TCM-2

1359 Words
Dapatkah kita bersama setelah banyak luka dan pengkhianatan telah sama-sama kita rasakan? Magani mencoba untuk tidak terlalu keras memforsir sistem yang ada di otaknya, terlebih pada bagian pengingat, seperti yang dokter minta. Tidak berpikir. Tidak menjawab. Biarkan saja dunia berputar di sekitarnya asal tidak mengganggu. Namun, kehadiran empat orang asing di kamarnya membuat usaha Magani menjadi sulit. Yah—tidak benar-benar asing. Tiga orang masih bisa dikenali Magani, walaupun ketiganya mengalami banyak perubahan dari ingatan yang dia punya. Tapi ada satu yang tidak berubah dari ketiganya, cara ketiganya memandang Magani masih sama, memberikan efek tidak nyaman membuat Magani ingin kabur dan sembunyi ke tempat tidak bisa ditemui. "Bisa nggak sih kalian bertiga berhenti memandangi Magani kayak ngelihat zombie?!" seru wanita yang sangat asing bagi Magani, tapi merupakan orang yang satu-satunya orang yang bersikap akrab pada Magani sejak memasuki kamar rawat. Magani menoleh pada si wanita. "Maafin mereka ya, Gani..." Lalu, menggeser kursi yang dia duduki hingga nyaris menempel dengan ranjang Magani. "Eh, jangan tegang gitu! Gue bukan orang jahat kok, suer!" Magani memperhatikan Agatha lekat-lekat. "Daripada gue maksa lo buat ingat siapa gue, mending gue kenalin diri ke lo. Hai, gue Agatha Radmila, istrinya Gilang." Magani mengikuti arah telunjuk Agatha yang tertuju pada seorang pria tinggi, berwajah berpakaian sangat rapi, berpotongan front fringe, dan berkacamata. Si-jangkung-yang-suka-menggoda, panggil Magani dalam hati. "Tahu nggak sih pernikahan kita cuman beda sebulan." Pernikahan? Gue udah nikah?! NGGAK MUNGKIN! Magani tidak bisa menyembunyikan rasa horror saat mendengar kata pernikahan. Satu hubungan yang sangat dia benci sejak mengerti kalau satu wanita dan satu pria bisa terlibat hal yang rumit meski sudah menciptakan mahkluk baru di tengah mereka, seperti orang tua-nya. Magani sudah bersiap untuk menanggapi, tapi Agatha lebih dulu menyodorkan ponsel yang bagi Magani berbentuk sedikit aneh. Mirip iPhone yang dia punya, tapi berukuran lebih lebar dan tidak ada lambang apel kroak. "Ini foto kita waktu gue nikah..." Mata Magani membesar melihat foto itu. Bukan karena rasa terkejut si-jangkung-yang-suka-menggoda ternyata benar telah menikah, tapi karena... dia berpose dalam rangkulan seorang pria yang dipikir secara logika tidak akan pernah mau melakukan itu padanya. Magani melirik Agatha dari balik bulu matanya, dan seperti tahu apa yang dipikirkan oleh dirinya. Agatha mengangguk dan tersenyum tipis. "Seperti yang gue bilang, Gue dan Gilang nikah sebulan lebih awal dari lo dan Renier." Lalu tawa Magani memenuhi kamar rawat, diselingi suara mengaduh karena kepalanya mulai berdenyut nyeri. Magani mendadak berhenti ketika Renier sigap menghampiri dirinya yang mengaduh, dan sibuk membelai pipinya sambil mengeluarkan banyak pertanyaan cepat. Sakit? Bagian yang mana? Mau aku panggilin suster? Bukannya menjawab, Magani justru melongo dan spontan meyingkirkan jemari Renier dari pipinya. Kemudian, Magani kabur dari suasana aneh dengan cara paling cepat. Menutup matanya, membiarkan orang-orang itu berpikir diriya sedang kelelahan. Tak berapa lama, Magani merasakan ada yang menyentuh lengannya—Agatha, wanita itu berpamitan dan mengatakan akan datang lagi besok. Setelahnya terdengar suara kursi tergeser, derap menjauh, suara pamitan silih berganti, Renier mengucapkan terima kasih, pintu tertutup, lalu hening. Magani mulai berusaha mengingat apa yang terjadi sebelum ia bagun, dan melupakan banyak hal kecuali kecelakaan di depan sekolah yang kata dokter sudah sembilan tahun lalu. Artiya umurnya sudah dua puluh enam... tanpa sadar Magani mengerutkan keningnya. Dan setuhan lembut terasa menyusuri keningnya, seolah sedang meminta Magani berhenti. Renier? Dia menyentuh gue selembut ini? Dia suami gue? Magani merasakan sentuhan itu berhasil memenangkan otaknya yang panik karena tidak bisa mengingat apa pun. Bahkan merasa kehilangan saat jemari Renier pergi dari keningnya, dan sibuk membetulkan posisi selimut agar kaki Magani tetap hangat. Magani coba mempercayai semuanya, tapi sulit... Renier dalam ingatanya sangat membenci dirinya, sering memandang jijik, bicara ketus dan dingin. "Berhenti mengerjai gue..." Magani tidak tahan terus bersikap sedang tidur. "Kalau ini acara prank, suruh berheti deh, karena nggak lucu!" Magani perlahan membuka matanya. Ini terlalu indah untuk sebuah kenyataan. Dia tidak lagi takut berhubungan serius dengan pria, dia menikah, hebatnya menikah dengan pria yang dulu sangat dia inginkan. Bukan hanya itu, dia punya teman wanita yang terlihat sangat dekat dengannya—Agatha. Magani memiringkan kepalanya sedikit. Renier sedang berdiri di dekat kakinya, tanpa bisa ditahan mata Magani mulai mengamati penampilan Renier yang sekarang. Pria itu sangat tinggi, paras wajah dan sorot matanya masih sedatar biasanya tapi lebih tajam, rambut hitamya yang sedikit ikal dan panjang diikat membentuk model man bun yang memberikan kesan seksi. Ditambah dengan bakal janggut yang menghiasi tulang rahang, pundak yang lebar, badan yang berotot dalam balutan kemeja jins tangan panjang. Magani menemui sebuah kewajaran kalau dia rela dinikahi oleh pria ini, tapi... "Lo nggak punya kewajiban buat nungguin gue, lo bisa pulang... tolong, minta Cakra temani gue," ucap Magani. Renier berjalan ke arahnya dan duduk di kursi samping ranjang. Lalu, merogoh saku dan mengambil domper lipat dari dalam sana. Magani kebingungan, dia tidak meminta uang... dia hanya mau Renier pergi dan memanggil Cakra—orang yang sangat dia percayai. Kebingungan Magani bertambah, saat Renier mengeluarkan sebuah cincin perpadu warna perak dan emas, di tengahnya ada guratan ranting. Renier tersenyum tipis, mengambil tangan kanan Magani, dan memasukkan cincin itu pada jari manis Magani. "Orang dari acara prank nggak akan mau ribet nyiapi cincin couple." Renier mengangkat jari manis pada tangan kirinya. "Kamu istri aku, kita udah menikah satu tahun tiga bulan. Tanggal nikahnya bisa kamu lihat di cincin..." Pria ini miliknya? Sepenuhnya? Magani megedarkan padangannya untuk meghindari mata Renier. "Cakra mana?" Dia memilih megajukan pertayaan yang sama, tentang Cakra—orang yang ucapannya langsung bisa dia percayai. Terdengar Renier mengembuskan napas pelan, lalu menjawab dengan sabar, "Cakra udah pindah ke Lodon empat tahun lalu, terakhir kalian berhubungan saat kita menikah." Mendadak Magani merasa seperti alice di negeri antah berantah. Tidak mempunyai orang yang bisa dipercayai. Tidak tahu apa yang sedang terjadi. Semua asing. Bahkan pria yang telah menghiasi mimpinya sejak pertemuan pertama mereka di acara MOS SMA, juga terasa asing dengan sikap dan status yang sekarang. "Mama?" Magani memberanikan diri untuk memandang Renier lagi. "Papa? Bik Tini? Pak Ono? Mereka—" Renier memindahkan posisi dudukya dari kursi ke tepi rajang. Dia menyentuh pipi Magani, mengelus dengan penuh kelembutan. "Kita masih punya banyak waktu untuk bercerita, aku janji akan ceritain semua kejadian yang hilang dalam ingatan kamu. Sekarang kamu istirahat dulu, kata dokter kamu harus bayak istirahat sampai fisik kamu pulih." Magani menggeleng. Dia tidak bisa istirahat. Dia ingin bertemu orang-orang yang dia kenal, bukan sekadar kenal nama tapi tahu siapa dirinya selain si tukang bohong, si biang onar dan si gadis nakal. Renier tidak tahu siapa dirinya. Magani merasa tersesat dan kepalanya berdentum kesakitan, dan dia melakukan hal gila yang tidak pernah dia lakukan sejak usianya sebelas. Menangisi kesakitannya di depan orang lain. Renier mendekatkan wajah dengan wajah Magani, tanpa perasaan sugkan dia menyatukan keningnya dengan kening Magani. "Aku tahu kamu bingung dan takut... tapi, tolong percaya sama aku... semua akan baik-baik aja." Renier diam sesaat, kemudian medaratkan bibirnya pada kening Magani. Panjang, dalam, penuh Arti. Dan air mata semakin deras mengalir. Magani selalu membayangkan adegan manis seperti ini dengan Renier, bahkan sejak dia mulai bermesraan dengan seorang pria, dia selalu membayangkan wajah Renier. Ketika ini menjadi kenyataan, Magani sulit untuk mempercayainya. Di tengah kehangatan akibat sikap Renier, dia masih merasa ada sebuah kesalahan tengah terjadi. Renier menarik bibirnya dari kening Magani. Badan atletis Renier merosot, hingga keningnya bisa mencapai puncak bahu Magani. Magani berulag kali mendengar tarikan dan embusan napas panjang. Seolah Renier berencana untuk tidur dengan posisi seperti itu. "Aku senang kamu memutuskan bangun," bisik Renier. "Aku takut kamu memutuskan untuk pergi lagi dariku." Magani semakin kehilangan kemampuan untuk berpikir, dia sangat kebingungan. Dia tidak ingat, apa yang terjadi selama sembilan tahun setelah umurnya tujuh belas. Dia tidak tahu, apa yang membuat Renier mau dengannya bahkan menikah. Dia tidak megerti, kenapa Renier takut dia pergi. Tapi di antara semua pertanyaan itu, Magani harus menanyakan satu pertanyaan yang tidak bisa ditunda. "Jawab satu pertanyaan, setelah itu gu—aku akan tidur dan menyimpan pertanyaan untuk banyak hari yang kamu bilang." Renier mengangkat badannya, duduk tegak, dan memandang Magani. "Apa pernikahan kita bahagia?" Renier tertegun, menarik napas panjang lalu mengembuskan pelan, satu tangannya terkepal, rahangnya berkedut. Tampak jelas sedang berusaha mengendalikan emosi yang datang entah karena apa. "Bahagia. Pernikahan kita bahagia.... sangat bahagia," sahut Renier pelan nyaris kehilangan suara.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD