Sebuah Kecupan

1639 Words
Happy Reading. Lukas bangun dari tidurnya saat mendengar keributan. Dia lalu mengerjap, menarik kesadarannya yang masih tertinggal di dalam mimpi. Ketika pandangan Lukas mulai jelas, bibirnya kemudian mengulas senyum kepada Arabella. Mata Lukas berpendar dan menemukan semua orang tampak sibuk merapikan mejanya. Hal itu membuatnya mengerutkan dahi, bingung kenapa tiba-tiba suasana ruangan ini berubah menjadi keruh. “Mau kemana mereka?” tanyanya menyerukan ketidaktahuan sambil menatap Arabella intens. Arabella mengalihkan mata ke arah Lukas, “Sudah waktunya pulang. Perhatikan jam tanganmu.” Ucapnya memberi kode dengan mengedikkan dagu ke pergelangan Lukas. Pada saat itulah Lukas langsung tersadar. Ternyata sejak tadi dia sudah tertidur cukup lama dan sama sekali tidak menyadari bahwa kelas telah berakhir. “Astaga aku pasti tidur nyenyak sekali.” Lukas menggaruk kepalanya dengan canggung, memandangi Arabella dengan pandangan malu-malu. Kepala Arabella menggeleng pelan, tidak memberikan reaksi terkejut sedikit pun pada lelaki itu. “Lain kali jika kau ingin tidur, jangan lupa membawa ranjang mu yang empuk serta bantal dan juga selimutmu.” Ujarnya dengan memamerkan senyum mencemooh. Sementara itu Lukas masih termenung dengan gejolak pikirannya sendiri. Sampai Arabella beranjak dari duduknya, dia akhirnya tersadar dan segera mengejar perempuan itu. “Ara, tunggu aku.” Lukas menangkap tangan Arabella, lalu membalikkan tubuhnya secara paksa. “Apa lagi Lukas. Aku harus bekerja. Sudah berhari-hari aku tidak masuk kerja. Aku tidak enak hati dengan Jonathan.” Arabella menggertakkan gigi, kesal dengan sikap Lukas yang seolah-olah ingin menghalanginya. “Galak sekali kau ini. Padahal aku hanya menawarkan mu tumpangan.” Lukas mencebikkan bibir, mengawasi ekspresi marah Arabella dengan datar. “Tidak perlu. Aku masih punya uang untuk bayar ongkos angkutan umum.” Dengan suara lantang dan penuh percaya diri, Arabella pun berucap tegas. Tapi penolakan Arabella tidak menyinggung Lukas sama sekali, malahan dia semakin bertambah semangat dalam menggoda perempuannya. “Aku tahu kau miskin. Karena itulah tidak perlu bersikap sombong di hadapanku. Simpan saja uang mu untuk hal yang lebih penting.” Lukas berucap dengan nada protes mencela, dan entah kenapa ucapan Luka itu berhasil menebarkan semburat merah di pipi Arabella. Meskipun begitu, Arabella tetap menjaga ekspresi wajahnya supaya tetap datar dengan menghapus senyuman tipisnya tadi yang sempat terselip disana. Dia lalu menengadah dan menatap Lukas dengan tatapan menuduh yang nyata. “Jangan sok tahu. Meskipun aku terlihat miskin dan tak punya apa-apa, tetapi aku masih memiliki tabungan dari upahku bekerja.” Pipi Arabella kembali merona ketika mengucapkan kalimatnya, kemudian dia memalingkan wajah, tidak ingin Lukas membaca isi hatinya. Lukas mengulum senyum, tahu bahwa Arabella tengah berbohong. Perempuan itu sengaja berucap seperti itu untuk menjaga harga dirinya di hadapan Lukas. “Aku lapar.” Ujarnya tiba-tiba yang langsung membuat Arabella mengangkat kepala ke arah Lukas dengan ekspresi terkejut, “Dan karena kau punya uang, aku ingin kau yang membayar makanan ku.” Arabella membeliak, menatap Lukas penuh peringatan. “Mana boleh seperti itu. Kau kan banyak uang, kenapa tidak kau saja yang bayar.” Sahutnya setengah berseru. Lukas menipiskan bibir. “Jika kau tak sanggup membayarnya, aku memiliki cara lain.” Lukas berucap dengan ekspresi serius, mencoba mengajak Arabella berkompromi. Ketertarikan melumuri mata Arabella, ditatapnya Lukas lekat-lekat dan menunggu lelaki itu melanjutkan kalimatnya. “Satu ciuman di bibir. Kau cukup membayar ku dengan satu ciuman, maka kau tidak perlu mengeluarkan uang sepeser pun.” Melihat keterkejutan melumuri wajah Arabella, senyuman tipis muncul di bibir Lukas, “Bagaimana sayang?” tanyanya dengan suara serak menggoda. "Mimpi saja kau. Aku tidak akan sudi." Arabella langsung bergerak melangkah dari dari hadapan Lukas dengan menahan geram. Lukas tertawa, kemudian segera membalikkan badan untuk menyusul langkah kecil Arabella. "Kau tidak mau? Aku bisa membayar mu berpuluh-puluh kali lipat dari gaji mu di kafe itu. Pikirkan baik-baik." Lukas terus mencerca, tidak berhenti sampai disana, dia bahkan menggandeng tangan Arabella tangan izin, lalu mereka melangkah bersisian. Arabella membiarkan tangannya di genggam oleh lelaki itu. Dia sudah tidak punya waktu lagi untuk meladeni omong kosong Lukas. "Ada banyak wanita yang menyukai mu. Kau bahkan bisa mendapatkan detik ini juga. Tapi kenapa kau malah menginginkan ku." Arabella berucap ingin tahu, tidak mengerti dengan jalan pikiran Lukas. Senyum simpul terukir di bibir Lukas, "Aku juga tidak mengerti. Tidak seorangpun yang bisa memahami hati. Namun dalam ketidakmengertian ku, aku menyukai sebuah rasa yang terselip disana. Hati tidak pernah bisa memilih pada siapa dia akan berlabuh. Semakin kau menolak ku maka semakin besar pula rasa cintaku." Kali ini Aurora tidak bisa menyembunyikan wajahnya yang memerah karena malu. Kata-kata Lukas seolah menamparnya dan membuat akal sehatnya langsung terpukul mundur. Dia tampak tak berkutik dengan kalimat Lukas. Akan tetapi sebuah kehangatan yang kental seketika menyusup di hatinya. "Mulut mu manis sekali. Aku yakin semua wanita di luar sana pasti sudah pernah.... "Hanya kau." Lukas memotong dengan cepat, dengan hati-hati melambatkan langkahnya dan otomatis membuat Arabella langsung menoleh padanya, "Aku tidak berbohong. Kau satu-satunya wanita yang membuatku kehilangan kendali seperti ini. Aku bukan jenis lelaki yang suka mengumbar janji manis. Aku pun bukan jenis lelaki yang pintar berkata-kata untuk mendapatkan perhatian wanita. Namun untuk mu, aku rela melewati batas-batas kewajaran ku. Dan semua itu ku lakukan hanya untuk membuat mu menyadari akan ketulusan hatiku." Ekspresi serius dan perkataan Lukas yang tulus itu sungguh menggelitik Arabella. Bukannya terkesima atau merasa terharu, dia malah tertawa geli. "Bicara apa kau. Lucu sekali." ucapnya di sela-sela tawanya yang masih berderai. "Tolong hentikan... kau membuatku nyaris pingsan karena tertawa." Lukas mengepalkan tangan, auranya seketika suram. Seandainya Arabella bukan wanita yang dicintainya, sudah pasti perempuan itu akan mendapatkan hukuman karena sikapnya yang kurang ajar. Lukas merasa harga dirinya jatuh di hadapan Arabella. Padahal dia sudah bersusah payah untuk meyakinkan Arabella dengan kalimat konyolnya, tapi dia malah tertawa terbahak. Lukas mengeram kesal, melempar tatapan membunuh pada Arabella. "Jadi, apanya yang lucu." Mata Lukas menajam, "Kenapa kau tertawa?" Arabella membekap mulut menggunakan telapak tangannya. Menahan supaya suara tawanya tidak menyusul, sebab suasana hati Lukas tampaknya saat ini sedang tidak baik. Lelaki itu pasti tersinggung. "Lupakan saja. Maaf maaf, aku tidak bermaksud untuk merendahkan mu." Arabella meneliti ekspresi Lukas, dan ketika masih ditemukannya ekspresi marah di wajah lelaki itu, dia kemudian menyambung. "Kau masih marah, ya. Baiklah kalau begitu maafkan aku. Aku berjanji tidak akan mengulanginya lagi." Lukas memasang ekspresi sinis di wajahnya, "Tidak cukup hanya minta maaf. Kau sudah melukai perasaan ku." ada sesuatu yang aneh di mata Lukas ketika berucap, membuat Arabella langsung mengerutkan kening. Dan seolah mengerti apa yang diinginkan oleh Lukas, tiba-tiba saja Arabella berjinjit. Entah angin apa dia kemudian menghadiahkan satu kecupan di pipi Lukas. "Sudah tidak marah lagi bukan?" senyum malu-malu mengulas di bibir Arabella, pipinya kembali merona. Lukas tertegun, merasakan jantungnya seperti berhenti di detik itu juga. Tangannya bergerak, mengucap bekas ciuman Arabella di pipinya. Mata Lukas melebar, tidak percaya kalau Arabella baru saja menciumnya. "Kau...kau...apa yang kau... Arabella menganggukkan kepala dan senyumnya masih terpatri di bibir mungilnya. "Aku melakukannya sebagai permintaan maaf. Tidak ada maksud apa-apa." jawabnya cepat, menolak apa yang terbersit di pikiran Lukas. Lukas menatap Arabella dengan senyum sumringah. Kedua tangannya terulur untuk menangkup pipi kiri dan kanan perempuan itu. Dengan tidak tahu malu, Lukas mendekatkan wajahnya kepada Arabella lalu menyentuhkan dahi mereka. "Aku suka. Lain kali kau juga harus berterimakasih dengan cara seperti itu. Aku sangat menyukainya." Lukas menatap lurus ke dalam mata Arabella, menahan sekuat tenaga supaya tidak melumat bibirnya yang sejak tadi menggodanya tanpa ampun. "Mau pulang denganku" Arabella seketika menarik mundur kepalanya ketika mendengar suara asing tiba-tiba. Dengan panik Arabella lalu menoleh ke sumber suara dan betapa terkejutnya dia saat melihat Kenzo sudah berada diantara mereka. Arabella tergagap, sementara tangannya langsung mengepal cemas. Debaran jantung Arabella mengencang, meskipun ada Lukas di sampingnya tetapi rasa tidak nyaman meliputi dirinya. Berbeda dengan Lukas, dia sama sekali tidak memberikan reaksi di wajahnya ketika melihat kehadiran Kenzo. Lukas terbiasa menyembunyikan segala emosinya di hadapan musuh hingga tak satu pun yang dapat mengetahui apa yang tengah dirasakan olehnya. Lukas tampak begitu tenang, dengan lembut dia meraih lengan Arabella, kemudian menarik perempuan itu kepadanya, menyembunyikan di balik punggungnya. Saat ini Lukas seolah menjadi tameng bagi wanitanya. "Apa yang kau inginkan." Suara Lukas merendah, terdengar jelas penuh kebencian. "Aku tidak punya urusan dengan mu. Menyingkirlah, aku ingin bicara empat mata dengan Arabella." Kenzo bersuara tajam, memerintahkan Lukas dengan sombong. Ketika merasakan tangan Arabella dingin, Lukas segera menguatkan cengkraman namun tidak bermaksud menyakiti, hendak berbagai kehangatan dengannya. Rupanya sikap Lukas yang begitu peka terhadap dirinya, membuat Arabella langsung tersentuh. Diam-diam dia memperhatikan punggung Lukas dan membalas genggaman tangan lelaki itu. Lukas menggertakkan gigi, "Kau yang seharusnya menyingkir. Arabella adalah milikku. Kau tidak punya hak atas dirinya." "Oh, ya. Jangan lupa Lukas, setiap apa yang kau miliki, aku juga berhak memilikinya. Kalau Arabella adalah milik mu, secara tidak langsung dia juga milikku." Lukas menyahut dengan ekspresi senang, matanya yang tajam bersinar penuh kelicikan melihat ekspresi Lukas yang berubah pucat. Lukas mendekatkan wajahnya ke arah Kenzo, menatap tajam laksana menembus jiwa, "Sampai mati pun, aku tak akan pernah melepaskan Arabella. Camkan itu." ujarnya memperingati dengan penuh penekanan, kemudian Lukas membalikkan badan hendak membawa Arabella pergi. Lukas dan Arabella sudah setengah jalan menuju gerbang sekolah ketika Kenzo memanggilnya kembali. "Kenapa kau harus datang lagi. Padahal aku bertaruh nyawa untuk melupakan semua kenangan pahit itu." desisnya marah. Arabella mengerutkan kening tidak mengerti arah pembicaraan Lukas dan Kenzo. Dia menoleh pada Lukas, dan menemukan ekspresi lelaki itu yang pucat seolah sedang menyembunyikan sesuatu. Sementara Lukas sendiri terlihat mengambil jeda sejenak hanya untuk menenangkan diri. "Tutup mulutmu. Kau tidak berhak mencampuri urusanku." dengan bengis Lukas berbinar, memiringkan kepalnya untuk melihat Kenzo. Kenzo tertawa renyah, menanggung kemarahan Lukas dengan santai. "Aku hanya tidak ingin ada korban selanjutnya. Wanita yang di samping mu itu adalah wanita baik-baik. Jangan sampai kau menghancurkan hidupnya juga. Aku sedang memperingati mu. Kau boleh menganggap perkataan ku sebagai sambutan manis akan kedatangan mu." Kenzo menyeringai lambat-lambat, mencuri pandang ke arah Arabella. Senyumnya yang mengerikan langsung terbit saat melihat perempuan itu kebingungan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD