03. Pemikiran gila

1514 Words
Radita melirik Elisa ketika wanita itu seperti sedang mengamatinya dan ia langsung menatap televisi begitu melihat Elisa memang sedang mengamatinya dan tak berniat mengalihkan pandangan sampai Radita sendiri bingung kenapa wanita itu memperhatikannya dengan sangat lekat sampai Radita merasa ia memiliki kesalahan. Meski bukan pertama kali bertemu dengan Elisa, namun Radita tetap saja tidak seakrab itu. Ia juga bukan orang yang mudah berbaur dengan orang lain, kecuali orang itu sendiri yang berusaha mendekatinya dan menunjukkan sikap ramah. “Dit, kamu nggak nyaman ya sama keberadaan Felix?” tanya Elisa. Ingin sekali Radita menjawab dengan kalimat seperti ini, “Iya, bukan cuma sama dia, sama kakak juga, tapi mau gimana lagi.”, sayangnya ia hanya berani mengungkapkan semuanya dalam hati saja. Kalau sampai ia mengatakan itu, bisa jadi hubungan kakaknya dan Elisa menjadi berantakan karena wanita itu tersinggung dengan ucapannya. “Sedikit canggung aja, Kak.” Jawab wanita itu dengan sangat terpaksa. Tidak mungkin ia tiba-tiba menghina Felix di depan kakak dari pria itu sendiri. Ingin sekali ia menyelesaikan keakwardan itu, tapi kenapa Hugo lama sekali hanya untuk membuat kopi di dapur. Memangnya memasak airnya perlu banyak waktu. Ia tidak ingin menjawab pertanyaan calon kakak iparnya itu lebih banyak karena hal itu hanya membuatnya kesal sebab tidak ingin menjawab, apalagi pertanyaan menjurus pribadi. Dan lebih tidak suka ketika mereka harus membahas Felix. “Kakak minta maaf ya karena Felix tinggal di sini dan membuat kamu kurang nyaman, entah karena sikapnya atau hal lain. Felix itu emang nggak begitu ramah, jadi kamu nggak usah begitu peduliin dia.” Emang nggak peduli. Ujar Radita dalam hati sambil menahan rasa ingin mencakar sesuatu sebagai pelampiasan kemarahannya. Radita kembali terpaksa tersenyum dan itu benar-benar terlihat sangat dipaksakan, “Hehe, iya kak, nggak apa-apa.” Ujarnya dengan kekehan kecil yang dipaksakan. Setelah Hugo datang dari dapur dan membawa segelas kopi untuk dirinya sendiri, barulah Radita merasa lega karena kini fokus Elisa menjadi ke pria itu. Meski begitu, Radita masih tetap duduk di sekitar mereka sambil memperhatikan interaksi antara keduanya. Ia ingin melihat bagaimana kakaknya itu saat berhubungan dengan wanita dan bagaimana wanita itu memperlakukan kakaknya. “Oh ya, Dit, nanti lo selama liburan, bantu gue urusan kantor ya. Selagi Elisa di sini, bisalah gue menggunakan waktu untuk ngedate dan ngadelin lo untuk urusan kantor.” Ujar Hugo dengan senyum menyebalkannya. Radita hanya bergumam singkat, lalu memilih pergi dari sana karena ia tidak ingin mengganggu kemesraan 2 orang itu. Ia juga tak berniat untuk terus mengawasi apa yang mereka lakukan. Toh kakaknya itu pun sudah dewasa dan jelas sudah tahu mana hubungan yang sehat dan tidak. *** Felix berjalan bolak-balik dari mejanya ke pintu, lalu kembali, begitu seterusnya dan ia sudah menghabiskan waktu selama hampir 5 menit untuk melakukan kegiatan tersebut. Wajahnya tampak seperti memikirkan hal berat dan ia tidak tahu bagaimana mengatasi kebingungannya dengan isi kepala yang menumpuk. Tatapan Radita ketika menatapnya dan tangan wanita itu yang bergetar ketika menjabat tangannya membuatnya dihantui perasaan bersalah karena membuat ketakutan seperti itu untuk Radita. Ia benar-benar bimbang, bagaimana cara menyelesaikan kegalauan itu dan membuatnya tidak perlu memikirkan wanita itu dengan rasa bersalah. Ia sendiri sadar kalau dirinya salah, tapi utnuk mengakui kesalahan itu bukan hal yang mudah bagi Felix. Itu artinya ia harus merendahkan dirinya untuk meminta wanita itu memaafkannya. Dan lagi, itu adalah sesuatu yang pastinya sulit untuk dimaafkan. Bagaimana mungkin ia meminta maaf setelah merenggut keperawanan Radita. Memangnya memaafkan dapat mengembalikan semuanya seperti semula? Kemungkinan-kemungkinan penolakan yang akan dilayangkan Radita semakin membuatnya ragu untuk merendahkan diri dengan meminta maaf. Ia takut nantinya terjadi keributan ketika ia meminta maaf dan wanita itu menolak, apalagi dirinya juga bukan tipe pria yang akan sabar. Ia mudah emosi dan tidak terkendali ketika semua berjalan tidak sesuai yang ia inginkan. Bagaimana kalau nantinya keributan itu malah membuat Hugo maupun Elisa mendengar apa yang terjadi. Itu tidak mungkin. Felix segera menggelengkan kepalanya dengan saran meminta maaf yang sempat muncul dalam kepalanya. Itu bukan gayanya sekali. “Ah, udahlah Lix, itu bukan sesuatu yang penting untuk dipikirin. Selagi wanita itu nggak buka mulut ke Bang Hugo maupun Kak Elisa, maka semuanya aman.” Felix berusaha menenangkan dirinya dengan mengatakan kalimat tersebut. “Gimana kalau itu cewek hamil?” tanyanya lagi pada dirinya sendiri. “Ah, nggak mungkinlah. Masa sekali main langsung jadi, apa iya dia dan gue sesubur itu?” tanya Felix berdebat dengan dirinya sendiri seolah akan menemukan jalan keluar. “Atau kalau nantinya dia hamil, bisa jadi itu bukan anak gue. Bisa aja kan nanti dia punya pacar dan main sama pacarnya juga.” Angguk Felix kembali mengambil dugaan yang membuat dirinya sendiri tenang tanpa mempertimbangkan bahwa wanita yang sedang ia pikirkan itu memikirkan hal yang sama, tapi membebankan dirinya sendiri. “Operasi keperawanan harganya berapa sih?” pikir Felix lagi. Ia tidak tahu harus memikirkan apa sampai segala pemikiran tak masuk akal mulai merayap dalam kepalanya dan memunculkan segala kebodohan. “Ah, udah nggak bener nih isi otak gue.” Ujar Felix memukul-mukul kepalanya sendiri. “Permisi Pak. Kita ada rapat sebentar lagi.” ujar sekretarisnya mengejutkan Felix hingga tanpa sadar pria itu mengumpat dengan bahasa yang cukup kasar dan membuat sekretarisnya terkejut bukan main. “Kamu ngejutin saya, jadi jangan salahkan saya kalau kamu malah mendengar hal-hal yang sedikit kasar.” Ujarnya tanpa berniat meminta maaf, tapi malah mewajarkan apa yang ia lakukan. Itulah keegoisan Felix yang orang terdekatnya pasti tahu. Pria itu benar-benar selalu menganggap dirinya benar dan kalaupun ia salah, maka tidak ada kata maaf yang terucap, ia malah mewajarkan tindakannya sendiri. “Ah iya Pak, maaf. Saya hanya mengingatkan saja.” Ujar sekretarisnya kemudian keluar dengan sopan. “Ah, siallan, akhir-akhir ini gue banyak kehilangan fokus karena mikirin kejadian itu doang. Ayolah, kehilangan keperawanan bukan hal yang sangat buruk kan sekarang.” Ujarnya lagi. Ia memilih mengakhiri perdebatan batinnya dan meneguk minum yang ada di mejanya sebelum ia pergi keluar dari ruangan menuju ruang rapat. *** Radita baru saja menyelesaikan kegiatannya membuat mie kuah di tengah malam seperti ini. Perutnya berulah karena tadi ia hanya makan sedikit saja, akhirnya jam tidurnya malah terganggu dengan perut yang terus berontak dan membuatnya tak tenang. Dengan langkah yang berat, ia akhirnya memutuskan untuk ke dapur dan melihat apa yang ada di sana untuk bisa dimasak dalam waktu singkat. Melihat adanya sebungkus mie instan membuat selera makan Radita malah menjadi besar. Ia segera memasak 2, tanpa merasa dirinya harus mempertimbangkan lagi. Sepertinya ia sangat yakin kalau nantinya mie itu akan masuk semua ke dalam perutnya. Setelah hampir 15 menit berada di dapur, Radita akhirnya selesai dan membawa mangkuk berisi mie kuah itu ke ruang keluarga. Ia menghidupkan televisi dan menonton siaran acak yang muncul. Lagipula ia tidak akan terlalu fokus pada saluran apapun yang muncul karena perutnya lebih penting untuk diselesaikan. Ceklek Radita melirik jam di tangannya dan menatap jam dinding untuk memastikan bahwa jam sudah menunjukkan larut malam untuk seseorang berada di luar. Lalu, ketika mendapati Felix yang melintas, ia akhirnya memilih abai. Pria itu meliriknya sebentar sebelum berlalu ke kamarnya. *** Begitu tiba di rumah, Felix mencium harum yang cukup menggugah selera makannya. Ia baru saja pulang dari kantor karena sengaja lembur untuk menyelesaikan beberapa pekerjaan yang terbengkalai karena isi pikirannya terus tertuju pada kejadian lepas perawan dan lepas keperjakaan. Ia masuk untuk melihat siapa gerangan orang yang makan mie di jam sebelas malam seperti ini. Ia segera menuju kamar begitu mendapati Radita sendirian di ruang keluarga dan menonton televisi sambil menyantap mie kuah yang benar-benar harum. Tanpa merasakannya pun, Felix dapat menebak bahwa makanan itu sangat lezat. Ia menginginkannya. Setibanya di kamar, Felix mengusap perutnya dengan berat hati. Kenapa pula ia harus ada masalah serius dengan Radita? Seandainya tidak, ia tentu saja bisa meminta makanan wanita itu atau meminta tolong untuk dibuatkan juga. Tapi kini situasinya berbeda. Ia akan lebih brengsekk lagi apabila berani meminta wanita itu membuatkan makanan untuknya. Selama di kantor tadi, Felix tidak merasakan lapar sama sekali karena memang ia tidak begitu teratur dalam hal Kesehatan terkhusus makan. Ia terkadang bisa makan 3 kali sehari, bisa 2 kali sehari, sekali sehari bahkan tidak makan pun bisa. Tapi ini berbeda. Perutnya terundang karena adanya rangsangaan dari aroma sialann itu. Benar-benar nikmat, tapi tentunya harusnya tidak dapat mengenyangkan perut Felix. Ia segera pergi ke dapur untuk melihat apakah ada makanan yang tersisa untuk ia santap. Ia berdecak ketika tak lagi melihat adanya Radita di ruang keluarga. Ternyata wanita itu langsung menyembunyikan dirinya setelah bertemu dengan Felix. Felix tidak merasa terganggu dengan hal itu karena ia sadar kalau itu memang wajar dilakukan Radita. Ia mendapati mangkuk mie milik Radita tadi ada di meja makan dengan posisi tetutup piring kecil yang sudah ada bekas mienya juga. Ia tersenyum melihat mienya tersisa dan tanpa ragu, ia segera mengambil minum, lalu duduk di kursi meja makan dan menyantap mie milik Radita sekalipun wanita itu sudah lebih dulu memakannya. Yang penting Radita tidak melihatnya, maka Felix tidak merasa keberatan untuk menyantap apa yang sudah wanita itu santap. ~~~ {NB: Kalau menemukan kata yang typo seperti brengsekk atau sialann (kelebihan huruf dalam sebuah kata), itu memang disengaja ya demi menghindari kemungkinan disensor oleh pihak dreame}
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD