02. Perkenalan menyakitkan

1480 Words
Felix melenguh sambil memijit kepalanya karena mendengar suara ribut dari luar kamar hingga membuat ia dengan tak rela bangun untuk meninggalkan ranjang. Ia mengernyit begitu melihat kamarnya yang berubah. Ia melihat sekitarnya berulang-ulang sambil berusaha mengingat mengapa ia bisa sampai tidur tidak di kamarnya. Matanya membelalak begitu melihat darah di selimut dan sprei tempat tidurnya hingga ia mengingat kejadian semalam. "Astaga, s**t, gue merawanin siapa semalam?" ringisnya takut. Kepalanya masih sangat pusing hingga jalannya masih sempoyongan. Ia bahkan sampai berpegangan pada dinding saat berjalan keluar kamar menuju ke ruang utama. "Ada apa sih ribut-ribut?" tanyanya. Hugo menatap Felix dengan tajam "Di mana lo tidur semalam?" tanyanya curiga dan memperhatikan penampilan Felix dengan penuh selidik. "Di kamar tamu" ringisnya. "Sialan, jadi adek gue ke mana?" desis Hugo kasar dan meremas rambutnya. Ia kembali menatap tajam Felix dan teman-temannya. Ia sungguh menaruh curiga kepada Felix dan teman-teman pria itu. Mencium bau menyengat alkohol yang sangat kuat membuatnya berpikir mungkin saja mereka telah melakukan sesuatu kepada adiknya secara sadar ataupun secara tak sadar. Saat mabuk, mereka mungkin saja melakukan sesuatu yang mereka sendiri tidak sadari dan Hugo takut kalau itu terjadi kepada adiknya. "Kenapa lo balik nggak bilang-bilang, lo bahkan ngajak temen-temen lo di saat adek gue nginep di sini." Kesal dan marahnya yang ia lampiaskan pada Felix. Kalau ia tahu bahwa Felix akan pulang dan membawa teman-temannya, ia jelas tidak mungkin membiarkan adiknya masuk ke dalam rumah itu sendirian. "A-dek?" ah, sial. Ringis Felix begitu ia menyadari bahwa gadis yang baru ia perawani adalah adik Hugo. Tidak mungkin ada wanita lain yang bisa masuk selain adik Hugo jika memang benar Hugo membawa pulang adiknya semalam. "Iya, adek gue. Dia baru pulang dari San Francisco semalam dan gue nggak bilang sama lo karena gue mikir lo pulang lusa." Desisnya. "Terus sekarang dia di mana?" tanya Felix bodoh membuat ke empat pria itu menatapnya tajam. "Kalau hilang ya nggak tau di mana, b**o" jawab Topan kasar. Hugo menatap ke empat pria itu dengan tatapan mengintimidasi membuat Felix maupun tiga temannya meneguk ludah takut. Hugo masih ragu kalau dari mereka empat tidak ada yang bertemu dengan adiknya. Lalu, apa alasan Radita sampai meninggalkan rumah tanpa kabar seperti ini? "Lo berempat nggak ada ngelakuin hal yang macem-macem kan semalam?" tanyanya menatap wajah mereka satu-persatu. Felix mengepalkan tangannya karena merasa bersalah, namun ia tak berani mengakui kesalahannya yang akan berakibat pada rencana pernikahan Hugo dengan Elisa, kakaknya. Ia dilema, antara ingin mengaku dan takut bahkan merasa bersalah terhadap Hugo, adik Hugo dan kakaknya sendiri, tetapi ia juga tidak berani untuk mengakui perbuatannya. Ia sendiri belum yakin kalau dirinya memang benar-benar melakukan itu dengan adik Hugo. *** Radita memukul-mukul dadanya yang sesak, dengan air mata yang terus mengalir di pipinya, ia berusaha menguatkan diri namun tetap saja gagal. Air matanya yang bahkan sudah berusaha ia tahan tetap mendesak ingin keluar dari persembunyiannya. Hatinya yang tertekan membuatnya ketakutan dan tak bisa mengontrol diri. Ia takut bahkan sangat takut setelah apa yang ia alami. Rifka menangis sedih mendengar isakan sahabatnya yang begitu memilukan lewat pintu kamar yang tertutup namun tak mampu menyembunyikan suara tangisan Radita. Ia sudah menyuruh Radita untuk mengadukan hal ini pada kakaknya namun Radita takut untuk mengadukannya, apalagi setelah mendengar penjelasan kakaknya empat hari yang lalu. Ya, ini sudah hari ke lima ia menginap di apartemen Rifka dan rasanya dadanya masih sesak atas kejadian malam itu hingga ia sering menangis setiap kali mengingat bagaimana dirinya diperlakukan tidak senonoh oleh pria yang ia tahu kalau itu adalah adik dari kekasih abangnya sendiri. Ia memang sempat pulang waktu itu, itupun karena bujukan entah paksaan Hugo untuk mengenalkan ia dengan Elisa dan Felix, tapi setelah itu, ia kembali lagi ke apartemen Rifka. Flashback On Hugo merasa lega setelah mendapat sms dari adiknya yang sudah ia telpon hampir lima puluh kali dan sudah ia kirimi banyak pesan namun tak mendapat tanggapan. Ia dengan cepat menelpon Radita untuk memastikan bahwa adiknya itu benar-benar baik seperti yang wanita itu ucapkan lewat sms. "Halo Dit, lo di mana?" tanyanya terburu-buru. "Gue baik-baik aja kak. Kemaren gue kangen sama Rifka jadi langsung ke apartemen Rifka, gue lupa kasih tau." "Ya ampun, gue khawatir nyariin lo. Kalo mau pergi bilang-bilang dong. Yaudah, sekarang gue jemput ya." "Gak usah, gue masih mau di sini." tolak Dita dengan cepat. Ia tidak ingin bertemu dengan abangnya untuk sementara waktu apalagi sampai kembali ke rumah abangnya. "Gue jemput pokoknya, gue mau ngenalin lo sama adeknya Elisa." Dengan gigih, Hugo malah ingin memaksakan kehendaknya. "Ck, yaudah-yaudah. Tapi lo jemputnya agak sorean ya." Pasrah Dita pada akhirnya. Ia tidak mau Hugo sampai curiga padanya karena terus berusaha menghindar. "Iya" Sorenya, Hugo benar-benar menjemput Radita ke rumah Rifka. Radita tersenyum canggung ketika ditatapi kakaknya, ia berusaha untuk menyembunyikan matanya yang bengkak yang sebenarnya sudah ia kompres dengan air es namun hanya sedikit berkurang. "Lo nangis?" tanya Hugo Radita tau ia tak bisa berbohong dalam keadaan seperti ini, hingga akhirnya ia mengangguk "Iya" "Kenapa lo?" "Gapapa, gue semalem kangen-kangenan sama temen smp gue" "Nggak berfaedah banget air mata lo" ejek Hugo sambil menggelengkan kepalanya. Ia tidak terlalu curiga terhadap hal buruk lain yang menjadi kemungkinan Radita menangis karena adiknya itu adalah mahluk paling cengeng yang sangat Hugo kenal. Radita sebenarnya ingin mengungkapkan pada Hugo atas apa yang menimpa padanya dua hari lalu namun melihat wajah berseri Hugo yang menceritakan bagaimana mengenai calon istrinya Elisa Jeana Bastanta dan calon adik iparnya Felix Bastanta serta bagaimana Radita harus mengenalnya, membuat niat Radita surut dan akhirnya ia memilih waktu yang tepat. Sesampainya di kediaman mereka, keduanya turun dan langsung memasuki rumah dimana Elisa dan Felix sudah duduk sambil bercerita karena Elisa juga baru tiba dirumah Hugo hari ini dari Malaysia. "Hai kak Je" sapa Radita canggung. Elisa berdiri dan langsung memeluk Radita "Nggak usah canggung gitu, nanti juga kamu bakalan terbiasa sama kakak karena kakak bakal jadi kakak ipar kamu" ujarnya. Meski bukan pertemuan pertama kali dengan Elisa namun Radita tetap saja kurang bisa mengakrabkan diri dengan pacar abangnya itu. Radita tersenyum kecil dan sangat kentara bahwa senyuman itu dipaksakan. Matanya melirik Felix kemudian mengalihkan pandangan sambil menggigit bibirnya dengan rasa takut yang berusaha ia sembunyikan. Melihat hal itu, Felix langsung menghindar. Ia tak berani bertatapan dengan Radita karena akan berdampak pada mata gadis itu. Rasanya jantungnya berpacu begitu cepat melihat bagaimana lukanya gadis itu karena perbuatannya. Elisa kemudian melepas pelukannya dan Hugo langsung memperkenalkan Felix dengan senang hati kepada adiknya "Nah, ini adiknya kak Elisa" ujarnya. Karena tak ada dari mereka yang mengulurkan tangan untuk berkenalan, Elisa lebih dulu menyenggol lengan adiknya hingga Felix tersadar dan mengulurkan tangan pada Radita "Felix Bastanta.” ujarnya memperkenalkan diri. "Radita Galan." balas Radita dengan suara pelan. Jantung Felix justru semakin berdebar mendengar suara yang baginya terdengar pilu itu, tangan yang dingin dan gemetaran itu ia genggam begitu erat untuk menenangkan meski ia tau hal itu tak cukup. Radita malah akan semakin menganggap sikap Felix sangat kurang ajar. Radita segera melepas jabatan tangannya karena merasa tangan yang merusak dirinya itu begitu menjijikkan hingga ia ingin sekali pertemuan itu segera berakhir. Ia muak karena harus berpura-pura tersenyum. Ia tak bisa mengendalikan diri sehebat pria itu, dan lebih lagi, ia tak bisa menyembunyikan rasa mualnya lebih lama. Rasanya wajah Felix terasa sangat menjijikkan untuk ia pandang dan Radita benci itu. "Gue mau buatin minum dulu." ujarnya tanpa menunggu persetujuan langsung berlalu ke dapur. Di dapur, Radita meremas tangan di depan dadanya erat-erat berusaha menghentikan rasa sakit itu. Bukan karena kehilangan perawan, tapi hubungannya dengan kakaknya jauh lebih berharga dari itu semua. Dan ia takut kalau ia hamil dan terpaksa memberitahu Hugo siapa yang menghamilinya hingga akhirnya rencana pernikahan Hugo dan Elisa malah hancur berantakan. Belum lagi hubungannya dengan orang tuanya yang akan retak bila pernikahan putra tersayang mereka itu gagal. Radita tak berharap semua itu terjadi, tapi ia tahu bahwa bangkai busuk tak akan mungkin tidak mengeluarkan bau mau bagaimanapun kita berusaha menutupinya. Ia hanya bisa berharap kalau kejadian itu tidak akan menimbulkan sebuah nyawa dalam perutnya. Radita kemudian menghapus air matanya dan mencuci wajahnya agar dapat kembali ke depan dan menunjukkan wajahnya pada Hugo dan Elisa karena tadi ia pamit untuk membuatkan minum. Sekembalinya ia dari dapur, yang ia temui hanya Felix yang duduk di sofa sambil memainkan ponselnya "Mereka ke kamar. Kak Lisa mau istirahat." ujar pria itu tanpa mengalihkan pandangan dari ponselnya. Felix sengaja seperti itu karena ia merasa kasihan pada Radita yang tampak begitu terluka. Radita dengan langkah cepat pergi ke kamarnya yang ada di lantai dua, tak ingin berlama-lama rasanya menghirup nafas di area yang sama dengan Felix. Apalagi diamnya pria itu yang bagaikan orang tak bersalah, jelas membuat Radita semakin membencinya karena menyadari bahwa orang yang mengambil kehormataannya bukanlah pria bertanggung jawab melihat bagaimana pria itu bahkan tampak tenang meski kesalahan yang dilakukannya besar. Flashback Off
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD