MINERVO 03 : Menghilangnya Sesuatu yang Berharga

1121 Words
Tok! Tok! Tok! Tiba-tiba terdengar sebuah suara ketukan dari pintu depan rumahnya, membuat Paul yang sedang melamun, langsung terperanjat mendengarnya. "Permisiiiii! Apakah ada orang? Anu, saya teman sekelasnya Paul, Olivia, datang kemari membawakan tas gendong Paul yang ketinggalan di kelas!" "Sial! Kenapa harus gadis itu yang datang!" Paul terlihat tidak suka saat tahu bahwa gadis yang bernama Olivia datang ke rumahnya. Terpaksa, Paul pun akhirnya turun dari kamarnya, untuk menemui Olivia yang berdiri di depan pintu rumahnya, di sisi lain, ia juga tidak mau jika sampai ibunya yang membukakan pintu untuk gadis itu, karena menurutnya, itu akan sangat merepotkan. "Ya? Ada apa, Olivia?" ucap Paul setelah ia membuka pintu rumahnya, menemui gadis berambut hitam bergelombang itu, yang sedang berdiri sambil menggendong sebuah tas punggung warna hijau milik Paul. Seketika, wajah Olivia memerah saat kedua matanya saling bertatapan dengan Paul, ia sampai menundukkan kepalanya, menyembunyikan mukanya. Lalu, dengan suara yang sedikit gugup, Olivia berkata, "Ak-Aku datang kemari hanya ingin mengembalikan tasmu yang ketinggalan di kelas." Olivia dengan tangan yang gemetar memberikan tas yang dipegangnya ke Paul. Paul segera menerimanya, tapi dia merasa ada yang berbeda dari sikap Olivia. Menurut Paul, kali ini, Olivia terlihat malu-malu, padahal biasanya gadis itu sangat cerewet dan menyebalkan. Apakah ada sesuatu yang membuat Olivia bisa berubah jadi seperti itu? Mungkinkah suasana hatinya sedang buruk? Semakin memikirkannya, semakin membuat kepala Paul tambah pusing. Daripada terus memusingkannya, Paul pun memberanikan diri untuk bertanya soal itu pada Olivia secara langsung. "Kupikir, ada yang aneh dengan tingkahmu hari ini, Olivia." Seperti disambar petir, jantung Olivia berdetak kencang saat mendengar pertanyaan itu, sepertinya, dia pun bingung pada dirinya sendiri sampai bisa seaneh ini, padahal hanya berbicara dengan Paul saja. Mungkin, karena sebelumnya, dia mendengar rumor buruk dari teman-temannya saat dikelas, yang mengatakan bahwa Paul telah resmi dikeluarkan dari sekolah. Membuat perasaan Olivia yang awalnya biasa-biasa saja terhadap Paul, jadi terguncang dan merasa kaget. "E-Eh!? Kau ini bicara apa, Paul? Aku baik-baik saja, kok!" Olivia langsung membangun senyuman riangnya pada Paul." Jadi kau tidak perlu khawatir padaku, hanya saja...," tiba-tiba, senyuman riang di wajah Olivia perlahan-lahan menipis dan akhirnya menghilang, tergantikan dengan wajah murung yang sendu. "Hey, Paul. Katakan padaku. Apakah itu benar. Bahwa kau dikeluarkan dari sekolah?" Nada bicara Olivia ditekan saat melontarkan pertanyaan itu pada Paul, disertai dengan tatapan mata yang serius, sambil menatap wajah lelaki muda berambut jabrik hitam di depannya. Namun, samar-samar, bola mata gadis itu terlihat berkaca-kaca seperti ingin menumpahkan air mata, tapi dia masih menahannya saat ini. "Itu bukan urusanmu." Dengan santai, Paul menjawab pertanyaan itu dengan nada yang dingin. Karena dipikirannya saat ini; memang apa masalahnya jika ia dikeluarkan dari sekolah? Lagipula itu adalah urusannya sendiri, orang lain tidak perlu ikut campur. Itulah sebabnya, Paul jadi sedikit sentimen jika ada orang yang bertanya demikian padanya. Bukannya benci, tapi dia hanya risih pada orang yang suka ikut campur. Sementara itu, kedua mata Olivia langsung terbelalak mendengar jawaban kasar dari Paul. Sudah terduga, pasti ada sesuatu di balik masalah ini, Olivia merasa, dia harus membongkar semuanya agar Paul tidak dikeluarkan dari sekolah. Ini adalah tanggung jawabnya sebagai ketua kelas, untuk membantu teman sekelasnya yang terkena sebuah masalah, apalagi masalah kali ini berkaitan langsung dengan kepala sekolah. Sembari mengepal kedua tangannya, Olivia berkata pada Paul, dengan memasang wajah serius. "Jangan khawatir, Paul. Aku berjanji, apa pun masalah yang sedang kau hadapi saat ini, aku akan membantumu! Pokoknya, aku akan--" "Sekarang kau boleh pergi, terima kasih sudah membawakan tasku." Malas mendengar kata-kata penyemangat yang terdengar bodoh, Paul pun segera memotongnya dan mencoba mengusir Olivia dengan nada yang dingin. Membuat Olivia yang mendengarnya terkejut, tak sangka kalau niat baiknya, yang ingin membantu Paul agar tak dikeluarkan dari sekolah, tidak diterima dengan ramah oleh lelaki berbadan kekar itu. "Maaf?" Olivia masih tidak bisa percaya, soalnya, baru kali ini dia merasa terhina begini. "Apa kau mengusirku?" "Menurutmu?" Paul balik bertanya, dengan mengangkat sebelah alisnya, sambil menarik senyuman miringnya yang tampak jahat. Akhirnya, Olivia paham setelah melihat sikap Paul padanya. Pantas saja kepala sekolah mengeluarkan lelaki ini, dari caranya berbicara pun, Paul memang terkesan persis seperti seorang berandalan, tidak punya sopan santun, kasar, tak bermoral, tak punya perasaan, menjengkelkan, dan segala macam hal sampah lainnya. Gadis itu jadi sedikit menyesal karena ingin membantu Paul, dia jadi sangat jengkel. "Baiklah, aku pergi." Karena hatinya terluka, Olivia segera membalikkan badannya, ia juga sengaja mengibarkan rambut hitamnya yang bergelombang, sampai membuat rambut-rambutnya menampar wajah Paul dengan keras. Kemudian, dia pun melangkahkan kakinya, pergi dari hadapan lelaki berambut jabrik itu. Paul tidak menyadarinya, kalau sebenarnya, saat Olivia membalikkan badannya, gadis itu menumpahkan air matanya dalam keheningan. "Dasar gadis berisik." Paul pun kembali masuk ke dalam kamarnya, menyimpan tas hijau sekolahnya ke lemari, dan ia pun mengangkat kepalanya untuk memandang kunang-kunang yang beterbangan di langit-langit kamarnya, tapi, "Eh!? Mereka menghilang!" Seharusnya kunang-kunang itu ada di dalam, sedang terbang bebas di langit-langit kamarnya, tapi kini keberadaan mereka tidak ada. Lenyap. Tanpa jejak. Membuat Paul jadi sangat panik, ia kalang-kabut mencari keberadaan ruh mungil itu di setiap sudut kamarnya, tapi hasilnya tetap nihil. Padahal jendela kamar tertutup rapat, dan selain itu, tidak ada lagi lubang di dinding yang bisa membuat mereka terbang keluar. Bahkan ketika dirinya menemui Olivia pun, dia sudah menutup pintu kamarnya rapat-rapat, jadi dia sangat yakin, mereka tidak mungkin bisa keluar dalam keadaan pintu sedang tertutup. "Apa Ibu melihat kunang-kunang yang terbang berkeliaran di sekitar sini!?" Cepat-cepat Paul lari ke dapur, menemui ibunya yang sedang sibuk menggoreng sesuatu. Napas Paul sampai terengah-engah, saking paniknya. Bisa gawat jika sepuluh ruh itu menghilang, dia bisa terkena masalah yang lebih berat dari sekedar dikeluarkan dari sekolahnya. "Apa? Kunang-kunang? Memangnya sejak kapan kau memelihara seekor kunang-kunang, Paul!?" "Sudahlah bu! Cepat jawab! Ibu melihatnya atau tidak!?" "Tidak." Tanpa basa-basi, Paul langsung kembali lari, meninggalkan ibunya yang sedang kebingungan melihat tingkahnya, untuk pergi ke luar rumah, mencari kunang-kunang tersebut. Mungkin saja mereka tidak sengaja menemukan celah yang dapat membuatnya bisa terbang ke luar, siapa tahu begitu. Karena itulah, Paul harus segera menemukannya secepat mungkin, sebelum orang-orang sakti seperti Roswel mengetahui hal ini. Namun, hasilnya tidak jauh berbeda, tetap nihil. Walaupun Paul sudah mencari ke setiap lokasi di halaman rumahnya, bahkan ia juga sembunyi-sembunyi mencarinya di halaman belakang rumah tetangganya, dan hasilnya sama saja. Jadi sekarang, dia harus pergi mencari kemana lagi? Apalagi, mengingat bentuk tubuh dari seekor kunang-kunang sangat mungil, akan sangat susah menemukannya. Seketika, kedua betisnya gemetar dan jatuh ke tanah, baju dan celananya sudah kotor, tertimpa debu dan lumpur. Bukan hanya itu, perasaannya juga jadi gelisah, kacau, kesal, muak, dan bingung. Buk! Saking jengkelnya, Paul meninju tanah sampai punggung tangan kanannya lecet. Berakhir. Segalanya sudah berakhir. Tidak ada lagi hal yang bisa dia harapkan di dunia ini. Sekolah sudah mengeluarkannya, keluarga sudah kecewa padanya, teman-teman sebayanya sudah menjauhinya, dan sekarang, sesuatu yang seharusnya dia jaga, sudah menghilang dari pandangannya. Saat Paul sudah putus asa, pasrah, tidak punya semangat, dan berpikir ingin mengakhiri hidupnya detik ini juga, tiba-tiba dia mengingat wajah seseorang.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD