3. Ke Pantai

2386 Words
Gadis berambut sepinggang berwarna kecokelatan itu sedang melompat-lompat di bawah rinai hujan. Senyumnya merekah sempurna membuat kedua mata sipitnya menghilang. Senyum yang begitu manis, semakin indah dengan bibir ranum kemerahan. "Seperti anak kecil!" komentar sang pria terdengar jelas di telinga. Dia memerhatikan dari kejauhan, berteduh di bawah pondok kecil yang juga sudah bolong-bolong atapnya. Dia sudah menegur beberapa kali agar tidak bermain-main dengan hujan, tapi masih ngeyel. Memang benar hujan itu asik dan menyenangkan, tapi dia akan menjadi alasan paling atas saat kita jatuh sakit. "Felix, ayo ke sini!" teriaknya memanggil sambil melambaikan tangan. Dress putih yang dia kenakan sudah basah keseluruhan, untung saja tidak tembus pandang hingga ke dalam. Jika iya, Felix sudah kelabakan mencari sesuatu untuk menutupi pakaian dalam gadis itu. Tidak mengenakan alas kaki, dia berlarian kecil di bibir pantai, sesekali berteriak lepas membuang beban. Dia sangat lincah, tertawa lepas saat mencoba menghindari terjangan ombak. "Saya membawa kamu ke sini tidak untuk mencari kesakitan. Kenapa masih ngeyel main hujan?" Felix mendengkus, mendorong pelan dahi gadis itu saat dia sampai di pondok. Kedua mata itu berbinar indah, bulunya sangat lentik. Alis tebal alami, begitu sempurna bingkai wajah Nessi ditambah hidung lancipnya. "Hujan adalah temanku. Setiap kali hujan turun, aku selalu menyapanya seperti ini." Tidak merasa berdosa, malah tersenyum sangat senang seolah ini memang sumber kebahagiaannya. "Ayo main hujan bareng!" Menengadahkan telapak tangannya ke hadapan Felix, berharap pria itu ikut menciptakan suasana menyenangkan bersamanya. Lupakan masalah yang menjadi beban pikiran, waktunya mengisi hari dengan gelak tawa. Tidak langsung menerimanya, Felix masih diam memerhatikan wajah gadis itu. Menatap lekat, saling memberikan tatapan tulus. "Kamu sudah tidak sedih lagi?" Nessi menggeleng tegas. Gadis berusia tepat sembilan belas tahun beberapa hari lalu itu masih mengulas senyum, tetesan air hujan membasahi seluruh bagian tubuhnya. "Kamu sepertinya sangat menyukai pantai." Nessi mengangguk semakin bersemangat. "Mendengar tarian ombak dan dedaunan kelapa saling bergesekan membuat keadaan hati aku tenang. Aroma laut khas banget, apalagi penuh dengan kesunyian. Mereka adalah surga!" Felix menepuk-nepuk puncak kepala gadis itu. "Hari ini saya melihat diri kamu seperti terakhir kali kita bertemu waktu di villa." Tersenyum tipis, Felix berkata jujur. Wajah ceria penuh semangatnya menambah kesan cantik. "Tapi terakhir kali kamu juga menunjukkan wajah ketakutan saat Tuan Damian mengamuk, bahkan pingsan dan demam." "Untung tadi malam aku tidak demam. Semalam aku juga ketakutan." "Takut tapi tetap ngeyel mau bunuh diri. Kamu sehat?" Nessi terkekeh, dia meraih tangan Felix tanpa izin, menariknya untuk bermain ke bibir pantai. "Kamu terlalu lama berpikir, ayo main hujan sekarang. Aku jamin semua masalah kamu hilang, kamu akan lebih baik setelah ini." "Kita akan sakit setelah ini." "Tidak, aku jarang sakit setelah hujan-hujanan." Felix menautkan alis. "Kamu gadis planet atau bagaimana?" tanyanya mencebikkan bibir. Felix baru mendengar orang jarang sakit ketika hujan-hujanan. Apa dia tidak salah dengar? Nessi meninju lengan Felix. "Aku serius!" Mengangguk tegas. Nessi tidak berbohong, dia sudah terlalu sering main hujan, tapi jarang sakit. Manusia sepertinya memang sangat jarang ada, tapi Nessi emang sekebal itu. Dia menangis berhari-hari saja tidak jatuh sakit, terlalu tahan banting. "Apa kamu yang bakal jatuh sakit setelah ini?" Nessi menyipitkan mata, mengulum senyum. "Tidak, saya sangat jarang juga sakit." "Baguslah. Ayo berlarian!" Lebih dulu berlari ke sebelah kanan, mereka saling mengejar, Nessi tertawa cekikikan melihat Felix akhirnya mau mengikuti perintahnya. Pria itu tidak semenyeramkan suami Ratih, Nessi tidak takut pada Felix. Dia begitu hangat dan dewasa, benar kata Ratih jika pengawal suaminya itu sedikit lebih sehat. "Felix, ayo kita sewa sepeda." Melangkah menuju tempat penyewaan sepeda tanpa Felix mengiyakannya lebih dulu. "Aku mau sepeda yang ini, Paman." Menunjuk sepeda perempuan yang ada keranjang di bagian depannya. Felix hanya memerhatikan, sejauh mana Nessi berani meminta padanya. Mereka baru mengenal lebih dekat semalam, tapi gadis itu sudah begitu ringan mengajak Felix ini dan itu--termasuk ke pantai. "Felix, bayarin ya. Uang aku di tas, ketinggalan dalam mobil." Felix mengangkat bahu. "Uang saya juga ada di mobil." Dengan sangat santai, Felix menjawab demikian. Nessi membelalak, menatap Paman penyewaan sepeda dengan malu. "T-tapi ... aku mau berkeliling pakai sepeda." Bibirnya memaju seperti bebek, berdecak sebal melihat wajah Felix yang begitu tidak peduli padanya. Nessi sudah memegangi sepeda itu, sudah tinggal mengayuhnya saja keluar dari ruang penyewaan. "Paman, aku pinjam dulu sepedanya. Nanti untuk bayaran, Paman sandera saja pria menyebalkan ini ya!" Menunjuk ke arah Felix, kemudian melambaikan tangannya tanpa dosa. Tanpa bisa dicegah oleh siapa pun, Nessi sudah berlalu mengayuh sepedanya. Gadis itu benar-benar! Paman penyewaan mengusap kening, Felix langsung mengeluarkan uang seratus ribuan dari dalam sakunya. "Berapa biaya untuk dua sepeda?" "Sepuluh ribu persatu jamnya untuk satu sepeda, Pak." Felix mengangguk mengerti. Dia mengambil sepeda persis seperti Nessi tadi. "Kembaliannya ambil saja, Pak. Saya akan mengembalikan sepeda ini sebelum malam tiba." Ini sudah jam tiga sore, paling lambat sekitar jam enam nanti Felix sudah mengembalikan sepedanya bersama Nessi. Entah ke mana gadis itu berlari, sudah menghilang dari penglihatannya. "Sepedanya jangan sampai hilang ya, Pak. Saya akan meminta biaya ganti rugi dua kali lipat dari harga asli sepedanya." "Iya, nanti kalau hilang saya belikan Bapak sekalian sama tokonya ya!" Setelah itu Felix meninggalkan tempat penyewaan, mengayuh sepedanya cepat. Paman yang punya usaha penyewaan itu menganga, geleng-geleng kepala melihat kelakuan sepasang kekasih tersebut--pikirnya. Felix hanya terkekeh mengingat ucapannya tadi. Membeli sekalian sama tokonya? "Hanya dalam mimpi!" gumam Felix terkikik geli tanpa dosa. Lebih baik uangnya dibuat usaha, lagi pula Felix tidak sekaya Tuan Kenan dan Tuannya Damian. Ini hanya lelucon, bisa gundul kepala Felix kalau sampai membeli sekalian satu toko sepeda. Yakali! "Felix, aku di sini!" teriak gadis itu di salah satu bawah pohon besar. Melambaikan tangannya, tertawa lepas sambil memeletkan lidah. Tidak membiarkan Felix mendekat, Nessi kembali melajukan sepedanya. Sayang sekali hujan sudah tidak terlalu lebat seperti tadi. Tapi ini masih menyenangkan, Nessi begitu bersemangat. "Kejar aku cepat!" Felix mencebikkan bibir. Dia memilih sepeda terlalu kecil, kakinya sedikit sudah dalam mengayuh. Bukan salah badan Felix yang tinggi, sepedanya saja yang tidak bisa diperbesar. Lol! Belum sempat Felix membuka suara mengingatkan untuk tidak terlalu laju mengayuh, sepeda Nessi sudah terjatuh ke tanah. Felix membelalak, mendesah kesal. Sudah dia duga jika gadis nakal satu itu akan jatuh. Tidak bisa dibilangi, dia terlalu bersemangat. "Itulah, kualat kamu sama saya. Nakal sih!" Felix belum meninggalkan sepedanya, menonton Nessi yang sedang meringis menahan sakit. Bukannya kasihan, Felix malah tertawa lepas. Nessi berdecak, dia memukul kaki Felix marah. "Kurang ajar, malah ngetawain!" Sedari tadi sudah menahan tangis, tapi saat melihat Felix tertawa, dia semakin malu. "Jahat!" ucapnya sambil terisak pelan. Felix langsung mengantup mulut, segera meninggalkan sepedanya untuk menolong Nessi. Begini kah definisi manusia minta ditampol? Diketawain dulu baru menolong. "Aduh cengeng amat kamu. Kok pakai nangis segala?" Sakitnya memang tidak seberapa, malunya yang luar biasa. Bagian lutut dan siku Nessi berdarah, di dekat mata kakinya juga terdapat lecet akibat gesekan pasir pantai yang tajam. "Perih!" aduh Nessi memperlihatkan lukanya. Felix membawa gadis itu melangkah menuju mobil, menyuruhnya duduk sementara Felix mengambilkan kotak obat. "Kebanyakan gaya sih, makanya jatuh kan?" Bukannya mengasihani, Felix malah terkesan mencibir atas kesalahannya. Nessi kesal, dia memukul bahu Felix. Tidak berniat membalas atau mengatakan apa pun lagi, Felix membersihkan luka itu sebelum menutupnya dengan obat luka. "Lukanya sedikit doang, masih jauh dari kematian." Mengangkat bahu cuek, masih berusaha memberikan penolongan terbaik. Luka di lutut lumayan besar, siapa suruh mengerjainya tadi? "Aw, aw! Sakitnya." "Belum sembuh luka semalam, nambah luka lagi. Kamu mau tes kekebalan tubuh atau bagaimana?" "Jangan mengataiku, obati saja dulu lukanya. Mami tahu aku pulang dengan keadaan begini, kamu juga yang dimarahi." Nessi cemberut, matanya masih berkaca-kaca menahan perih. Hei, Nessi bersikap seolah Viesa adalah Maminya. Felix menghela napas. "Saya tidak salah." "Kamu pasti kan yang nyumpahin aku biar jatuh?" Memicingkan matanya, mengintimidasi. "Sembarang!" Menekan luka Nessi dengan kapas miliknya, membuat gadis itu memekik. "Enak dapat luka?" Nessi menyentil kening Felix. "Kamu menyebalkan!" Felix hanya diam, masih menyelesaikan pengobatan luka-luka Nessi. "Kita pulang besok kan?" "Apa yang besok? Habis ini kita langsung balik." Nessi membelalak kaget, menggeleng tidak mau. "Jika menginap, lusa kita menikah." Felix menatap Nessi, keluarganya pasti tidak tinggal diam melihat putra satu-satunya mereka kumpul kebo dengan wanita. Bukan cemas soal Felix, tapi lebih kepada si wanitanya. Apalagi Viesa ... wanita super penyayang satu itu sangat menghargai sesamanya. Sejak dulu Felix dinasehati agar tidak mempermainkan wanita, hati Viesa akan merasa sakit juga. Tidak dipungkiri, Felix juga pernah menjalin kasih layaknya orang dewasa. Tapi untuk urusan hubungan intim, belum sampai ke tahap itu. Felix pernah menjalin kasih selama dua tahun, pernah liburan bersama hingga menginap satu kamar. Mereka berpelukan, berciuman, berpegangan tangan, saling menyayangi dan berbagi cinta. Namun satu, Felix tidak merusak kekasihnya sampai wanita itu ketahuan berselingkuh dengan pria yang lain. Untung saja belum pernah Felix ajak main ke rumah orang tuanya, jadi hanya dia yang merasa tersakiti. Ini kali pertama Felix membawa seorang wanita, Nessi. Dan ya ... Viesa sangat menyambut hangat seolah begitu menyayangi anaknya sendiri. Sejak semalam Felix bingung, bagaimana menjelaskan pada ibunya. Tadi pagi saja Viesa begitu melayani Nessi, mengajak mengobrol sampai keduanya menjadi dekat. Jika tidak bisa keluar dari mulut Felix untuk membenarkan siapa Nessi, Felix ingin gadis itu yang jujur. Nyatanya, Nessi malah iya-iya saja. Semakin jauh harapan kedua orang tuanya, Felix yang bingung sendiri. "Kenapa kok menikah?" Dengan polosnya, Nessi bertanya demikian. Felix membereskan kotak obatnya, tertawa pelan. "Kamu mau apa-apain aku ya?!" Dengkusnya tidak terima. "Bukan seperti itu. Kamu lihat Mami kan, dia begitu menyayangi kamu meski baru mengenal. Begini sederhananya, coba kamu pikir ketika dua orang dewasa menginap, pemikiran orang-orang pasti ada saja yang tidak baiknya. Sekali pun kita tidak melakukan apa-apa. Mami tidak mungkin mempermalukan dan merendahkan harga diri kamu sebagai wanita, tentu saja saya disuruh menikahi kamu lebih cepat." "Ah, bener juga sih." Memelas, pasrah. "Aku main hujan, lupa bawa baju. Dingin." Lagi, Nessi mengeluhkan yang terjadi padanya berharap Felix peka. Felix melipat kedua tangannya di pinggang. "Sudah saya bilang, kamu memang nakal dan tidak bisa dibilangi!" Membuka mobil bagian belakang, mengambil kaos dan celana bahan selutut miliknya yang habis dilaundry. "Pakai punya saya dulu. Nanti sampai di rumah baru di ganti lagi." Nessi mengangguk, dia berpindah duduk ke jok belakang, berniat mengganti dressnya. "Kamu jangan mengintip!" "Memangnya apa yang mau saya lihat?" Felix menaikkan sebelah alisnya, terlihat songong sekali wajah pria itu. "Kurang ajarnya! Aku tahu badanku kayak papan triplek di mata kamu, tapi tidak perlu disindir juga. Begini-begini aku cantik kayak model papan atas, primadona di kampus." Memeletkan lidahnya kesal, menutup pintu mobil kasar. Sementara Nessi mengganti pakaiannya, Felix dengan sabar mengantarkan dua sepeda tadi ke tempat penyewaan. Selesai mengganti bajunya, Nessi kembali ke jok depan. Dia memeluk tote bag miliknya sembari menunggu Felix datang. "Ayo pulang!" Memperlihatkan deretan giginya yang rapi. Felix mengernyit bingung. "Ngapain kamu peluk tas begitu?" "Nggak pa-pa." Menggeleng pelan, kemudian memilih diam. Gadis itu kelelahan, dia mulai memejamkan mata. Sesekali bibirnya bersenandung, tapi hanya sebentar sebelum akhirnya kembali senyap. Tidak lama, terdengar suara napas yang dihela beraturan. Felix menoleh, Nessi sudah tertidur pulas. Cepat sekali dia tidur, bisa di mana saja dengan gampang. Felix berniat mengambil tote bag Nessi, berpikir agar gadis itu lebih nyaman dalam tidurnya. Saat Felix ambil, barulah pria itu sadar akan satu hal dan langsung ingin menenggelamkan diri saat itu juga. "Benar-benar gadis nakal ini!" Dia melepas seluruh pakaiannya hingga ke dalam. Saat ini Nessi tidak mengenakan bra, dan sialnya kaos yang Felix pinjamkan berwarna putih polos. Felix segera menepikan mobil untuk mengambilkan selimut di jok belakang. "Selalu membuat ulah kamu ya!" Felix menyelimuti Nessi, ingin sekali menyentil keningnya saking kesal. Mumpung gadis itu tidur, Felix mengambil kesempatan untuk mengganti pakaian basahnya. Cuaca begitu dingin sampai menusuk tulang. **** Viesa menyambut kedatangan Nessi, gadis itu masih memeluk selimut yang dipinjamkan Felix tadi. "Hai, Mami!" sapanya masih lemas. Dia terpaksa menyudahi tidur nyenyaknya saat Felix membangunkan dengan paksa. Karena sudah sampai kediaman Gamya, Nessi mengurungkan niatnya untuk marah. "Tadi kehujanan di pantai, Mami. Jadinya aku pinjam baju Felix." "Tidak masalah, Sayang. Kamu bilas dulu badan kamu pakai air hangat ya, nanti Mami buatkan cokelat panas untuk mengurangi rasa dingin." Nessi mengangguk, sebelum dia beranjak menuju kamar, Viesa mencegah cepat. Rupanya wanita itu baru menyadari luka Nessi bertambah. "Loh, kenapa luka-luka begini, Cantik?" paniknya terlihat cemas. Bagaimana Nessi tidak terharu? Orang lain bisa memperlakukannya sebegitu hangat melebihi orangtuanya sendiri. Nessi ingin menangis, dia sangat mengharapkan kasih sayang seperti ini. "Tidak masalah, Mami. Tadi aku jatuh naik sepeda, tapi sudah dibantu obati sama Felix. Udah nggak sakit, cuman luka kecil kok." Felix menatap Nessi dan Viesa dalam diam, kemudian lebih dulu melangkah menuju kamarnya. "Dia kenapa?" tanya Viesa merasa aneh. Nessi menggeleng. "Dia kedinginan dari tadi, mungkin mau segera berendam air hangat." Viesa tersenyum, mengangguk mengerti. "Ya sudah, kamu juga berendam ya. Setelah itu kita makan malam bersama, Mami dan Bibi menyiapkan banyak menu makanan untuk kita." Senyum Nessi mengembang, dia mengusap lengan wanita super baik di hadapannya. "Terima kasih banyak, Mami, aku ke kamar dulu ya. Mami jangan terlalu banyak melakukan pekerjaan, nanti kelelahan." Dari yang Nessi dengar dari Felix, Viesa sangat senang melakukan banyak pekerjaan setiap harinya. Felix khawatir, apalagi keadaan Viesa sudah begitu menurun. Di depan kamarnya ternyata ada Felix yang sedang menunggu. "Ngapain di sana?" tanya Nessi menyipitkan matanya. "Kembalikan selimut saya!" Mengulurkan tangannya. Dalam pelukan Nessi itu selimut kesayangan Felix. Ke kediaman Faresta saja dia bawa, begitu lembut dan hangat. Nessi menggeleng. "Nanti aku kembalikan setelah mandi." "Makanya jangan lepas bra segala." "Eh? A-apa?!" Nessi menganga dengan mata membola. Dia refleks memukul Felix. "Kamu melihatnya?" "Saya tidak sengaja lihat. Siapa suruh menyuguhkan saya dengan gratis?" "Kuadukan Mami!" decak Nessi ingin menangis. Dia malu sekali, wajahnya sampai memerah padam. Felix hanya bisa tertawa pada akhirnya, kemudian masuk ke kamar tanpa memedulikan Nessi yang tengah menahan malu. "Kurang ajar!" umpat Nessi kemudian menutup pintu kamar. Dia menghempaskan tubuh ke atas kasur, berdecak lagi di sana meluapkan kekesalan. **** Sejauh ini kalian tim siapa? Tetap papa bear atau udah pindah haluan? hahaha ....
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD