TCM-1

1293 Words
Setelah berhasil membuatku terpikat, kamu pergi tanpa pamit. Renier tidak mampu mengalihkan pandangannya dari sosok wanita yang terlihat masih terlelap. Dengan wajah masih sangat pucat. Takdir macam apa yang sedang coba diberikan buat gue, batin Renier Sudah empat hari wanita itu terbaring tidak berdaya dengan badan penuh luka, kata dokter masa kritis sudah lewat tapi tetap saja tidak mampu membuat Renier bernapas lega. Dia masih ngeri saat mengingat kondisi wanita itu ketika dibawa ke rumah sakit, bahkan ketika itu Renier berpikir tidak selamat adalah kalimat yang akan dia dengar dari dokter. "Beruntung golongan darah kalian cocok. Kondisi empat hari lalu benar-benar kacau. Terutama stok darah di rumah sakit ini nggak ada yang cocok sama Magani." Terdengar suara seorang pria membuka pembicaraan. Renier mengalihkan pandangannya ke sofa di seberangnya, seorang pria dengan rambut curly bob duduk di sana dengan kaki bertumpu dengan kaki yang lain. Renier memaksakan senyumnya. "Kata dokter, kondisi Gani sudah stabil. Tapi hasil CT Scan menggambarkan kalau ada retak di tengkorak Gani, dokter menyebutnya retak tengkorak basilar. Jadi ya—dokter minta gue tunggu dan lihat perkembangannya." Jemari Renier menyusuri punggung tangan Magani yang tertancap infuse. "Dokter syaraf terbaik di rumah sakit ini juga sudah ikut membantu, seenggaknya gue udah sedikit tenang." Pria di seberang sana berdecak, lalu menghela napas kasar. Setelah itu bangun dari sofa dan memasukkan kedua tangannya ke saku celana bahan. "Kalau gitu gue nyusul Gilang dan Agatha ke restoran, lo mau titip makan?" Renier ikut berdiri dan menghampiri si pria. "Nggap perlu, Ben. Gue nggak lapar...," sahutnya seraya mendaratkan tepukan singkat pada bahu Ben. "Thank you, dan sori lo udah ikutan repot." Ben membalas dengan tepukan ringan pada lengan Renier. "Santai!" Tanpa memperpanjang basa-basi lagi Renier mengantar Ben melewati pintu kamar rawat, setelahnya Renier berbalik dan memandangi Magani yang terbaring di sana. Magani terlihat damai, mungkin ini wajah paling damai yang pernah diperlihatkan Magani padanya. Kecantikan Magani tidak luntur. Walaupun tanpa make up, tanpa baju seksi yang memperlihatkan lekuk tubuhnya. Magani memakai gaun rumah sakit berwarna biru muda, hampir di seluruh tubuhnya dipenuhi memar bahkan wajahnya pun tak luput dihiasi memar besar. Renier menarik napas tajam, kemudian berjalan ke samping ranjang. Dia menggeser kursi ke dekat ranjang. Harus diakui ada perasaan tidak nyaman saat berdekatan dengan Magani, seperti membuka luka lama yang sebenarnya ingin dilupakan oleh Renier. Dengan keraguan Renier memegangi tangan Magani di wajahnya. Suara ritmis monitor memenuhi kesunyian. Renier memejamkan mata dan melakukan sesuatu yang tidak pernah dia lakukan untuk Magani sebelumnya, mendoakan wanita itu. Dia sudah masuk pada tahap putus asa... semua usaha medis sudah dilakukan tapi Magani tetap tertidur. "Cakra..." Renier masih memejamkan mata, selama empat hari ini di sering mendengar suara ini tapi dalam mimpi, jadi kali ini Renier menduga ini hanya sebuah khayalan. "Ca—Cakra... sa... kit." Renier merasa ada remasan kecil di tangannya, mengumpulkan seluruh keberaniannya. Renier membuka mata dan memandang kedepan. "Cakra..." Suara itu pelan dan serak, suara Magani. Tapi wanita itu belum benar-benar membuka matanya. Dan Renier sudah kegirangan bukan main, mimpi buruknya telah berakhir. "Hei... Magani." Renier kelimpungan mencari alat untuk memanggil suster, tanpa mengalihkan pandangan dari Magani. "Cakra..." Magani kembali bersuara, kali ini dengan mata terbuka. Masih terlihat lemah dan berat karena pengaruh obat, tapi benar-benar terbuka. Magani telah sadar. Renier membelai pipi Magani dengan hati-hati. "Cak—ra mana? Kenapa... kenapa lo—" "It's okay... aku tahu kamu kebingungan, itu normal, Gani." "Cakra mana?!" Magani terdengar panik. Renier berusaha menenangkan dengan membelai wajahnya, tapi Magani yang tidak bisa mengangkat kepala dengan lemah memalingkan wajah dari Renier. "Magani sadar!" kata Renier nyaris berteriak saat ada suara suster bertanya di alat pemanggil. "Kenapa bukan Cakra? Cakra mana... dia ada di belakang... waktu motor datang... ya Tuhan, motor... tembok gerbang. Kepala gue..." Renier membisu, Magani meluruskan kembali wajahnya dan beradu pandang dengan Renier. "Lo Renier...? lo Renier atau kakaknya Renier?" Renier masih diam, sambil terus memperhatikan Magani memejamkan mata erat-erat dan berusaha menyentuh bagian belakang kepalanya. Renier menahan tangan Magani. "Jangan... jangan sentuh, Gani. Ada luka yang cukup parah di sana... dokter dan suster akan datang untuk memberikan obat penahan sakit." "Mama... ya Tuhan, Mama pasti marah lagi." "Hei... ssttt... tenang." "Tunggu ini hari apa? Nggak-nggak... jangan bilang gue pingsan lama? Gue ada ulangan Akuntansi... Sosiologi." Di tengah kebingungan Renier menghadapi Magani, pintu kamar terbuka dua dokter dan tiga suster masuk secara beramaan ke kamar rawat. Satu suster langsung menghalau Renier untuk menunggu di luar kamar, dan Renier langsung disambut ketiga temannya yang terlihat kebingungan dengan kebisingan kamar. "Udah bangun?" tanya seorang pria dengan badan sedikit lebih tinggi dari Renier. Renier masih berdiri di depan pintu, mengangguk sebagai jawaban lalu menyandarkan keningnya pada pintu kamar rawat. "Terus?" Renier menggeleng. "Gue nggak tahu... Gani bicara tentang kecelakaan motor di sekolah dulu." "Hah? Lah? Pan itu kejadian udah mau sembilan tahun, kok bisa?" "Gue nggak tahu, Lang." Reiner menegakkan posisi berdirinya dan menjauhi pintu kamar. Renier berbalik dan memandangi ketiga orang di depannya satu persatu. Tidak ada yang berniat membuka pembicaraan, karena semua masih mencari jawaban. Suara pintu terbuka memecahkan keheningan yang tiba-tiba terbentuk begitu saja. Dokter Anwar—dokter saraf yang menangani kasus Magani keluar. Memberikan senyum ramah, sembari menepuk pundak Renier sebagai pemintaan tenang. "Kondisi alat vital Magani sangat normal, tekanan darah juga bagus, secara keseluruhan dia baik. Tapi..." Dokter Anwar memberi jeda dan memandangi Renier penuh kewaspadaan. "Benturan yang hebat pada bagian kepala membuat Magani harus menderita amnesia retrograde, itu gangguan mengingat pada kejadian-kejadian yang baru terbentuk dalam kehidupan si pasien" Kedua kaki Renier terasa lemas, beruntung kedua sahabatnya—Ben dan Gilang dengan sigap menyokong badan gagah Renier agar tidak amburk di depan Dokter Anwar. "Apa Magani pernah kecelakaan saat berumur tujuh belas?" Renier mengangguk. "Untuk saat ini Magani sedang mengalami ingatan palsu atau biasa disebut konfabulasi, dia mengingat sebuah kejadian tapi ditempatkan pada waktu yang salah." "Jadi... apa yang harus dilakukan untuk memulihkan Magani?" tanya Ben mewakili Reiner. "Besok pagi kita akan melakukan MRI dan mencarikan psikiater untuk membantu Magani, tapi untuk hari ini... saya sarankan untuk tidak memaksakan Magani mengingat kejadian-kejadian yang dia lupakan. Saya khawatir dia akan disorientasi dan itu tidak baik bagi kesehatan fisiknya." Dokter Anwar menyudahi penjelasannya, lalu meninggalkan Renier. Pintu kamar rawat sedikit terbuka, Renier memperhatikan Magani dari cela yang ada. Wanita itu selalu berhasil menarik dia masuk pada masalah yang sebenarnya tidak mau dia ikuti. Sebenarnya Magani tidak secara terang-terangan meminta Renier terlibat, Renier punya pilihan untuk menolak. Tapi setiap kali matanya tak sengaja memandang mata cokelat penuh kerapuhan milik Magani, dia tidak punya keberanian untuk pergi, justru membiarkan diri masuk pada masalah Magani. Dulu... Dan sekarang... "Apa yang akan terjadi selanjutnya Ren?" Ben bertanya di balik punggung Reiner. "Dia udah bangun, tapi—" "Mengikuti yang seharusnya terjadi, Ben." Renier mengedikkan kedua bahunya, lalu berbalik memandangi Ben dan Gilang. "Rasanya egois kalau gue ninggalin dia gitu aja. Mungkin memang sudah seperti ini seharusnya." Renier menoleh ke Magani. "Gue harus menjaga dia setelah semua yang terjadi." Ben dan Gilang menghela napas secara bersamaan, keduanya kompak memperlihatkan keberatan atas keputusan Reiner. "Tapi, Ren—" Usaha protes Gilang dicegah oleh Agatha—istrinya. "Umur Reiner udah on the way dua puluh tujuh, seminggu lagi... gue rasa di peralihan umur itu, Reiner udah tahu cara memilih keputusan yang tepat dalam hidupnya. Iya kan, Ren?" Agatha merangkul lengan Gilang, tersenyum penuh ketegasaan agar Gilang melupakan usahanya untuk protes. Renier memaksakan senyumnya. "Pasti, Tha." "Jadi... lo juga tahu kan, setiap keputusan itu pasti ada risiko yang mengikuti. Jadi, lo harus siap menghadapinya nanti. Bukan hari ini. Mungkin besok, satu bulan lagi, atau satu tahun lagi." Risiko? Dia sudah siap menerima risiko seberat apa pun sejak memutuskan memecah kekacauan lalu lintas, menggendong badan ringkih Magani dari aspal yang keras, dan berlari menuju ke rumah sakit yang kebetulan berjarak satu kilometer dari tempat kejadian kecelakaan. Sambil terus berbisik, "Darl, kamu harus kuat..."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD