MINERVO 05 : Tangisan Seorang Ibu

1529 Words
Akibat perkataan Roswel, yang mengatakan bahwa; mulai saat ini, akan ada batasan waktu dalam penyelesaian tugas, dan waktu maksimalnya adalah satu bulan. Membuat Paul sangat terkejut mendengarnya, bahkan ia sampai tak bisa tidur memikirkan hal itu berulang kali sambil berbaring di permukaan kasur. Ia gelisah, resah, gundah gulana, dan tak bisa berpikir jernih. Karena Paul bingung harus mencari kemana agar dia dapat menemukan sepuluh manusia, yang nantinya bakal digunakan sebagai tempat persemayamannya para roh kunang-kunang tersebut. Paul benar-benar panik sekarang. Apalagi, kata Roswel, akan ada sebuah hukuman untuk Paul, jika dia tidak dapat menyelesaikan tugasnya dalam satu bulan. Paul melirik ke sebuah toples yang berisi sepuluh kunang-kunang di meja samping kasurnya. Menghela napasnya, Paul tersenyum pahit memandang kunang-kunang yang terkurung di dalam toples itu. "Kalian merepotkan sekali." Setelah mengucapkan hal itu pada kunang-kunang, Paul pun mematikan lampu kamarnya dan segera lekas tidur, mengistirahatkan pikiran dan tubuhnya yang semrawut, agar dia bisa segar kembali di hari esok. Keesokan harinya, Paul terbangun lebih awal dari biasanya. Saat melihat jam dinding yang menempel di tembok kamarnya, dia cukup kaget, karena ternyata jam menunjukkan pukul empat lebih dua puluh lima menit. Ini terlalu pagi. Sebenarnya Paul ingin tidur lagi, karena rasa kantuk masih menyelimutinya. Tapi dia memaksakan diri untuk pergi ke kamar mandi, karena dia akan berangkat hari ini, melaksanakan tugasnya. Ketika Paul keluar dari kamarnya, suasana gelap mulai menyambutnya, karena ibunya memang memiliki kebiasaan mematikan lampu di seluruh ruangan pada tengah malam, katanya sih, agar terhindar dari hantu. Tapi, menurut Paul, bukankah ruangan gelap adalah tempat yang nyaman bagi makhluk-makhluk seperti itu, ya? Ya sudahlah, Paul juga tidak terlalu memusingkannya, dia langsung berjalan maju ke arah tangga, menembus kegelapan total, untuk turun ke kamar mandi yang letaknya di lantai bawah, bersebelahan dengan ruang dapur. Langkah demi langkah, Paul lalui hingga akhirnya ia pun sampai di depan pintu kamar mandi. Saat Paul mendorong pintu kamar mandi, dia merasakan kehadiran seseorang di belakangnya. Dengan cepat Paul menoleh ke belakang, "Tidak biasanya kau bangun pagi-pagi begini, Paul." Ternyata itu adalah ibu kandung Paul, bukan sosok hantu atau semacamnya. Paul menghembuskan napas lega, karena perasaan tegang yang ia rasakan telah hilang. "Lain kali jika Ibu ada di belakangku, coba katakan sesuatu, agar aku tidak mengira hal-hal yang aneh, Bu." Mendengar anaknya bilang begitu, entah kenapa, membuat wanita itu mengernyitkan kedua alisnya, tak mengerti apa yang dimaksud Paul. "Hah? Mengira hal-hal yang aneh? Ibu hanya kaget saja kau bisa bangun sepagi ini, padahal biasanya kau selalu bangun jam delapan." "Itu bukan urusanmu, Bu." Paul langsung masuk ke dalam kamar mandi dengan santai, meninggalkan Ibunya yang jengkel mendengar jawaban kasarnya. Tapi Paul tidak terlalu memikirkannya, yang dia inginkan saat ini, hanyalah mandi. Membersihkan badannya yang lengket. Agar bisa kembali bersih seperti bayi baru lahir. "Huh... Airnya dingin sekali." ucap Paul setelah selesai mandi, kini ia sudah ada di dalam kamarnya, sedang menatap pantulan dirinya sendiri di cermin lemari; masih berhanduk, telanjang d**a, dan rambut basah kuyup. Badannya sudah segar, rasanya dia siap untuk melakukan segala hal hari ini. Begitulah Paul, semangatnya akan melambung tinggi tiap sesudah mandi. Hanya menghabiskan beberapa menit saja untuk mengenakan dalaman, baju, celana, dan sepatu. Sampai akhirnya, penampilannya terlihat sangat rapi sekarang. Matahari juga sepertinya sudah terbit, soalnya, tirai jendela kamarnya jadi terang terkena sinarnya. Tapi karena Paul jarang membuka tirai jendela kamarnya, dia membiarkannya tetap tertutup. Kemudian, tanpa basa-basi, Paul langsung membopong toples yang ada di atas meja samping kasur, yang berisi kunang-kunang, untuk dibawa pergi. "Paul!? Mengapa kau tidak memakai seragam sekolahmu! Dan juga! Apa yang kau bawa itu!? Sebuah toples!? Untuk apa kau membawa toples!?" Saat menuruni tangga, Paul dikejutkan dengan teriakan Ibunya yang sedang duduk santai di sofa ruang tamu, memainkan ponsel dengan menggunakan kaca mata. Bukan hanya itu, Paul juga kaget mengenai pertanyaan 'seragam sekolah', bukankah seharusnya Ibunya sudah tahu bahwa anaknya telah dikeluarkan dari sekolah? Apa jangan-jangan ini karena ulah Roswel yang menghapus ingatan Ibunya. "Sial. Kukira dia hanya menghapus ingatan saat Ibu bertemu dengan dirinya saja, tapi tak kusangka kalau ingatan tentang aku dikeluarkan dari sekolah juga telah dihapus olehnya." gerutu Paul dengan suara yang pelan, kesal pada Roswel, tapi itu tak terdengar oleh sang ibu. Dan sekarang, Paul bingung harus bagaimana menjelaskan semua itu pada ibu kandungnya, apalagi dia tahu betul bahwa ibunya punya temperamen yang cukup tinggi. Paul tidak mau membuat ibunya marah-marah di pagi hari yang cerah begini, tapi dia juga tidak mau berbohong pada kondisinya. Karena bakal melelahkan jika harus terus-terusan menyembunyikan kebenaran. Akhirnya, dengan terpaksa, Paul pun menghampiri Ibunya, dan dia duduk berhadap-hadapan dengan sang ibu di kursi tamu, tak lupa meletakkan toples berisi kunang-kunang di meja tamu untuk sementara. "Jadi? Mengapa kau tidak memakai seragam sekolahmu, Paul? Tapi tenang saja, karena ini masih pagi, kau masih sempat untuk mengganti pakaianmu. Tunggu apalagi? Ayo, cepat kembali ke kamarmu." titah wanita itu pada Paul, dengan nada yang lembut dan mata yang fokus ke arah ponselnya, serta tangan yang sibuk menggeser-geser layar ponsel. Mengambil napas dalam-dalam, dan dihembuskan kembali, Paul mulai memberanikan diri untuk menjelaskan semuanya dari awal, mengenai masalahnya di sekolah sampai bisa dikeluarkan secara langsung oleh kepala sekolah pada sang ibu, hingga masalah-masalah sepele lainnya. Kecuali masalah kemunculan Roswel dan hal-hal yang terkait soal itu, Paul tidak membahasnya. Dan ketika mulutnya sibuk menjelaskan hal itu pada sang ibu, di dalam hatinya, Paul sangat ketakutan. Ya, dia takut sekali. Bukan takut dimarahi atau dibentak oleh sang ibu. Dia hanya takut mengecewakan ibunya, untuk yang kedua kalinya. Karena bagi Paul, ini adalah yang kedua kali setelah kemarin ia mengecewakan ibunya di sekolah. Tapi mungkin bagi sang ibu, ini adalah yang pertama kalinya, karena ingatannya telah terhapus. "...jadi begitulah, Bu. Aku benar-benar minta maaf." Paul menundukkan kepalanya, dia sudah siap untuk ditampar, dipukul, atau bahkan lebih dari itu. Karena semua orang tua di dunia ini, pasti akan sangat marah dan kecewa mendengar anaknya sampai dikeluarkan dari sekolah karena membuat masalah. Namun, Tes. Tes. Tes. Tes. Paul melihat tetesan air yang jatuh ke lantai, dia segera menegakkan kepalanya untuk melihat wajah sang ibu, dan astaga. Tidak disangka, ternyata wanita itu sedang menangis, sampai kaca mata yang ia pakai, serta ponsel yang dipegangnya, basah terkena tetesan air matanya. "Eh!? Ibu kenapa menangis!?" Paul kaget dan bingung, karena baru kali ini, dia melihat ibunya menangis begitu. Sungguh, ini adalah yang pertama kali dalam hidupnya melihat ibunya menangis. Jadi dia gelagapan harus bagaimana agar ibunya berhenti menangis. Paul bahkan masih ingat sekali, saat mendengar ayah kandungnya meninggal saja, sang ibu sama sekali tidak menjatuhkan air matanya. Ibunya hanya memasang ekspresi murung saat itu, tapi tidak sampai menangis. Hingga upacara pemakaman pun, Paul tidak melihat tanda-tanda ibunya akan menangisi ayahnya yang telah tiada. Padahal saat itu, semua kerabat, kakek dan nenek, bahkan dirinya sendiri pun menangis tersengguk-sengguk melihat sang ayah dikubur, tapi cuma ibunya yang tidak menangis. Dan hari ini, akhirnya Paul dapat menyaksikan tangisan ibunya. "Paul...," lirih sang ibu, dengan napas yang terisak-isak. "Mengapa kau tidak bilang dari awal pada Ibu bahwa kau terlibat masalah besar seperti ini? Mengapa kau tidak memberitahu Ibumu ini? Apakah kau terlalu takut untuk membicarakannya dengan Ibu? Apakah Ibu semenakutkan itu di matamu?" Terkejut, Paul bingung harus menjawab apa, tapi apa pun itu, dia harus merespon ucapan ibunya, apalagi saat ini, sang ibu sedang meneteskan air mata. "T-Tidak, Bu! Ak-Aku... Aku hanya khawatir hal ini bisa mengecewakan Ibu! J-Jadi karena itulah, aku menyembunyikannya dari Ibu. Tapi, karena sepertinya sekarang waktu yang cocok, aku mulai memberanikan diri untuk jujur." Panas. Panas sekali. Kedua mata Paul, entah kenapa, jadi terasa sangat panas saat mengucapkan hal itu pada ibunya. Ah, air matanya malah menetes. Ini memalukan sekali. Padahal Paul dikenal sebagai lelaki berandalan, tapi apa ini? Ternyata dia juga bisa menangis seperti anak-anak. Namun, Paul hanya menangis dalam diam, sementara Ibunya menangis dengan tersengguk-sengguk. Mereka saling menatap dalam waktu yang cukup lama. Sampai akhirnya, sang ibu menyimpan ponselnya ke meja tamu, lalu ia berdiri dari sofanya dan langsung memeluk putra nakalnya itu dengan sangat erat. "Jangan khawatir, Paul," Wanita itu mengusap-usap punggung putranya dengan lembut sambil meneteskan air matanya. "Kali ini, Ibu tidak akan membentakmu. Jadi, kau tidak perlu takut lagi pada Ibu, paham? Karena... Sebenarnya... Ibu sangat menyayangimu." "Aku minta maaf karena telah mengecewakanmu, Bu." balas Paul dengan nada yang berat. "Tidak apa-apa." Kemudian, sang ibu menyudahi pelukannya, dan menatap wajah anak semata sayangnya, yang kini sudah hampir menjadi lelaki dewasa. Wanita itu memberikan senyuman manis pada Paul, sedangkan Paul terlalu gugup untuk menatap wajah ibunya secara langsung, jadi sesekali bola matanya melirik ke samping. Tapi, Paul tahu kalau saat ini, Ibunya sedang tersenyum padanya. "Jadi, bisakah kau katakan pada Ibu, kenapa kau mau keluar rumah dengan membawa sebuah toples berisi kunang-kunang, Paul?" Mendengar pertanyaan itu, membuat jantung Paul dag-dig-dug tidak karuan. Dan di sisi lain, Paul tidak ingin lagi membohongi Ibunya, apalagi setelah melihat wanita itu menangis. Jadi, apa boleh buat. Dia harus jujur sekarang. "Sebenarnya, aku hendak mencari sepuluh manusia untuk dijadikan tempat bersemayamnya roh-roh yang berwujud kunang-kunang ini, Bu. Soalnya aku telah terpilih menjadi seorang mentor. Dan aku harus menyelesaikan tugasku dalam jangka waktu satu bulan, karena jika aku tidak dapat menuntaskan tugasku dalam satu bulan, maka aku akan terkena sebuah hukuman. Juga sebaliknya, aku akan mendapatkan hadiah jika bisa menyelesaikannya tepat waktu." "Hm? Ibu tidak mengerti. Tapi, baiklah, karena tampaknya kau sangat serius saat mengatakan hal itu, Ibu mengizinkanmu. Tapi, Paul, kau harus pulang saat makan malam. Okay?" "Baik, Bu!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD