MINERVO 12 : Kembalinya Kedamaian Kota

2094 Words
Wanita itu melirik Paul. "Aku yakin sekali, teman-temanmu telah terusir dari kota ini kemarin malam, tapi mengapa yang satu ini masih ada di sini?" Tersenyum, Jeddy mengalungkan lengan kanannya ke leher Paul dan ia menjawab pertanyaan wanita itu dengan santai, "Yah, apa pun alasannya, pasukanmu mungkin tidak mampu mengusir temanku yang satu ini, bisa dibilang," Jeddy terkekeh,"Kambing Gila tidak ada apa-apanya bagi temanku ini." Mendengar kebohongan itu membuat wajah Paul terlihat jengkel. Tapi Paul mencoba mengikuti arus agar kebohongan yang diciptakan Jeddy dapat menaklukan wanita bergaun merah itu. Dan akhirnya, walau terpaksa, Paul berusaha menyunggingkan senyuman kecil, agar kebohongan Jeddy terlihat meyakinkan. "Bagiku! Kambing Gila tidak lebih seperti gerombolan kambing lemah yang dagingnya bisa dimangsa kapan saja!" ucap Paul dengan tersenyum miring. Jeddy tertawa renyah mendengarnya, dia senang akhirnya Paul mau bekerja sama untuk membohongi wanita tersebut. Menggigit bibir bawahnya, wanita itu tampak kesal, dia termakan tipuan dari Jeddy. Padahal kenyataannya, Paul hanyalah seorang pendatang di kota ini. Tapi wanita itu tidak mengetahuinya, dan dengan bodohnya langsung percaya pada kata-kata mereka. "Kau bilang kami hanyalah gerombolan kambing lemah yang bisa dimangsa kapan saja? Untuk ukuran bocah sepertimu, kau sombong sekali." Wanita itu tersenyum kecut pada Paul. "Tapi tenang saja, aku akan pura-pura tidak mendengarnya. Dengan syarat, kau harus ikut denganku. Sekarang. Ke suatu tempat." Jeddy mendengus sebal sambil menodongkan pistol yang dipegangnya ke wanita bergaun merah itu, membuat wanita itu terkejut. "Hehehe! Maaf-maaf saja, tapi temanku ini tidak punya waktu untuk bertamasya denganmu," ucap Jeddy dengan tertawa-tawa kecil. "Tapi jika kau mau membawaku juga, aku akan mengizinkanmu." Paul yakin sekali, pistol yang sedang dipegang Jeddy pelurunya sudah habis semua, tapi lagi-lagi orang itu berniat mengancam wanita bergaun merah dengan tipuannya. Benar-benar manusia yang menjengkelkan, begitulah menurut Paul terhadap kelakuan Jeddy. "Eh!? J-Jeddy? Jangan main-main dengan benda itu, kau bisa membunuh Ibumu sendiri!" Wanita bergaun merah itu panik melihat Jeddy menodongkan pistol ke arahnya. "B-Baiklah! Aku akan membawamu juga! Jadi buang benda itu sekarang!" Permintaannya dituruti, Jeddy pun membuang pistol itu ke sembarang arah. Kemudian, wanita itu mengalihkan perhatiannya ke Paul dengan muka gelisah. "Buang pistolmu juga! Aku tidak mau membawa orang yang bersenjata." Dengan tenang, Paul mengangkat kedua tangannya, membuktikan pada wanita itu bahwa saat ini dia tidak membawa senjata apa pun di tubuhnya. Beberapa menit kemudian, akhirnya Paul dan Jeddy sudah duduk di dalam mobil limousine, di bangku paling belakang. Sementara si wanita bergaun merah itu duduk di bangku bagian tengah. Ketika dalam perjalanan, Jeddy dan Paul berbincang-bincang sampai suara tawa mereka mengganggu wanita bergaun merah itu yang sedang memejamkan matanya di kursi. "Oi-oi-oi-oi, mengapa kau membawa kami ke sini?" Jeddy tersentak melihat sebuah gedung tinggi bertuliskan 'Markas Kambing Gila' setelah ia turun dari mobil limousine bersama Paul. "Markas? Kekanak-kanakan sekali!" Paul mendecih sesudah membaca papan nama dari gedung tersebut. Jeddy tertawa mendengar perkataan Paul, dia juga memikirkan hal yang sama. Lalu seperti sebelumnya, Jeddy mengalungkan lengan kanannya ke leher Paul, kemudian mereka berjalan bersama. "Terserah kalian mau bilang apa," balas wanita bergaun merah itu dengan masa bodoh, yang sedang berjalan di depan mereka. Jeddy dan Paul mengikuti wanita itu menuju suatu tempat dengan santai. Sesampainya di sebuah pintu besi, wanita itu menolehkan kepalanya ke Jeddy dan Paul, sambil menyunggingkan senyuman manis. "Bersiaplah, sebentar lagi, kalian akan bertemu dengan ketua dari Kambing Gila," kata wanita itu dengan mendesis. "Aku harap kalian bisa akrab dengan suamiku, terutama untukmu, Jeddy." Perlahan-lahan, pintu besi tersebut didorong oleh tangan kanan wanita itu, sampai akhirnya terbuka dengan sempurna. Menampilkan ruangan yang-- "EH!?" Wanita itu terkejut saat melihat ruangan suaminya berantakan. "A-Ada apa ini, sayang!?" Buru-buru wanita itu masuk ke dalam ruangan untuk mendatangi suaminya yang duduk di kursi dengan posisi membelakangi mereka, seperti sedang menikmati pemandangan kota dari jendela besarnya. Namun, saat wanita itu menyentuh pundak suaminya dengan panik sambil berteriak, "Sayang! Kenapa kantormu jadi berantakan begini!? Apa yang terjadi denganmu!?" Sosok yang dia kira sebagai suaminya, ternyata bukan, melainkan seorang lelaki bermuka pucat dan berjubah hitam yang sedang duduk di kursi yang seharusnya suaminya duduki. "Si-Siapa kau!?" Saking kagetnya, wanita bergaun merah itu sampai terjatuh ke lantai. "Ah, saya bukan siapa-siapa," ucap lelaki pucat itu sembari beranjak dari kursinya, dengan menampilkan senyuman ramahnya pada wanita tersebut. Paul dan Jeddy ikut tercengang, tapi dalam artian berbeda. Paul tercengang karena sosok lelaki pucat yang sedang tersenyum ramah itu merupakan Roswel; sebenarnya apa yang dia lakukan di sini!? Begitulah yang Paul pikirkan saat ini. Sedangkan Jeddy tercengang karena melihat sosok pria asing yang belum pernah dia lihat di kota ini, dia yakin sekali, lelaki pucat itu bukan penduduk Kota Groen. Lalu ada urusan apa sosok itu di kantor Ayahnya sampai membuat ruangan ini jadi berantakan? Begitulah yang Jeddy pikirkan saat ini. "Saya datang kemari karena diperintahkan untuk membantu Tuan Paul dalam menyelesaikan tugasnya," ucap Roswel dengan menatap wanita bergaun merah itu yang sedang bergetar ketakutan di lantai. "Jangan khawatir, Suami Anda tidak saya lukai sama sekali, saya hanya memberikan sedikit hukuman padanya. Jika Anda penasaran, Anda bisa menemukannya di ruang sebelah." Mendengarnya, wanita bergaun merah itu langsung berdiri dan lari ke ruangan sebelah, sampai menabrak pundak Paul dan Jeddy. Ketika wanita itu sudah pergi, tinggal Paul dan Jeddy yang berhadapan dengan Roswel di ruangan tersebut. "Yo? Siapa kau? Aku tidak pernah melihat wajahmu, Hm?" Jeddy melepaskan lengannya yang mengalung di leher Paul, ia memasang senyuman miring pada Roswel. Sepertinya Jeddy menganggap Roswel sebagai seorang penjahat, membuat Paul yang memperhatikan sikapnya hanya menghela napas. "Seperti yang sudah saya katakan," balas Roswel dengan senyuman ramahnya pada Jeddy, mengangkat kakinya untuk mendekati mereka berdua. "Saya bukan siapa-siapa." Kemudian, perhatian Roswel dialihkan pada Paul. "Ah, maaf, tapi mau sampai kapan Anda terbawa suasana kota ini dan tidak mengatakan hal itu pada dia, Tuan?" Jeddy menaikan sebelah alisnya, tidak mengerti apa yang sedang dibicarakan lelaki pucat itu pada Paul. Tapi sepertinya ada kaitannya dengan dirinya, soalnya Jeddy mendengar ada kata 'dia' di perkataan lelaki pucat itu, dan saat mengatakannya, mata lelaki pucat itu mengerling ke arahnya. Itu artinya 'dia' yang lelaki pucat itu maksud adalah dirinya, kan? Semakin memikirkannya, semakin membuat Jeddy bingung. "Bodoh!" bentak Paul dengan melipat lengannya di d**a. "Aku tidak bisa menjelaskannya semudah itu, karena pertama-tama aku harus menyelesaikan masalah di kota ini! Tapi kelihatannya akan sangat sulit! Sial!" "Masalah di kota ini sudah saya selesaikan, Tuan. Sebentar lagi berita mengenai kekalahan Kambing Gila yang menguasai Kota Groen akan tersebar di negara ini. Saya yakin, para penduduk asli kota ini akan kembali berdatangan, pulang ke rumahnya masing-masing. Dan saya juga yakin, semua anggota Kambing Gila akan dimasukan ke dalam penjara. Dan pada akhirnya, Kota Groen akan kembali damai seperti sebelumnya," kata Roswel dengan tenang pada Paul, kemudian dia juga melirik ke Jeddy. "Kau juga jangan khawatir, walau keluargamu dipenjara, nama mereka akan dibersihkan, karena pelaku dari insiden orang-orang yang hilang, sudah saya temukan." Bruk! Tiba-tiba pintu lemari yang berdiri di dekat pintu terbuka dan menjatuhkan seseorang yang tubuhnya terikat oleh rantai hingga seluruh kulitnya bercucuran darah, orang itu menggeliat-geliat seperti ulat, ingin dibebaskan. Dia juga tidak bisa berbicara karena mulutnya ditempel dengan lakban hitam. Dan jika dilihat-lihat, dia adalah seorang pria yang Jeddy kenal. Ya, setelah mengamati perawakan dan wajahnya lekat-lekat, Jeddy yakin sekali kalau orang yang sedang diikat itu adalah ayah dari salah satu temannya. "B-Bukankah kau---ini bercanda, kan!?" Jeddy tidak bisa mempercayai kenyataan yang mengejutkan ini. Jeddy terguncang sampai sikap santai yang biasa ia tunjukkan, lenyap. "Bagaimana? Masalah kota ini sudah selesai sampai ke akar-akarnya, kan, Tuan?" ucap Roswel dengan tersenyum ramah pada Paul, wajahnya terlihat puas setelah menunjukkan semua bukti itu. "Jadi tunggu apa lagi? ini waktu yang tepat untuk Anda mengatakannya pada dia, Tuan." "Oke," Terpaksa, Paul pun menuruti kemauan Roswel karena dia kesal jika terus-terusan didesak. Dia menghadap ke arah sosok serba hijau itu, lalu berseru, "Jeddy! Dengar! Aku ingin mengatakan sesuatu yang penting padamu." "Ada apa, Bro?" Jeddy menoleh pada Paul dengan dingin, karena dia masih terkejut dengan kenyataan yang menimpa keluarganya. "Bilang saja, aku akan mendengarnya." "Kau terpilih menjadi seorang pahlawan!" seru Paul dengan tegas pada Jeddy. "Aku sebagai mentormu akan mendampingimu untuk menjadi--" "AAAAAARGH!!" Sebuah jeritan wanita dari ruangan sebelah membuat kata-kata Paul terpotong. Jeddy dan Paul terkesiap mendengar jeritan tersebut. Mereka langsung berlari ke ruang sebelah, meninggalkan Roswel yang masih berdiri tenang di sana. "Ada apa!? Mama!?" Untuk pertama kalinya, Paul mendengar Jeddy memanggil wanita itu dengan sebutan 'mama' yang menandakan dugaannya selama ini benar, bahwa wanita bergaun merah itu adalah ibu kandung Jeddy. Namun, saat Paul bersama Jeddy masuk ke ruangan sebelah, mereka dikejutkan dengan sesosok kambing bertanduk yang memakai jas sedang menyeruduk wanita bergaun merah itu, hingga wanita itu terseret ke dinding, menjerit-jerit kesakitan. "J-Jeddy! Tolong! Jauhkan Ayahmu dariku! Dia menyakitiku! ARGH! JEDDY! CEPAT KEMARI! Argh!!" "Apa? Ayah? Apa maksudnya?" Kedua mata Jeddy tampak kosong, dia sepertinya masih belum bisa memahami situasi ini. "Dia hanya seekor kambing, kan? Ma?" "Aku juga tidak mengerti! Tiba-tiba saja! Saat aku datang kemari! Ayahmu sedang berubah bentuk menjadi kambing! Argh! Dan sekarang Ayahmu sudah sepenuhnya menjadi kambing! Tapi Jeddy! Cepatlah! TOLONG AKU!" Menyaksikan Jeddy mematung tidak bergerak, akhirnya Paul yang menghampiri wanita itu dan dengan sekuat tenaga, menarik tanduk dari kambing itu agar binatang itu keluar dari ruangan tersebut. Setelah selesai mengeluarkannya, Paul mengikatkan sebuah tali kecil dari tanduk si kambing ke kayu agar hewan itu tidak bisa bergerak bebas. Lalu, Paul kembali masuk ke dalam ruangan, dan dia kaget melihat Jeddy bersimpuh di lantai dengan menundukkan kepalanya. "Hey!? Kau kenapa!? b******k!?" Paul mendekati Jeddy dan menepuk punggung orang itu, dan keterkejutannya semakin besar saat sadar kalau saat ini lelaki bersweter hijau itu meneteskan air matanya sambil memaksakan diri untuk tertawa. "Hahahaha, sepertinya aku sudah gila, Bro." Paul terdiam mendengarnya. Kemudian, Paul mendatangi ibunya Jeddy yang sedang tergulai lemah di lantai, gaun merahnya sobek-sobek terkena serudukan dari suaminya yang berubah jadi kambing. "Sebentar lagi, kalian akan dipenjara," ucap Paul dengan suara yang rendah. Wanita itu dengan lemah menatap wajah Paul. "Tapi nama keluargamu akan dibersihkan, karena pelaku dari insiden orang-orang hilang telah ditemukan. Jadi, kau bersama kerabat-kerabatmu akan tenang di penjara." Wanita itu tersenyum bahagia setelah mendengar perkataan Paul, air matanya sampai mengucur deras di pipinya. "Terima kasih... terima kasih banyak! Hiks! Aku senang mendengarnya!" Tidak membutuhkan waktu lama hingga akhirnya ratusan polisi berdatangan ke Markas Kambing Gila, mereka menggiring anggota-anggota Kambing Gila untuk masuk ke dalam mobil box khusus tahanan, termasuk membawa orang tuanya Jeddy, yang salah satunya telah menjadi seekor kambing. Serta menangkap pelaku yang sesungguhnya dari insiden orang-orang hilang. Suasana Kota Groen tampak riuh, suara-suara sirine mobil polisi memekakkan telinga, banyak juga suara tembakan dari beberapa polisi yang mengejar anggota kambing gila yang berusaha kabur. Masyarakat asli Kota Groen yang telah kembali pulang heboh menyaksikan keriuhan itu, mereka juga tercengang saat mendengar pengumuman yang diumumkan oleh komandan polisi bahwa pelaku dibalik hilangnya orang-orang di Kota Groen bukan disebabkan oleh keluarga Jeddy, melainkan oleh pihak yang tidak ada hubungannya dengan keluarga tersebut. Bukan hanya itu. Orang-orang yang menghilang juga telah kembali, dibawa kembali ke keluarganya masing-masing oleh para polisi, setelah ditemukan sedang dikurung di sebuah gedung kosong. Sebetulnya, itu semua berkat Roswel, dia diam-diam memberikan kode pada para polisi untuk bertindak sesuai dengan yang diarahkannya, tanpa harus bertatap muka dengan mereka. Malam itu, Jeddy menangis tersengguk-sengguk setelah melihat orang tuanya ditangkap oleh para polisi. Paul yang ada di sampingnya mencoba menenangkannya, walau tangisan Jeddy tidak bisa berhenti. Sikap santai yang biasa Jeddy tunjukkan pada Paul sudah sirna, tergantikan dengan sisi cengengnya yang diperlihatkan. Ya, setiap orang memang punya sisi lain dari dirinya sendiri, termasuk juga Paul. Setelah suasana kota sudah normal kembali, Paul menarik Jeddy ke sebuah gang kecil yang sepi, untuk menjelaskan hal 'itu' padanya. "Jadi kau mau bilang apa, hm?" tanya Jeddy setelah tangisannya berhenti, menyisakkan matanya yang memerah dan terlihat sembab. "Apakah tentang menjadi seorang pahlawan?" Paul kaget Jeddy mengingatnya, dia kira lelaki ini melupakan hal itu, soalnya saat dia menjelaskan perihal tersebut di markas kambing gila, lelaki ini sedang dalam suasana hati yang buruk. Tapi ternyata Jeddy masih mengingatnya. "Ya, soal itu! Aku tahu kedengarannya aneh! Tapi ini bukan lelucon! Jadi jangan menertawakanku! Atau aku akan menghajar wajahmu! b******k!" Jeddy terdiam sejenak, matanya yang tampak sendu menatap Paul, kemudian dia pun berkata dengan muka yang sangat serius. "Aku sudah tidak punya alasan lagi untuk hidup di dunia ini," kata Jeddy dengan nada yang murung. "Tapi, jika tubuhku ini dibutuhkan olehmu, untuk menjadi pahlawan atau apa pun itu, aku sangat senang. Setidaknya, aku masih punya alasan untuk melanjutkan hidupku di dunia ini." Dan setelah mengatakannya, Jeddy tersenyum tipis pada Paul. Sedangkan Paul masih belum dapat menangkap maksud yang dikatakan Jeddy. Dia terlihat kebingungan. "Jadi? Kau mau atau tidak jadi pahlawan, katakan yang jelas b******k!" "Hahaha!" Jeddy tertawa renyah mendengar ucapan kasar Paul. "Bukankah aku sudah bilang dengan jelas, Bro? Hahaha!" Roswel yang mengintip di belakang tempat sampah, tersenyum lega menyaksikan hal tersebut. "Syukurlah," kata Roswel dengan suara berbisik. "Kalau begitu, mari kita ke pahlawan yang berikutnya, Tuan."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD