Bandung

1305 Words
Bandung, 11 juni. Pagi ini matahari bersinar lebih awal. Sinarnya menyusup di setiap celah ventilasi rumah ini. Kehangatan menyelimuti setiap individu yang mulai bergelut dengan banyak aktifitas. Di pojok dapur, seorang wanita berparas lembut tengah sibuk dengan aktifitas memasak. Sebuah celemek merah ia kenakan menutupi bagian depan. Rambutnya yang pendek sebahu tergerai membingkai wajah. "Sayang, masak apa buat sarapan? Harumnya ngena sampai di ujung tulang-tulangku." Seorang lelaki dengan wajah lembut berperawakan sedang merangkul bahu istrinya dari belakang. "Mas Bram?" Wanita itu menoleh kaget, menatap wajah teduh suami yang telah menemani hari-harinya selama sebelas bulan terakhir. Bram semakin mengeratkan pelukannya, membuat sebagian kuah sup yang tengah istrinya masak tumpah ke samping. "Please, Mas. Aku lagi masak sekarang. Kamu sukanya buat recoh deh. Kebiasaan!" Sebelah tangan wanita itu menempeleng kepala suaminya dengan mesra. Seketika mereka saling berbagi tawa di ruangan kecil yang beraroma kaldu ayam. "Dewi, kayaknya nanti malam aku ada lembur untuk laporan akhir bulan. Nggak apa-apa 'kan pulang telat?" Bram mengecup sisi wajah istrinya dan melangkah mundur ke kursi ruang makan yang didesain menyatu dengan dapur. Rumah yang mereka berdua tempati merupakan salah satu dari perumahan sederhana yang mereka cicil lewat KPR. Rumah ini luasnya tujuh kali delapan meter dengan garasi di depan. Terdiri dari ruang tamu, ruang tengah, ruang makan yang menyatu dengan dapur, toilet, dan dua kamar tidur. Dengan kreasi Dewi, rumah ini menjadi penuh sentuhan perempuan. Beberapa hiasan dinding terlihat melengkapi rumah ini. Vas-vas kristal dipajang berderet di ruang tamu, memberi kesan glamor. "Nggak apa-apa. Memang setiap bulan Mas Bram lembur akhir bulan, kan?" Dewi mengangkat sup ayam yang baru saja matang dan menuang di mangkuk besar secara perlahan. Dia membawanya ke atas meja dengan beberapa sajian lain yang telah ia buat. Bram merupakan marketting salah satu bank BPR. Setiap akhir bulan masing-masing karyawan memang diharuskan menyelesaikan laporan akhir. Sering kali dia harus pulang jam sebelas malam, atau bahkan jam satu dini hari. "Nanti kalau tabungan kita sudah cukup, biar kita buka usaha saja ya, Sayang. Bekerja untuk orang lain itu melelahkan." Dewi tersenyum kecil. Memang begitulah realitanya. Status karyawan hanyalah kata pemanis sebagai ungkapan buruh. Pada dasarnya, kita sebagai pekerja tak lebih baik dari penghamba yang tenaga dan waktunya telah dibeli dengam nominal tertentu. Kepadaian kita dihargai dengan sejumlah uang. Kesuksesan pekerja, setinggi apa pun akan tetap membawa nama lembaga dan perusahaan yang menaunginya. Tetapi jika sedikit saja membuat tindakan buruk, hanya akan ditendang dari peusahaan dan mereka cuci tangan atas segala kesalahan. Ibaratnya, nama baik akan selalu dalam bayang-bayang, nama buruk akan tetap kita tanggung. Baik Bram maupun Dewi sama-sama memiliki ambisi untuk bisa menciptakan mimpi kecil tentang usaha yang akan mereka rintis secara mandiri. Proses yang paling sempurna itu adalah proses yang mampu kita nikmati sedikit demi sedikit, berkembang dengan cara perlahan hingga tumbuh menjadi sesuatu yang memiliki arti lebih. Di saat itu terjadi, tidak ada sebuah kebanggaan yang cukup besar bagi nama orang yang tertoreh di baliknya. Bram lelah menjadi bayang-bayang dari sebuah lembaga dan perusahaan. Dia menginginkan keberhasilan yang bisa ia raih untuk ia persembahkan kepada wanitanya. Sayangnya, seperti kebanyakan kasus lain, modal menjadi kendala utama. Dia hanya bisa bertahan dengan posisinya saat ini, menunggu finansialnya cukup kuat untuk memulai sesuatu. "Bersabarlah, Mas! Semua itu kan proses. Nanti jika saatnya datang, pasti Tuhan memberikan jalan baru bagi kita." Senyum Dewi secerah mentari pagi, memberi warna bagi hari-hari Bram. Wanita ini telah menjadi rumah tempatnya kembali, tanah tempatnya berakar, dan atap tempatnya bernaung. Cantik adalah definisi paling rendah yang Bram mampu ungkapkan tentang Dewi. Dia bukan hanya sekadar cantik, tetapi maknanya lebih dalam dari itu. Arti yang Dewi miliki telah membuat Bram hanya berkiblat padanya, menjadikan wanita itu separuh jiwa yang ia miliki. Bram bukanlah lelaki kaya atau pun lelaki luar biasa yang bisa memberikan surga dengan mudah untuk istrinya. Dia lelaki biasa yang demi memperoleh rumah saja harus melakukan banyak prosedural rumit. Tetapi Dewi telah menjadi tujuan bagi hidupnya. Akan ia genggam terus wanita itu hanya demi memilikinya selama yang ia mampu. Akan ia hadapi kerasnya dunia, selama hal itu mampu menorehkan senyum di wajah wanitanya. Semua keterbatasan yang Bram miliki, tak membuatnya berhenti membagi keindahan dunia yang ia raih untuk sang kekasih hati. Demi apa pun juga, Dewi merupakan satu-satunya cinta yang ia ijinkan berakar kuat di lubuk hatinya yang paling dalam. "Iya. Nanti setelah aku menjadi orang kaya yang mampu beli lusinan pulau, kamu akan jadi satu-satunya wanita yang aku manjakan. Mau beli mansion mewah, silakan! Mau beli kapal pesiar, ayo aja! Mau beli berlian langka, boleh banget!" Sam membilas piring yang baru saja ia gunakan di tempat cuci piring. Dia memang selalu membantu sebagian besar pekerjaan rumah yang ada. Sebagai seorang istri, Dewi sering kali merasa wilayahnya terinvasi. "Sudahlah, Mas! Sana berangkat. Kebiasaan deh, kalau pagi sukanya ngayal!" Dewi menepuk bahu Sam, menggeser tubuh lelaki itu agar segera pergi dari dapur. Sam membalikkan badan dan menatap dalam netra cokelat gelap milik istrinya. Sudut bibirnya tertarik lembut, membentuk segaris senyum yang sangat familier. "I love you, Dewi. More and more every time." Sam mengecup lembut bibir Dewi dan berlalu pergi meninggalkan dapur dengan terburu-buru. Jam sudah menunjukkan pukul tujuh lebih lima. Pasti tak mudah menembus jalanan utama menuju tempat Sam bekerja dalam waktu sesiang ini. Dewi hanya bisa melihat kepergian suaminya dengan senyum kecil. Perlahan-lahan, senyum itu pudar seiring hilangnya sosok Sam dari pandangannya. Sebelas bulan telah ia arungi bahtera rumah tangga bersama Sam. Sebelas bulan pula bibirnya selalu kelu setiap kali mengucap kata cinta untuk sang suami. Cinta, seperti sesuatu yang telah lama tak ia jamah. Cinta, merupakan hal paling ambigu yang hingga kini tak ia ketahui artinya. Cinta adalah hal yang ia gagal definisikan wujudnya dalam segi apa pun juga. Sam baik. Sam lembut. Sam sempurna. Tetapi hanya sebatas itu. Tak ada hasrat lain atau pun getaran hebat yang Dewi rasakan darinya. Dengan kata lain, Sam adalah titik amannya. Hanya sekadar itu. Lahan yang ia pilih sebagai tempat berakar meskipun ia tak memiliki ikatan kuat dengan tanah yang ia pijak. Mengenaskan. Tetapi itulah faktanya. Dewi mencoba mengubah apa yang ia rasakan menjadi percikan-percikan kecil. Siapa tahu saja akan membesar seiring berjalannya waktu. Nyatanya, hal itu tetap saja tak berguna. Lebih mirisnya lagi adalah mengetahui dengan sadar satu-satunya lelaki yang sanggup menciptakan letupan-letupan asing hatinya adalah lelaki b***t yang tak pantas untuk ia ingat. Lelaki yang memanggilnya sebagai Violin. Lelaki yang menjadikannya wanita rendah. Lelaki yang mengisi seluruh fokusnya. Lelaki yang bernama Kellan. Kedua mata Dewi terpejam erat, mencoba menepis setiap bayangan yang hadir dalam memori otak. Dia meremas jari-jemarinya dan meyakinkan diri. Sam adalah bagian dari hidupnya, lelaki yang ia pilih untuk menua bersamanya. Tak pantas bagi Dewi memikirkan lelaki lain yang seharusnya ia buang layaknya sampah. Ini adalah realita kehidupan, semua teori tentang cinta sangat tak pantas disandingkan dengan lelaki player seperti Kellan. Kisah mereka telah tertutup dua tahun yang lalu dan tak akan pernah sudi Dewi buka kembali. Demi apa pun juga. … Di suatu tempat, seorang lelaki berpakaian hitam membawa sebuah map berisi berkas-berkas penting. Dia mengangsurkan map tersebut kepada Kellan yang kini tengah duduk di atas kursi direktur utama. Mata Kellan menyipit tak senang. Sejenak aura di ruangan itu terasa berubah menegangkan. Kellan paling benci ada orang yang memasuki wilayahnya tanpa ijin, dan kini orang tersebut telah melanggar privasinya yang paling penting. "Jika kamu menggangguku hanya demi urusan ringan, kupastikan hidupmu tidak akan baik-baik saja setelah ini!" ancamnya serius. "Aku membawa kabar baik bagimu, Bos. Buka saja map itu dan Bos pasti akan bersyukur karena aku telah datang secepat ini untuk melaporkannya padamu." Lelaki berpakain hitam tersebut terkekeh kecil, merasa berada di atas awan. Dia telah mempersembahkan informasi paling dicari oleh atasannya. Setidaknya, Kellan pasti akan membayarnya dengan nominal tinggi setelah ini. Perlahan, Kellan membuka map tersebut. Dia langsung mematung ketika menatap foto yang dipasang di halaman pertama. Ekspresi Kellan tak lagi bisa terbaca. Dia membuka lembar-lembar belakangnya dengan cepat dan mata iblisnya bereaksi dengan kuat. Campuran antara amarah dan ambisi baru. "Bagus. Kamu menemukan kebeadaan Violin," ucap Kellan pelan. Dia menatap informannya dan bersiap memberinya cek kosong. "Bukan Violin, Bos. Namanya telah berganti menjadi Dewi Padmadevi. Perlu kutambahkan, wanita itu telah menikah." …
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD