Dia Kembali

1024 Words
Sore ini Dewi tengah menikmati sebuah novel dengan tema religi di ruang tengah. Buku bersampul merah ini telah ia baca selama satu minggu lebih, tetapi masih saja belum selesai. Membaca adalah hobi baru yang ia temukan semenjak ia menikah dengan Mas Bram. Kesibukannya sebagai ibu rumah tangga di usia muda, membuat waktu luang yang Violin miliki banyak terbuang percuma. Untuk itulah ia membutuhkan pelarian. Dari semua hal yang ada, membaca merupakan aktifitas paling mudah dan membuatnya menambah wawasan. Banyak jenis buku yang ia baca. Dari romance, religi, hingga horor. Dari penulis lokal seperti Dee lestari, Tere liye, Andrea Hirata, hingga penulis luar, seperti Sandra Brown, J.K. Rowling, dan Linda Howard. Kata-kata merupakan asupan baginya. Setiap quotes yang ia dapatkan mampu ia ambil dan menjadi sebuah perenungan tersendiri. Benar kata Pramoedya Ananta Toer, menulis bekerja untuk keabadian. Karena sejatinya sebuah karya merupakan bentuk warisan yang akan dikonsumsi tanpa kenal zaman hingga menjadi banyak ulasan di kemudian hari. Karena itulah Dewi menghargai setiap filosofi yang ada di dalam sebuah buku. Mereka seperti menyampaikan sebuah pemikiran melalui narasi dan paragraf yang tersaji. Membuat mata kita terbuka pada banyak hal yang sebelumnya tak disadari. Ada banyak pembelajaran dari setiap hal. Ada banyak hikmah dari segala sesuatu. Melalui tulisan, hal tersebut mampu diteruskan dan dijabarkan dengan cara yang indah. Membuat kita semakin memberi arti pada kehidupan yang telah Tuhan karuniakan. Jam sudah menunjukkan pukul 15.45 WIB. Tetapi matahari Bandung masih bersinar dengan terik. Udara terasa panas dan lembab, membuat sel-sel keringat tubuh bekerja dengan maksimal. Dewi membalik sebuah halaman buku dan menikmati konflik yang mulai berjalan. Penulisnya cukup ahli memainkan konflik. Dia menarik ulur emosi pembacanya dengan apik. Membuat Dewi mendalami jalan cerita ini tanpa menghiraukan sekelilingnya. Peluh mulai mengalir di pelipis. Kaos yang ia pakai terasa ketat di beberapa tempat. Kipas angin kecil yang ia pasang di langit-langit ruangan serasa tak berfungsi sama sekali. Rambut pendek Dewi mulai lepas dari jepitannya perlahan-lahan, menciptakan ikal-ikal indah membingkai wajah. Sebuah ketukan samar terdengar dari pintu depan. Dewi mengerutkan kening, merasa ragu-ragu. Tak berapa lama, ketukan itu terdengar lagi lebih keras dari sebelumnya. Dengan perlahan, Dewi menutup buku yang tengah ia baca dan meletakkan pembatas kecil di halaman terakhir. Wanita itu menatap jam kembali, memastikan hari memang masih sore. Tadi pagi Mas Bram bilang akan melakukan lembur bulanan. Mungkinkah suaminya itu tidak jadi lembur dan pulang lebih awal? Atau ada sesuatu yang tertinggal di rumah? Jika benar, kenapa ia tidak menghubungi Dewi dan memilih kembali ke rumah. Perjalanan dari tempat kerja ke rumah lumayan lama. Dua puluh menit dalam waktu normal. Jika lalu lintas padat, perjalanan tersebut bisa memakan waktu dua atau bahkan tiga kali lipat. Dewi berjalan ke depan untuk membuka kunci pintu. Semenjak komplek ini mendapat gosip tentang banyaknya perampokan, warganya dianjurkan untuk mengunci pintu dan menjaga keamanan diri secara maksimal. Keadaan di kota besar memang rentan oleh kasus kriminal. Membuat beberapa orang bersedia merogoh kocek dalam-dalam hanya untuk menambah fsilitas keamanan rumah. Seperti CCTV, misalnya. "Sebentar," kata Dewi membuka pintu dengan hati-hati. Biasanya Mas Bram memang tidak membawa kunci rumah. Suaminya itu termasuk pelupa. Dia telah menghilangkam pintu rumah tiga kali dalam rentan waktu sembilan bulan. Semenjak itu, Dewi memutuskan dia saja yang memegang kunci rumah. Jika ia pergi, kunci itu akan ia letakkan di bawah pot bunga mawar di depan rumah. "Mas Bram kenapa pulang lebih a—" Kalimat Dewi berhenti tiba-tiba. Dia menatap sosok di hadapannya dengan penuh rasa terkejut. Sejenak, sendi-sendi Dewi terasa kehilangan fungsi. Setiap tulangnya seperti tak lagi bersedia bekerja sama. Tubuhnya siap meluruh kapan saja. Kedua pupil mata Dewi membesar dan berkedip tak teratur. Udara serasa tak lagi memiliki kandungan oksigen. Paru-parunya bekerja dengan sangat berat. Kedua kakinya melemah dalam hitungan detik. Dengan putus asa, Dewi menggenggam daun pintu dan menopangkan seluruh beban tubuhnya di sana. Berbeda dengan reaksi Dewi, lelaki yang berada di hadapannya justru berdiri dengan arogansi penuh, tanpa kehilangan kepercayaan diri. Matanya masih setajam elang, seperti yang selalu ada dalam ingatan Dewi. Rahang kerasnya membingkai wajahnya yang bak dewa yunani. Rambutnya masih sewarna malam yang kelam. Seluruh penampilannya menunjukkan d******i penuh. "Kellan," panggil Dewi lemah. Dia mencengkeram daun pintu semakin erat, merasa hilang arah. Bagaimana bisa lelaki yang coba ia hindari selama dua tahun, kini berdiri angkuh di depannya, layaknya kaisar yang menuntut balas atas kesalahan kecil rakyatnya. Dosa apa yang telah Dewi lakukan sehingga sosok itu masih diijinkan oleh Tuhan berdiri anggun di depan pintu rumah mungilnya, sementara emosinya sendiri naik turun tak karuan. Mungkinkah karma lama mulai berjalan? Sebuah karma yang Tuhan berikan karena Dewi pernah melakukan banyak dosa terlarang? "Ya. Ingatan lu masih cukup baik. Gue Kellan," sahut lelaki itu dengan suara beratnya. Kedua mata hitam Kellan menyala penuh amarah. Entah apa yang kini telah berputar dalam pikiran lelaki tersebut. Melihat dari reaksinya, sepertinya entah bagaimana Dewi dianggap telah melakukan kesalahan fatal. Sebuah kesalahan yang memancing Kellan datang langsung ke hadapannya. "Ada apa?" tanya Dewi sedikit tersendat. Pandangan Dewi menyusuri setelan hitam Kellan yang terlihat rapi dan menguarkan aroma khas. Dewi selalu hafal aroma ini. Campuran seperti mint dan rempah-rempah. "Ada apa?" Kellan maju selangkah, mulai memasuki bagian dalam rumah Dewi. Sementara Dewi hanya sanggup mundur untuk mempertahankan diri dan mempertahankan kewarasannya. Pandangan Kellan berputar, menatap dengan seksama setiap sudut ruangan tamu. Satu set kursi berwarna merah marun, lemari bufet dari kayu yang dicat cokelat gelap, dan banyak hiasan dinding dari kain. Vas-vas keramik ditata indah di sudut ruangan, memberikan kesan mewah meskipun harganya rendah. Mata Kellan yang jeli bisa menilai kualitas benda dalam sekali pandang. Meskipun lelaki itu baru delapan tahun berkecimpung dalam dunia properti, tetapi penilaiannya cukup akurat mengenai perabotan dan furniture rumah tangga. "Ada apa? Setelah lu ninggalin gue tanpa jejak dan menutup semua akses komunikasi, lu masih bilang ada apa? Setelah lu pergi diam-diam dan membentuk hidup baru tanpa satu kata pun, lu masih tanya ada apa? Apa perlu gue jelasin detail apa aja yang udah gue kasih ke diri lu, semuanya hanya untuk dibiarkan, diabaikan, dan ditinggal pergi brgitu aja?" "Kellan, maksud lu—" "Maksud gue, gue ingin membuktikan gue bukan permainan abal-abal yang bisa lu kunjungi sesuka hati dan lu buang saat lu bosan. Gue yang membentuk hubungan, gue yang akan mengarahkan hubungan itu akan ke mana. Semua kendali itu berada di tangan gue. Dengan kata lain, gue ingin menyelesaikan apa yang belum selesai di antara kita." …
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD