MINERVO 04 : Sebuah Batas Waktu

1700 Words
Olivia berjalan sendirian, melintasi jalanan sepi yang berkelak-kelok, dengan mata yang memerah basah, setelah diusir dari kediaman teman sekelasnya, yaitu Paul. Hati Olivia terluka, karena niat baiknya yang ingin membantu Paul, malah ditolak secara kasar. Hal itu membuat Olivia kaget, ia jadi mengerti, bahwa ternyata, di dunia ini, tidak semua orang akan senang jika dibantu oleh orang lain, ada beberapa orang yang bakal marah saat orang lain ingin membantunya, seperti Paul contohnya. Langit sudah mulai menguning, yang artinya siang sudah berganti menjadi sore. Sebentar lagi matahari akan terbenam, dan bodohnya, Olivia masih belum pulang ke rumahnya. Di tengah jalan, Olivia mencemaskan dirinya sendiri jika orang tuanya sadar kalau putri semata wayangnya ini pulang terlambat. Dia pasti bakal dimarahi habis-habisan, jika ketahuan. Ini semua gara-gara Paul, pikir Olivia dengan kesal. Ya, menurutnya, semua ini karena ulah Paul. Jika lelaki itu membawa tasnya sebelum pulang, Olivia pasti tidak perlu repot-repot mengunjungi rumah Paul, hanya untuk memberikan tasnya yang ketinggalan di kelas. Benar-benar menjengkelkan. Dan juga, jika Paul membawa tasnya sebelum pulang, Olivia juga tidak akan mengalami hal yang menyakitkan seperti ini, diusir secara tidak hormat oleh orang yang dibantunya. Sebuah penghinaan yang sangat menyakitkan, baru kali ini Olivia merasakannya. Sakit sekali rasanya. Gadis itu terus berjalan sambil melamun dengan hidung yang terisak-isak, menahan air matanya yang akan menetes lagi. Olivia juga sebenarnya marah pada dirinya sendiri karena; membuang-buang waktu dan air matanya hanya untuk mengingat dan menangisi lelaki jahat itu. Jelas-jelas orang seperti Paul tidak pantas untuk ditangisi, bahkan, air matanya terlalu mahal hanya untuk menangisi seorang lelaki berandalan. "Sudahlah Olivia, jangan menangis lagi! Cukup! Cukup! Tenangkan dirimu, okay!" Olivia mencoba menenangkan dirinya sendiri agar tidak menangis, karena akan sangat memalukan jika seseorang melihat wajahnya yang basah, orang-orang pasti akan mengira bahwa dia ini adalah gadis yang malang. Dan Olivia benci dipandang menyedihkan seperti itu. Namun, langkahnya terhenti secara tiba-tiba, karena ada sekumpulan kunang-kunang yang menghalangi jalannya, mereka beterbangan mendekati wajah Olivia, cahaya dari kunang-kunang yang mendatanginya semakin terang dan berwarna-warni, membuat gadis itu takjub. Baru kali ini Olivia melihat kunang-kunang secara langsung, jumlahnya pun ada banyak, dan cahaya mereka pun warna-warni. Olivia sangat terpukau. "Cantik sekali. Aku tidak tahu kenapa kalian tiba-tiba muncul di depanku, tapi ya ampun, Ini pertama kalinya aku melihat kunang-kunang, dan aku tidak menyangka kalau kalian ternyata secantik ini!" Sesekali kunang-kunang itu hinggap di rambut, hidung, telinga, pundak, dan tangan Olivia, membuat gadis itu sedikit geli, sampai akhirnya mereka terbang lagi memutari tubuhnya. Kunang-kunang itu terus melayang-layang, mengitari kaki, badan sampai ke ujung kepala Olivia. Rasanya Olivia seperti seorang Cinderella yang sedang disihir oleh peri-peri mungil untuk mendapatkan sebuah gaun dan sepatu kaca. Menyenangkan sekali. Bahkan, karena terlarut dalam kesenangan, Olivia sampai lupa kalau saat ini, langit sudah hampir mendekati warna hitam. Dan gadis itu malah sedang bermain-main dengan hewan-hewan mungil yang beterbangan memutari tubuhnya. "OLIVIAAAAAAA!" Olivia langsung menoleh ke belakang, saat mendengar ada seseorang yang memanggil namanya dari kejauhan. Dan jika didengar baik-baik, suara orang yang memanggilnya, terasa sangat familiar, tidak terlalu asing. Dan ketika ia melihat seorang lelaki sedang berlari dari kejauhan, mendatanginya, dengan pakaian yang kotor terkena lumpur dan punggung tangan yang berdarah seperti telah memukul sesuatu. Akhirnya ia sadar, bahwa orang yang saat ini sedang berlari adalah, "Tidak salah lagi, itu Paul! Tapi kenapa dia mendadak mendatangiku begitu!?" "Hah... Hah... Hah... Akhirnya sempat juga." Sesampainya di hadapan Olivia, Paul mengatur napasnya yang engap-engapan, dengan tersenyum senang. Keringat nya sampai membuat seluruh tubuh Paul basah, termasuk juga pakaiannya. "He-Hey!? Mengapa kau--" "Rupanya kalian di sini, ya. Hah... Hah... Hah.... Baguslah! Tebakanku tepat." Paul menyunggingkan senyuman lebarnya memandang kunang-kunang yang sedang beterbangan di sekitar tubuh Olivia, lalu, pandangannya dialihkan ke muka gadis tersebut. "Emm... kau pasti kaget mendengar aku berteriak memanggilmu begitu, jadi... maaf, ya, Olivia." Kedua pipi Olivia langsung memerah seketika, setelah mendengar kata 'maaf' yang keluar dari mulut Paul. Perasaan benci, kesal, dan jengkel yang besar terhadap Paul, jadi lenyap secara menyeluruh hanya karena sebuah kata 'maaf'. Membuat Olivia sendiri bingung terhadap perasaannya sendiri. Bahkan, perasaan negatifnya terhadap Paul langsung berubah jadi perasaan malu, canggung, dan bingung. Tapi, Olivia cepat-cepat menyadarkan dirinya kembali, agar jangan mudah terlena oleh hal yang sepele. Inilah yang dia benci pada dirinya sendiri, mudah sekali terpengaruh oleh sesuatu yang sepele. Oleh karena itu, Olivia dengan berapi-api, mencoba mengingat kembali sakitnya diperlakukan kasar oleh Paul, agar perasaan negatifnya terhadap lelaki itu tumbuh lagi. Dan sedikit demi sedikit, akhirnya Olivia mulai mendapatkan kembali 'kebencian'nya pada Paul. Dan dengan nada yang dingin, Olivia menjawab perkataan Paul, "kau bilang 'maaf'?" Olivia mendengus. "Konyol sekali. Padahal tadi kau mengusirku dengan kasar, sekarang tiba-tiba datang dan meminta maaf? Kau pikir aku ini gadis yang mudah ditaklukkan oleh kata-kata manis begitu, ya? Dan lagipula, apa maksudmu dengan menyebut mereka dengan 'kalian'? Apa kau mau mengklaim bahwa kunang-kunang ini adalah milikmu?" Terkejut, Paul tidak percaya kalau Olivia yang dia kenal cerewet dan menyebalkan, bisa mengatakan hal yang sesadis itu. Ternyata perempuan memang tidak bisa diremehkan. Membuat Paul akhirnya mengerti dengan situasi Olivia saat ini. "Sepertinya kau membenciku, ya," balas Paul dengan tersenyum miring. "Tapi itu bukan urusanku, sih. Yang jelas, aku akan membawa pulang kunang-kunang milikku. Mereka sangat berharga, soalnya, kau tahu." Mendadak, setelah mendengar ucapan Paul, Olivia mendapatkan sebuah ide yang menarik di kepalanya. Dia bisa mengambil kesempatan ini untuk membuat Paul takluk padanya. Namun lagi-lagi Olivia tidak menyadari kalau langit sudah sangat hitam sekarang. "Begitu, ya. Jadi mereka sangat berharga bagimu. Sebenarnya aku tidak masalah, silahkan saja jika kau mau membawa mereka, lagipula mereka adalah kepunyaanmu, kan? Tapi, kurasa, mereka lebih tertarik bermain denganku dibanding denganmu," Olivia terkikik-kikik. "Sayang sekali, ya, Paul." "Jangan membuatku mengulangi kata-kataku. Suasana hatiku sedang sangat buruk sekarang, jangan sampai kau memancing amarahku, Olivia. Aku ini tidak pandang bulu jika sedang mengamuk, kalau kau mau tahu." sahut Paul dengan menggeram kesal. Dia benar-benar sedang diremehkan sekarang oleh Olivia, harga dirinya sedang diinjak-injak. Gadis itu mempermainkannya. Menjengkelkan sekali. Mengangkat bahunya dengan tenang, Olivia menghembuskan napasnya. "Hey Paul, aku tadi sudah bilang, kan? Silahkan saja jika kau ingin membawa mereka, aku tidak keberatan. Tapi yang jadi masalahnya, kunang-kunang peliharaanmu terlihat lebih nyaman bermain bersamaku dibanding bersamamu. Buktinya, saat ini mereka masih beterbangan di sekitarku, padahal kau sebagai majikannya ada di sini. Bukankah itu artinya, mereka sudah tidak mau lagi tinggal bersamamu, kan?Paul?" Amarah Paul perlahan-lahan memuncak, rasanya dia ingin menghajar dua atau tiga orang sekaligus. Tangan kanannya benar-benar gatal ingin memukul wajah seseorang. Urat-urat di kening dan lehernya mulai menonjol, menandakkan bahwa Paul sedang sangat murka sekarang. Melihat Paul menjadi begitu menyeramkan, membuat Olivia jadi sedikit ketakutan. Dia secara pelan-pelan memundurkan langkahnya, tidak mau terkena pukulan dari seorang berandalan. Kedua betis Olivia sampai gemetaran, hampir tidak mampu untuk berdiri. "Ada apa, Olivia? Kau terlihat ketakutan." tanya Paul dengan menggeram, membuat Olivia jadi semakin ngeri. "Aku? Ketakutan? Siapa bilang!?" balas Olivia dengan memasang muka sok berani, padahal dia sedang ketakutan sekali terhadap Paul. "Jangan remehkan perempuan! Aku juga bisa membuatmu babak belur!" "Kalau begitu, tunjukkan kemampuanmu, Olivia." Namun, sesaat setelah Paul mengatakan hal itu, kunang-kunang tersebut langsung terbang melesat ke muka lelaki itu, menusuk-nusuk kulit wajahnya hingga menimbulkan bekas luka yang lumayan menyakitkan. "Argh! Sialan! Ada apa dengan kalian! Hey! Berhenti menyerangku!" Sebisa mungkin Paul mengkibaskan-kibaskan tangannya, agar kunang-kunang itu tidak lagi menyerangnya secara membabi buta. Tapi mereka tidak menuruti perintah Paul, yang ada, serangan mereka malah semakin buas. Membuat Paul menjerit-jerit kesakitan karena wajah mulusnya terus-terusan ditusuk oleh kunang-kunang tersebut. Sementara itu, Olivia terkejut melihatnya, dia tidak menyangka kalau kunang-kunang bisa seganas itu saat menyerang manusia. Karena tidak tega, Olivia berteriak pada kunang-kunang itu, "Sudah cukup! Hentikan! Jangan lukai Paul lebih dari itu!" Sambil berlari mendekati Paul, berusaha mengusir hewan-hewan mungil itu agar pergi dari wajah lelaki tersebut. Beruntung, kunang-kunang itu menurut, dan mulai terbang menjauh dari Paul. Kemudian, Olivia menatap wajah Paul yang dipenuhi oleh darah yang menetes-netes dari kulit yang tertusuk-tusuk. Sungguh, kebencian Olivia terhadap Paul jadi memudar setelah melihat kejadian ini. "Kau harus dibawa ke--" "Tidak perlu! Aku bisa mengobati lukaku sendiri! Lebih baik kau pulang saja, Olivia." sergah Paul dengan memotong perkataan Olivia. Walaupun wajahnya kini sedang terluka, Paul lebih mengkhawatirkan Olivia daripada dirinya sendiri, karena gadis itu masih belum pulang ke rumahnya, padahal bulan dan bintang sudah muncul di langit. Mengerti apa yang dimaksud Paul, Olivia pun menjawab, "Kalau begitu, jaga dirimu baik-baik, Paul!" kemudian gadis itu memandang kunang-kunang yang sedang beterbangan di udara. "Kalian juga pulang ke rumah Paul, ya. Aku baik-baik saja, kok! Jadi kalian tidak perlu mengikutiku lagi! Sampai jumpa! Kunang-kunang!" Akhirnya, punggung gadis itu pun lenyap dari pandangan Paul, yang menandakan bahwa Olivia sudah berjalan cukup jauh sampai ia tidak bisa melihatnya lagi. Dengan wajah yang masih berdarah-darah, Paul memerintahkan kunang-kunangnya untuk kembali ke rumahnya. Ajaibnya, mereka mematuhi perintah Paul dan terbang ke arah rumah lelaki tersebut. Sedangkan Paul yang berjalan di belakang mereka, hanya tersenyum tipis memandang hewan-hewan mungil tersebut di depannya. "Sekarang aku mengerti," gumam Paul dengan pelan. "Kalian ternyata memang punya pemikiran sendiri, ya." Sesampainya di rumah, Paul dimarahi habis-habisan oleh ibunya karena pulang dengan pakaian kotor dan wajah penuh luka. Tapi itu hanya berlangsung sebentar, sampai akhirnya ia diperintahkan untuk mandi dan makan malam. Setelah menyelesaikan itu semua, Paul pun naik tangga dan masuk ke dalam kamarnya, lalu dia pun berbicara pada kunang-kunang yang sekarang sedang terbang-terbangan di dekat jendela. "Aku ingin kalian masuk ke dalam toples ini, kumohon." pinta Paul pada kunang-kunang itu dengan meletakkan sebuah toples kaca di meja kayu. Secara mengejutkan, satu-persatu kunang-kunang itu terbang melompat masuk ke dalam toples yang disediakan, membuat Paul terkagum-kagum melihatnya. Akhirnya, seluruh kunang-kunang itu, yang jumlahnya ada sepuluh, sudah masuk semua ke dalam toples. Paul pun segera menutup toples itu rapat-rapat agar mereka tidak keluar sembarangan lagi. "Aku akan menjaga kalian dengan baik mulai sekarang." Bzzzzt! Bzzzt! Bzzzzt! Seketika, ponsel yang Paul simpan di permukaan kasur bergetar-getar, tanda ada seseorang yang memanggilnya. Paul pun segera memungut ponsel itu dan tanpa melihat nama orang yang menghubunginya malam-malam begini, dia langsung mengangkatnya begitu saja. "Halo?" Paul mencoba bersuara duluan. "Ah, sebelumnya saya mohon maaf jika mengganggu waktu istirahat Anda, Tuan. Ini saya, Roswel. Alasan mengapa saya menelepon Anda, adalah karena saya ingin memberitahukan pada Anda, bahwa tugas yang diberikan untuk Anda, mulai detik ini, akan dibatasi waktu. Dan, batas maksimalnya, adalah satu bulan. Jadi, sebisa mungkin, Anda harus sudah menemukan sepuluh wadah untuk sepuluh roh tersebut dalam waktu satu bulan. Jika Anda tidak berhasil menuntaskan tugas itu, Anda akan terkena sesuatu yang menyakitkan, Tuan." "APA KAU GILA!?" Paul terkejut mendengarnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD