" Topan berdecak sebelum akhirnya tertarik dengan satu hal "Adeknya bang Hugo, cantik nggak?" tanyanya.
"Cantik" jawab Felix singkat.
"Montok nggak?" tanya Topan lagi
"Standard aja" jawab Felix kemudian menatap Topan dengan serius "Lo kan suka sekss bebas, gue rasa kalo sama yang ini lo bakal lebih suka lagi." ujarnya membuat Topan mengernyit.
"Maksud lo apa?" tanyanya.
"Ya, lo nikahin dia aja, gantiin gue tanggung jawab kalo seandainya dia memang hamil. Dan kalo enggak, lo kan bisa puas main sama dia kalo udah jadi istri. Yang jelas dia bersih karena pengalaman pertamanya juga sama orang bersih."
"Anjing, lo gila ya. Sejak kapan sih lo sebrengsek ini?" dengus Esra tak habis pikir dengan usulan Felix.
"Gue liat ceweknya dulu" balas Topan yang semakin membuat Esra tak habis pikir. Joster hanya menggelengkan kepala mengetahui hanya Esra yang benar-benar waras dari antara mereka.
"Oke, gue bakal hubungin lo kalo ada waktu" ujarnya.
"Gila lo berdua. Ke ahli psikolog sana." ujar Esra
~~~
{NB: Kalau menemukan kata yang typo seperti brengsekk atau sialann (kelebihan huruf dalam sebuah kata), itu memang disengaja ya demi menghindari kemungkinan disensor oleh pihak dreame}