MINERVO 11 : Wanita Bergaun Merah

1761 Words
"Lalu, di mana keluargamu?" Seketika senyuman Jeddy jadi mengembang mendengar pertanyaan itu, dia sedikit terkekeh. Kemudian, dengan santainya, Jeddy berkata, "Aku yakin kau akan kaget mendengar ini, tapi baiklah, akan kukatakan," jeda sejenak, kemudian Jeddy melanjutkan kata-katanya. "Ayahku adalah ketua dari kelompok Kambing Gila, Ibuku adalah wakilnya, aku tidak punya saudara kandung. Tapi semua anggota dari Kambing Gila adalah kerabat dekatku. Dan orang yang kutembak di sampingmu itu adalah salah satu kerabatku." Paul terbelalak mendengarnya, dia tidak menyangka kalau sumber kekacauan di Kota Groen disebabkan oleh keluarganya Jeddy. Tapi, ada sesuatu yang masih janggal di sini, buru-buru Paul bertanya. "Keluargamu sendiri adalah Kambing Gila!? b******n sekali mereka! Sebenarnya, apa tujuan keluargamu dengan menguasai Kota Groen!? Aku penasaran, sial! Dan mengapa kau tidak bergabung bersama keluargamu di Kambing Gila!?" Terkekeh-kekeh, Jeddy tak tahan melihat ekspresi kaget Paul yang tampak konyol. Dia merasa semua ketegangan di hatinya jadi mulai rileks setelah bertemu dengan Paul. Menurut Jeddy, sosok Paul yang pemarah membuatnya punya bahan untuk ditertawakan, karena orang pemarah lah yang mudah untuk dibercandai. Tapi sepertinya Jeddy mulai berusaha menjawab pertanyaan Paul walau diselingi dengan tawa kecil. "Hahaha! Ekspresimu itu! Haha! Oke-oke-oke, baiklah, aku akan jawab pertanyaanmu," Jeddy menghentikkan tawanya, lalu memandang mata Paul dengan serius. "Jadi begini, Ayahku ini dulunya seorang pekerja kantoran biasa, dan Ibuku adalah seorang ibu rumah tangga biasa. Tapi, karena ada insiden orang-orang hilang secara misterius, masyarakat mulai mencurigai itu adalah perbuatan keluargaku, karena sebenarnya keluargaku adalah murni keturunan dari seorang penculik dan pembunuh terkenal pada zamannya. Sebab itulah, semua orang yang punya hubungan darah dengan keluargaku dianggap sebagai dalang dari hilangnya orang-orang di Kota Groen. Awalnya, ayahku tidak terlalu mempersalahkannya. Tapi, lambat laun, masyarakat jadi semakin menggila, bahkan ke hal-hal yang sepele. Contohnya saja, guru-guru di sekolahku melarang siswa-siswanya untuk berinteraksi denganku, demi tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Lalu, Ayahku juga menerima perlakuan seperti itu di kantornya, begitu pula dengan Ibuku yang diperlakukan kasar saat mengunjungi pasar, supermarket, dan semacamnya. Kerabat-kerabatku juga mendapatkan perlakuan yang sama di lingkungan rumah mereka. Karena itulah, Ayahku mulai menganggap moral masyarakat di Kota Groen sudah rusak. Harus ada seseorang yang membimbing masyarakat rusak itu, agar mereka bisa kembali jadi masyarakat yang bermoral baik. Dan konyolnya, Ayahku dengan bangga, berinisiatif akan menjadi sosok tersebut. Ayahku juga mengajak keluarganya untuk ikut membimbing masyarakat, dan hanya aku yang menolak, karena aku tidak suka terlibat dengan hal-hal aneh seperti itu. Haha!" Setelah menjelaskan semua itu pada Paul, Jeddy tidak menunjukkan keseriusan sama sekali. Jeddy malah tertawa-tawa ria, menertawakan ekspresi Paul yang kini jadi semakin lucu karena kaget. Benar-benar orang yang santai, begitulah pikir Paul terhadap sikap Jeddy. Jika Paul ada di posisi Jeddy, mungkin dia akan bimbang, gelisah, dan kacau, karena masyarakat membenci keluarganya. Dan keluarganya malah menguasai kota ini dengan menggunakan ideologi aneh, membuat suasana kota jadi terlihat seperti kota mati, yang telah ditinggalkan penduduknya. Paul yakin, dia akan kesal, marah dan jengkel jika hal itu terjadi pada hidupnya. Tapi lihatlah Jeddy, lelaki yang sepertinya suka warna hijau itu, sama sekali tidak menunjukkan kesedihan atau kemarahan di matanya. Emosi Jeddy malah terlihat normal, tidak marah, tidak sedih, tidak juga bahagia. PAK! PAK! PAK! PAK! PAK! Tiba-tiba, saat Paul hendak bertanya lagi pada Jeddy, terdengar bunyi jendela yang terbuka secara beruntun di setiap toko-toko yang tutup di sekitar mereka. Paul dan Jeddy terkejut melihat di setiap jendela toko yang mendadak terbuka, menunjukkan manusia-manusia yang sedang bersandar di tepi jendela dengan memegang senjata api masing-masing. Dan senjata api itu diarahkan ke Paul. Ya, hanya Paul. Mereka semua tampak bersiap untuk melepaskan pelurunya masing-masing ke tubuh Paul yang sedang berdiri di tepi trotoar. "H-Hey!? Apa-apaan ini, b******k!" Paul tidak bisa tenang melihat para pria dan para wanita yang muncul di tiap jendela toko, serentak mengarahkan senjata api mereka masing-masing ke arahnya. Paul bisa mati konyol di kota ini jika ia terkena tembakan dari senjata api tersebut. Tapi, mengapa mereka hanya mengincar Paul saja, padahal di sana juga ada Jeddy. Paul mulai menduga; mungkin karena Jeddy adalah keluarga mereka, jadi walau orang itu tidak masuk ke Kambing Gila, mereka masih menganggapnya sebagai keluarga dan melindunginya. Menyaksikan hal itu, Jeddy hanya menghela napas sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. "Oi-oi-oi-oi, mengapa kalian tiba-tiba muncul seperti ini di sekitarku, aku sampai merinding," Jeddy tersenyum kecil. "Tapi tidak masalah, karena dengan ini, aku bisa dengan mudah menghabisi kalian semua. Hehe!" Dengan santai, Jeddy mengeluarkan lagi pistol mungil miliknya dari saku celana. Lalu dia todongkan pistol itu ke arah manusia yang berada di toko paling dekat, kemudian Jeddy berbicara dengan senyuman lebarnya. "Terima kasih sudah menjadi pengikut setia Ayahku, Paman." DOR! Satu orang langsung tewas, tertembak oleh Jeddy, tapi anehnya, saat orang tersebut akan ditembak oleh pemuda hijau itu. Ia terlihat seperti pura-pura tidak melihat Jeddy. Matanya terus dipicingkan ke arah Paul, seolah-olah ia sedang bersiap menembakkan pelurunya ke arah Paul sekaligus membiarkan nyawanya dihabisi oleh Jeddy. Ini benar-benar aneh, Paul sampai kebingungan. "Woi! Mengapa orang itu seperti tidak melihat keberadaanmu!? Dan kenapa yang lainnya terlihat biasa saja saat tahu temannya telah mati ditembak olehmu!? Ini aneh! b******k!" DOR! Mendengar Paul berteriak-teriak, salah satu dari mereka langsung menembakkan pelurunya. Cepat-cepat Paul memiringkan kepalanya, dan berhasil menghindari peluru itu. "Sialan!" Paul terkejut oleh tembakkan tersebut. "Apa boleh buat, aku terima tantangan kalian! Jika kalian berani! COBA TEMBAK AKU SECARA BERSAMAAN! PARA PECUNDANG!" Jeddy melirik ke Paul saat anak itu dengan bodohnya menantang kerabat-kerabatnya untuk menembak secara bersamaan. Sebenarnya apa yang sedang dipikirkan Paul sampai bertindak sejauh itu, terlalu ceroboh, begitulah menurut Jeddy. DOR! DOR! DOR! DOR! DOR! Dan akhirnya, puluhan peluru langsung menerjang ke arah Paul, namun, dengan santainya Jeddy ikutan menembakkan peluru-pelurunya ke peluru-peluru kerabat-kerabatnya yang melesat ke arah lelaki pemarah itu. Alhasil peluru-peluru Jeddy menabrak peluru kerabat-kerabatnya hingga akhirnya, peluru-peluru keluarganya terpental ke segala arah, tidak mengenai Paul sedikit pun. "W-Wow!" Paul takjub memandangi hal tersebut, dia tidak menyangka Jeddy bisa melakukan hal hebat seperti itu. Berkat itu pun, Paul bisa selamat, tidak mati konyol di sini. Sebenarnya, Paul menantang mereka karena ingin mencoba keterampilannya dalam menghindari peluru-peluru super cepat, tanpa mengingat kalau nyawanya lah yang menjadi taruhan. Benar-benar pemberani, walau agak ceroboh. "Bro," Jeddy mendatangi Paul dengan berlari kecil, kemudian dia memberikan lelaki itu sebuah pistol mungil yang ada di saku celananya. Sepertinya Jeddy membawa dua buah pistol saat ini, setelah Paul menerima pemberiannya, sosok serba hijau itu berkata dengan serius, sambil punggungnya ditempelkan ke punggung Paul. Mereka berdua sedang dalam posisi saling memunggungi satu sama lain. "Yo? Kau bisa pakai pistol, kan? Bro?" Paul menjawabnya dengan cepat, "Kau meragukanku!? b******k!" Keringat membasahi kaos putih oblongnya, membuat Paul jadi tampak basah kuyup. "Bagus," Jeddy tersenyum miring. "Untuk informasi saja, kau boleh membunuh siapa pun di sini. Jangan khawatir, walau mereka adalah keluargaku, aku tidak mempedulikannya. Jadi, bunuhlah mereka sesukamu, Bro." Paul menganggukkan kepalanya, walau sebenarnya masih ada sedikit keraguan di hatinya. Karena ini adalah pertama kalinya Paul memegang sebuah pistol, dan ini juga pertama kalinya dia diharuskan untuk membunuh manusia. Jika Paul tidak mau melakukannya, maka dialah yang akan terbunuh. "Tembak!" seru Jeddy pada Paul. DOR! DOR! DOR! DOR! DOR! Dengan membabi-buta, Jeddy bersama Paul menembaki orang-orang yang menodongkan senjatanya di jendela tiap toko, mereka berdua terus menembak dan menembak. Satu orang tewas. Tiga orang. Enam orang. Sepuluh orang. Hingga tak terhitung lagi berapa orang yang telah tewas ditembaki mereka berdua. Dan kelihatannya, sebelum tewas, orang-orang itu sama sekali tidak menembakan pelurunya ke mereka berdua. Orang-orang itu sepertinya punya alasan mengapa mereka lebih memilih tewas tertembak daripada melawan balik. Paul mulai berpikir; apakah itu dikarenakan ada sosok Jeddy di dekatnya? Membuat orang-orang itu tidak bisa sembarangan menembakan pelurunya ke arahnya? Paul terheran-heran sambil melihat mayat-mayat yang roboh, darah-darah berceceran di tiap jendela toko. Senjata-senjata yang orang-orang itu pegang mulai berjatuhan dan tergeletak di trotoar jalan. Sampai akhirnya, tidak ada lagi yang tersisa dari orang-orang tersebut, mereka semua telah tewas secara bersamaan. "Yo? Peluruku sudah habis, bagaimana denganmu, Bro?" "A-Aku juga... sudah habis!" balas Paul dengan mata yang masih fokus melihat orang-orang yang sudah tewas. Kemudian, dengan refleks, Paul menjatuhkan pistol yang dipegangnya, dan ia memandangi kedua telapak tangannya yang bergetar. Paul tampak resah. "I-Ini adalah pertama kalinya.. aku membunuh manusia! B-b******k! M-Mengapa aku jadi gugup begini! Sial! Tapi aku tidak sangka, ternyata membunuh manusia rasanya seburuk ini. Mengerikan!" Pandangan Paul pun dialihkan ke arah Jeddy yang sedang berdiri di sampingnya, pemuda itu sedang terkikik-kikik, menertawakan tingkahnya. "Hahaha! Lagi-lagi eskpresimu itu! Hahah! Aku tidak bisa menahannya! Haha! Lucu sekali! Hahaha!" Jeddy memegang perutnya ketika sedang terbahak-bahak, karena perutnya akan sakit jika terus-terusan tertawa. Kemudian, Jeddy menyudahi ketawanya, dan mulai berbicara dengan nada serius. "Kau penasaran tidak mengapa aku tidak peduli pada nyawa keluargaku?" Karena penasaran, Paul langsung menjawabnya dengan kasar. "Jelaskan padaku! Cepat! b******n!" Jeddy mengembangkan bibirnya sedikit, tersenyum tipis. "Itu karena aku menganggap mereka hanya sebagai pengikut bodoh dari Ayahku saja. Dan kau juga pasti penasaran pada mereka yang tidak membalas seranganku dan membiarkan diri mereka tewas dibunuh olehku, benar, kan, Bro? Jadi begini, dari yang kudengar sih, Kambing Gila mempunyai aturan yang dibuat oleh Ayahku, yang salah satunya yaitu, dilarang membunuhku. Kurang lebih begitu, Bro." Tercengang, Paul mengernyitkan alisnya. "Jadi begitu, ya." Paul pun menarik napasnya dalam-dalam. "Itu artinya mereka masih meny--" Bruuuuuum! Perkataan Paul terpotong saat terdengar bunyi mesin mobil yang cukup keras. Dan tampak lah sebuah mobil limousine hitam--yang memiliki kabin sangat panjang dan terkesan mewah--bergerak di jalan utama Kota Groen dan mobil tersebut berhenti di daerah pertokoan yang penuh dengan mayat yang bergelimpangan dan bau darah. Lebih tepatnya, berhenti di hadapan Jeddy dan Paul, yang kini sedang berdiri di tengah jalan. Pintu bagian tengah, bergeser seperti pintu lift, kemudian, sebuah kaki putih yang memakai sepatu hak tinggi berwarna merah, turun ke aspal dengan anggun. Dan terlihatlah seorang wanita berambut hijau ikal, berusia tiga puluhan, mengenakan gaun merah yang panjangnya sebetis, yang keluar dari mobil limousine tersebut, sendirian, tanpa didampingi sang supir atau siapa pun. Wanita bergaun merah itu tersenyum manis pada mereka berdua. "Betapa bahagianya mereka semua," ucap wanita itu dengan memandangi mayat-mayat yang tergeletak di tiap toko. "karena telah mati dengan begitu mudahnya, terbebas dari segala tekanan dan tanggung jawab duniawi. Jujur, aku juga menginginkan akhir yang serupa seperti mereka, tapi apalah dayaku, yang masih punya tanggung jawab untuk memperbaiki masyarakat yang rusak ini, bersama suamiku. Dan bersamamu juga, Jeddy, putraku tersayang." Wanita itu menunjuk Jeddy dengan jari telunjuknya secara lembut. "Hm? Putramu? Tidak-tidak-tidak, aku bukan putramu. Karena aku tidak mau punya Ibu yang kerjaannya mengancam orang, menutup paksa usaha orang, mengusir orang, dan membunuh orang tak berdosa. Ibuku bukan wanita busuk sepertimu. Kau bukan Ibuku." Kali ini, Jeddy terlihat memasang wajah yang sangat serius ketika merespon ucapan wanita bergaun merah tersebut, membuat Paul mulai menduga-duga kalau wanita itu adalah ibu kandungnya. Wanita itu melirik Paul. "Aku yakin sekali, teman-temanmu telah terusir dari kota ini kemarin malam, tapi mengapa yang satu ini masih ada di sini?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD