04. Alkohol

1458 Words
Tok tok tok “Masuk.” Ujar Felix dari dalam kamarnya begitu mendengar suara ketukan. Beberapa kerutan muncul di keningnya melihat Elisa mendatangi kamarnya lalu masuk dengan senyum ramah khas wanita itu. “Ngapain lo?” tanyanya tak bisa menduga niat wanita itu menemuinya di kamar seperti ini. “Gue nggak ganggu kan?” “Enggak.” Jawab Felix apa adanya. Dia memang sedang bersantai, hanya memainkan ponsel sembari membalas chat dari grupnya dengan teman-temannya. “Gue mau ngomong serius sama lo.” Ujar Elisa dan itu semakin membingungkan bagi Felix sebab mereka belum pernah dalam pembicaraan seserius ini. Tatapan Elisa juga menunjukkan bahwa wanita itu sedang bersungguh-sungguh. “Ngomong apaan? Lo belum mau mati kan?” Felix tiba-tiba merasa takut kalau ini adalah pesan terakhir hingga ia merasa asing dengan apa yang terjadi sekarang. “Gila ya lo doain gue mati. Pengen kawin dulu.” Protes Elisa dan kini Felix bernafas lega begitu mendapati pembicaraan ini sebenarnya tidak mengarah ke sana. “Itu, gue cuma mau nanya aja.” “Nanya apa?” “Lo canggung sama Radita?” Felix terdiam untuk beberapa detik karena tak menduga kalau ternyata yang hendak dibahas adalah mengenai Radita. Ia menatap wajah kakaknya sebentar lalu menduga-duga tentang apa yang sudah diketahui wanita itu sampai menanyakan hal ini padanya. Apa jangan-jangan Radita sudah bercerita pada kakaknya mengenai kejadian itu? Tapi rasanya tidak mungkin lagi Elisa masih berkata dengan lembut jika sampai wanita itu tau hal itu. “Kenapa lo nanya gitu?” Elisa melotot kepada Felix. Bukannya menjawab pertanyaannya terlebih dahulu, adiknya itu malah membalikkan pertanyaan. “Jawab aja kenapa sih? Memangnya susah ya jawabnya?” “Ya enggak sih, cuma canggung itu kan wajar, apalagi kita juga nggak akrab.” Jawab Felix berusaha senetral mungkin. “Iya sih, tapi kayanya Radita kurang nyaman banget sama kita, padahal pas pertama kami ketemu aja nggak secanggung itu. Sekarang malah kelihatan banget nggak nyamannya. Gue jadi bingung mengakrabkan diri.” Keluh wanita itu akan sikap Radita padanya. “Lo nggak ada buat salah sama dia kan?” Selidik Elisa dan Felix melotot pada kakaknya itu. “Kenapa jadi nyalahin gue?” tanyanya dengan tampang tak merasa bersalah sama sekali. “Ya, abisnya aneh aja sama perubahannya yang begitu. Siapa tau aja lo tanpa sengaja ngelakuin kesalahan gitu dan buat Radita jadi marah dan sedingin itu.” tuding kakaknya. Elisa tampak terdiam sejenak, lalu ia menyipitkan mata menatap adiknya dengan lebih curiga lagi. Ia menggelengkan kepala untuk menepis pemikiran buruk itu, tapi kemudian ia kembali mencurigai Felix. Secara terang-terangan ia bertanya, “Kebiasaan buruk lo mabuk nggak pernah lo lakuin ke Radita kan?” tanyanya. Siapa yang tidak tahu kebiasaan buruk Felix itu jika sedang mabuk. Hampir seluruh keluarganya tau kalau felix seliar itu ketika mabuk. Semua yang ada di depannya berubah menjadi wanita dan tangan pria itu akan bertindak liar. Bahkan pria itu pernah menggrepe-grepe papa mereka sendiri saking mabuknya dan tidak bisa mengontrol diri, sambil menyebutkan nama gadis-gadis yang tidak keluarganya kenali. Sejak itu orang tuanya melarang Felix untuk minum, karena itu akan sangat berbahaya bagi Felix dan keluarga besar. Itulah sebabnya Felix tinggal dengan Hugo, supaya pria itu bisa mengawasinya secara pribadi, meskipun dibanyak kesempatan, Felix lebih sering bersama teman-temannya dan Hugo tidak mungkin mengendalikan pertemanan pria dewasa itu. Felix tetap bandel dan sering ke club bersama teman-temannya, tapi beruntungnya selama ini tidak ada kejadian yang sampai mencemarkan nama baik keluarga Felix, walau pernah ada 2 kali laporan dari polisi yang menangkap Felix atas tindakan pelecehan. Hugo menanggungjawabi hal itu dan memberi peringatan supaya Felix tidak mengulanginya. Dan sejauh ini, hal itu tidak pernah berakhir di atas ranjang, kecuali ketika dengan Radita. Malam itu, ia bertindak tanpa ada yang dapat menghentikannya dan ia sendiri tidak bisa mengendalikan dirinya. Radita juga tidak memiliki kekuatan untuk mendorongnya. Wanita itu benar-benar lemah setelah air matanya keluar. “Ekhm, gue nggak segila itu.” desis Felix kesal. “Nanti kalau gue pulang, jangan lanjutin kebiasaan minum lo, Lix. Lo tau kan kalau di rumah ini ada perempuan. Ingat kebiasaan bangsatt lo itu bisa merusak masa depan orang lain.” Pesan Elisa sebelum pergi meninggalkan kamar Felix. Pria itu mengusap kepalanya dengan kasar begitu mendengar pintu tertutup. Baru saja ia berdamai dengan pikirannya setelah hampir 3 minggu memikirkan kejadian itu dan dampaknya pada Radita. Dari luar, wanita itu terlihat biasa saja, sehingga Felix merasa dirinya tidak begitu bersalah. Ia bahkan beranggapan buruk untuk meyakinkan kepalanya dengan berpikir, “Bisa jadi kan dia godain gue malam itu makanya sampai kejadian?” “Atau bisa jadi juga dia bukan nggak ada kekuatan buat dorong gue, tapi dia emang pengen gue sentuh dan bawa ke ranjang.” Dugaan picik itu terdengar sangat brengsekk, tapi kepala Felix malah meyakinkannya bahwa itu bisa saja terjadi sebab ia tidak melihat adanya rasa takut atau trauma yang berlebihan dalam dari Radita ketika melihatnya. “Ah, Elisa k*****t, ngapain ngingetin gue ke kejadian itu.” makinya pada dirinya sendiri, lalu meraih jaket, hp, dan dompet untuk ia bawa keluar. Pikrian buruk terus bersemayam di kepalanya dan ia perlu alkohol untuk melarutkan semuanya, setidaknya untuk malam ini. Tak lupa juga ia mengirimi pesan pada teman-temannya untuk menemaninya. *** Felix meneguk alkoholnya kembali untuk gelas ketujuh, hingga Esra heran melihatnya sambil tersenyum kecil "Kemampuan minum lo meningkat" sindirnya. Tidak biasanya tubuh Felix bisa mentolerir alkohol cukup banyak, tetapi malam ini, Esra dibuat terkejut karena hal itu. Felix kembali menuang alkoholnya dan meneguknya dalam sekali tegukan, Esra ikut mengambil bagian dan meneguk minumnya, hanya saja ia terlihat lebih santai, tidak seperti Felix yang meminumnya seolah akan ada yang mencuri alkohol itu darinya. Terlihat jelas bahwa Felix tampak seperti orang yang sedang menahan emosinya. "Ada masalah?" tanya Esra sambil meletakkan gelasnya. Felix menggeleng sambil memijat kepalanya yang mulai pusing. Esra menggeser air mineralnya ke depan Felix hingga kemudian Felix meneguknya dengan cepat dan langsung memejamkan mata erat menikmati rasa dingin yang mengalir lewat tenggorokkannya. Joster yang baru saja tiba di club itu langsung menghampiri keduanya sambil membuka dua kancing teratas kemejanya setelah melonggarkan dasinya. Ia langsung memesan segelas air mineral pada bartender kemudian meneguknya hanya untuk membasahi tenggorokannya yang terasa sangat kering. "Cape banget lo keliatannya." sindir Esra memandang Joster yang kini sudah duduk di dekatnya. Joster mengangguk sambil memijat tengkuknya menunjukkan bahwa ia sangat kelelahan, "Gila, nggak enak banget kerjaan gue. Ada begitu banyak kasus yang harus gue siapin dalam bulan ini, padahal baru juga gue masuk tuh perusahaan." Desisnya. "Yaelah, udah syukur lo dapet kerjaan." cibir Esra tak terima karena mendengar keluhan Joster yang sudah bekerja tetap, sementara dirinya masih terombang-ambing kebingungan untuk mencari perusahaan yang bisa menerimanya. "Syukur pala lo. Kalau lo liat seberapa banyak berkas yang harus gue baca, gue rasa lo bakal bahagia banget ngeliat penderitaan gue. Yakali gue tiba-tiba hobi baca." "Yaelah, anak hukum emang kegiatan seharusnya banyak baca. Dari dulu lo ke mana aja?" “Ah udahlah, lo nggak ngerti nih masalahnya. Dulu memang gue banyak baca, tapi yang ini jauh lebih banyak dari yang gue perkirakan.” Joster menyandarkan punggungnya ke sofa sambil menghirup nafas sebanyak-banyaknya, tidak terusik dengan dentuman musik yang begitu keras meski kepalanya sangat pusing. Ia kemudian melirik Felix yang mulai melantur namun tetap melanjutkan minumnya, kemudian ia memandang Esra "Kenapa nih anak?" "Gue nggak tau, tiba-tiba aja kuat minum. Paling besok dia nggak bisa bangun seharian." "Anak orang kaya mah enak, bisa nyantai kapan pun." desis Joster sengaja mengatakan itu karena Felix memangnya keturunan orang kaya yang ayah dan ibunya sibuk berbinis di berbagai negara. Kalau bukan karena orang tua Felix yang mempunyai perusahaan, mungkin sampai saat ini Felix akan menganggur atau mejadi orang paling akhir yang bisa mendapatkan pekerjaan. "Pekerja keras kayak lo mah lebih enak, kerja terusssss." ledek Esra. "Ledek aja terus sampe si Felix nggak jomblo lagi." Felix dengan kesadaran seadaanya menunjuk Esra dan Joster bergantian "Gue bakalan dibunuh sebelum dapetin pacar." "Siapa yang berani bunuh lo?" tanya Joster dengan alis yang terangkat sebelah karena tak percaya dengan ucapan Felix yang ngelantur. "Bang Hugo." jawab Felis masih disisa kesadarannya. "Kenapa? Lo kan calon adek iparnya." Felix kembali menunjuk-nunjuk kedua temannya itu secara bergantian "Gue merawanin adeknya asal lo tau aja." akunya tanpa ia sadari. Esra dan Joster secara refleks langsung berdiri dan memandang tak percaya pada Felix "Gila lo. Gila. Bener-bener gila." desis Joster tak percaya. "Gue emang gila." ujar Felix kemudian kembali menuangkan alkohol ke gelasnya namun Esra langsung menghentikannya dan berusaha menggotong pria itu untuk keluarga dari club, "Ayo keluar, butuh penjelasan lengkap nih besok." ajaknya pada Felix dan Joster yang masih sadar seratus persen. Joster kemudian mengangguk dan ikut membantu Esra menggotong Felix hingga mereka sampai di mobil Esra "Lo mau pulang ke mana?" tanya Esra begitu Joster ingin kembali ke mobilnya. "Ke apartemen lo lah, gue juga nggak sabar denger penjelasan perjaka merawanin anak orang." kekehnya. "Yaudah, kalo gitu gue duluan" ujar Esra lantas memasuki mobil dan memandang Felix dengan heran untuk sejenak. Ia masih belum bisa mempercayai ucapan Felix barusan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD