4. Sebagian Kecil Tentang Nessi

2288 Words
Pagi-pagi sekali Felix sudah bersandar pada dinding kamar sembari memerhatikan Nessi yang baru memulai bangun. Gadis itu menggeliat pelan, berusaha mencangkul kesadaran sedikit demi sedikit. Saat menyadari ada lipatan handuk kecil di keningnya, Nessi mengernyit bingung. Dia mengusap mata, bibirnya cemberut masam. Helaan napas ditarik panjang, kemudian mengusap pipi dan memeriksa suhu tubuhnya sendiri sampai ke leher. Sudah tidak terlalu panas. Beberapa bagian tubuhnya terasa pegal, lemas sekali. "Katanya tidak akan sakit, lalu ini apa, Maemunah?!" Felix mendengkus, dia menatap tajam ke arah Nessi yang masih belum menyadari kehadirannya sejak tadi. Gadis itu terlalu banyak gaya kemarin hingga membuat Felix pusing. Sekarang lihat, sejak semalam dia demam hingga membuat Felix kurang tidur. Lagi-lagi Felix yang mengalah, untung saja pria itu terbiasa menahan kantuk. Yang menyadari Nessi sakit pertama kali adalah Viesa, wanita itu berniat membawakan Nessi jahe hangat agar tidak menimbulkan pilek keesokan harinya. Tapi ternyata Nessi sudah tidur dalam keadaan panas berangsur tinggi. Sepanjang tidurnya Nessi gelisah, beberapa kali dia mengigau memanggil mamanya. Felix tidak mungkin membiarkan Viesa begadang menjaga Nessi, akhirnya dia kembali mengerahkan kesabaran menghadapi gadis nakal itu. "Sok kebal dan tahan banting, nyatanya sakit juga!" Melihat kedua tangan di depan dadaa, menatap tidak bersahabat kepada Nessi. "Resek, kamu tidak ikhlas menerimaku di rumah ini?" Nessi mencebikkan bibir, mencoba bangun dari posisinya. Sebab kesal ditatap tajam, Nessi memukul perut Felix sampai pria itu mengaduh. "Aku hanya kelelahan saja," ujarnya kembali membela diri. Menaikkan kedua bahu cuek, bersikap sesantai mungkin meski masih merasa sedikit pusing. Felix menyentil kening Nessi, membuat gadis itu membelalak marah. "Jangan menyebalkan, saya yang rela kurang tidur demi menjaga kamu. Sebab kerja keras saya suhu tubuh kamu menurun." Mendelik dongkol, Nessi tidak merasa bersalah atau simpati pada perhatiannya. Setidaknya ucapkan terima kasih, gadis ini benar-benar menyulut emosi padahal masih pagi. Nessi menghela napas, dia masih begitu lemas. "Oke, terima kasih ya." Menyibak selimut, melangkah gontai menuju lemari kaca di dekat tempat tidur. Nessi terbiasa bercermin setelah bangun tidur, kebiasaan itu begitu melekat hingga kini. "Syukurlah tidak tumbuh jerawat. Biasanya kalau aku demam, besok pagi sudah ada muncul satu jerawat." Sekedar ingin memberitahu Felix tujuannya bercermin adalah untuk melihat perkembangan kulit wajahnya setiap pagi. "Wajahku terlihat sedikit memucat, tapi tetap cantik dan memesona." Tersenyum kecil, penuh bangga. Felix berdecih, kemudian memutar bola matanya malas. "Saya baru menemui gadis kelewat percaya diri seperti kamu!" Geleng-geleng kepala tidak paham lagi dengan sikap Nessi. Seribu satu cara dia lakukan untuk membahagiakan diri, meski banyak hal konyol yang memusingkan di dalamnya. "Aku memang langka, unik, dan cuman satu-satunya di dunia. Jadi bagi pria mana pun yang mendapatkan aku nanti, dia sungguh beruntung." Terkikik geli, mengulas senyum tidak merasa malu kepada Felix. Nessi menatap pria itu beberapa saat, kemudian melangkah menuju kamar mandi. "Aku mandi dulu, kamu pergilah. Tidak baik terlalu lama berada di kamar seorang gadis, berbahaya!" Felix melebarkan mata, kehabisan kata-kata. "Oh, dasar tidak tahu diri!" Dia menggeram melihat Nessi, kemudian mencoba mengatur napas agar tidak emosi. "Hari ini saya kembali ke Jakarta, kamu akan saya antar ke kediaman orangtuamu!" Pintu kamar mandi kembali terbuka, Nessi memunculkan sebagian tubuhnya di sana. "Aku ikut ke Jakarta, aku juga ada jadwal kuliah. Antarkan aku ke rumah yang di Jakarta saja ya?" "Pulang dulu ke rumah orangtua kamu, izin pada mereka jika kamu akan ke Jakarta. Jangan dibiasakan bepergian tanpa memberitahu mereka, jika kamu kenapa-kenapa, mereka juga yang paling khawatir." Nessi tertawa pelan, terdengar meremehkan ucapan Felix. "Aku jungkir balik sekalipun, mereka tidak akan peduli." Lalu mengangkat bahu, sudah terlalu biasa menerima perlakuan tidak menyenangkan dari kedua orangtuanya. Menyesakkan dadaa, menangis pun sudah lelah dan bosan. "Sudah aku bilang sejak awal, keadaan keluarga kecil kita berbeda jauh." Menghela napasnya, berusaha tersenyum meski tatapan kembali menyirat kesedihan. "Bagaimana bisa? Meski mereka sibuk bekerja, kamu tetaplah putri mereka. Mereka pasti memiliki alasan kenapa sering meninggalkanmu, biaya hidup memang tidak semudah yang kamu bayangkan." "Kamu tahu, tapi duit tidak bisa membeli kebahagiaan. Aku banyak menangis karena duit mereka." Masih berusaha berdamai dengan perasaannya, Nessi melipat kedua tangan di dadaa. Menarik napas panjang, berusaha mengontrol emosi agar tidak menangis. "Aku hanya butuh perhatian, kasih sayang, dan cinta mereka. Uang bisa dicari bukan, sementara jika aku menghilang ... aku tidak akan bisa dicari lagi. Apa mereka peduli? Tidak. Bahkan seandainya aku beneran bunuh diri kemarin, mereka mungkin saja tidak bersedih. Malah akan merasa lega, lumayan beban hidup mereka berkurang." Tertawa miris, keluarganya emang sesakit ini. Felix masih berusaha memahami keadaan Nessi, mencoba mendalami suasana hatinya ketika membicarakan orangtua. "Setidak peduli sikap mereka, jika kamu hilang ... mereka yang akan bersedih paling dalam. Tidak ada orangtua yang tidak menyayangi anaknya, apalagi kamu dibesarkan hingga sekarang. Kebutuhan kamu dicukupi semuanya, kamu diberikan tempat tinggal yang begitu layak dengan segala fasilitas mewah 'kan?" "Aku mendapatkan semuanya, tapi tidak dengan kesenangan hati. Aku jauh lebih menderita dari yang kamu bayangkan. Duit keluargaku memang banyak--malah begitu berlebihan, tapi tidak sepesersen pun nominal itu mampu membeli rasa bahagia." Nessi mengangkat kedua bahunya. Terlalu jengah menceritakan perihal orangtua, dia sudah begitu muak. "Aku berusaha berdiri di atas kakiku sendiri, aku akan melakukan banyak hal yang membuatku bahagia--persetan jika pilihan itu bertentangan dengan yang mereka mau. Aku bukan boneka mereka, aku manusia yang memiliki perasaan." Setelah itu pintu kamar mandi kembali tertutup, Felix memejamkan matanya sambil memijat pangkal hidung. Melihat dan mendengar cerita seorang anak yang mengalami banyak hal buruk dalam keluarganya, Felix tidak bisa berhenti bersyukur. Dia beruntung sekali, masih banyak di luar sana yang menginginkan ada di posisinya sekarang. Tuhan hadirkan Viesa dan Romy, malaikat tanpa sayap yang benar-benar penuh kasih dan cinta. "Bersiaplah, setelah itu kita sarapan. Saya akan tetap mengantar kamu ke kediaman orangtua kamu dulu sebelum ke Jakarta." Tidak ada sahutan, terdengar pancuran air dari showers yang dinyalakan dari dalam sana. Nessi sudah memulai mandinya, Felix segera undur diri. Dia juga akan bersih-bersih dan bersiap. Mengambil libur dan pergi ke kediaman orangtuanya tidak bisa terlalu lama, apalagi Ratih sudah menjelang persalinan, Felix harus berada di sana untuk membantu mengamankan keadaan. Seluruh keluarga besar Faresta tidak sabar menunggu Ratih melahirkan bayi laki-laki yang menjadi surga di tengah-tengah mereka. Pasti begitu menyenangkan, apalagi mendengar tangisnya yang nyaring hingga mengisi setiap sudut ruangan. Viesa pasti akan merasa bahagia juga jika mendengar Ratih melahirkan, kemudian tidak sabaran menyuruh Felix cepat menikah agar segera menyusul. Sudah sangat hapal di luar kepala. Ah, semoga saja tahun ini keberuntungannya, Felix akan mengabulkan permintaan itu untuk Viesa sebelum ibunya kembali ke pangkuan Sang Maha Kuasa. Setiap hari Felix memanjat doa kepada Tuhan, semoga kedua orangtuanya dipanjangkan umur dan disehatkan badan sampai dia benar-benar bisa memberikan banyak kebahagiaan. Setidaknya diakhir usia Mami dan Papinya penuh dengan tawa bahagia. **** Sesampainya di kediaman orangtua Nessi, Felix dipersilakan ikut masuk ke dalam rumah mewah itu. Disambut oleh asisten rumah tangga yang begitu ramah, namanya Mbok Siwa. Felix kadang suka heran, kenapa dengan segala fasilitas dan kehidupan mewah seperti ini masih memiliki banyak kesedihan? Ingat sekali dulu saat keluarganya mengalami kerugian besar pada usaha Romy, mereka hidup dengan begitu sederhana--sering kekurangan, untung saja setelah mengenyam pendidikan Felix mengikuti pelatihan untuk menjadi seorang bobyguard. Bekerja di keluarga Almeer membuat keluarga Felix bangkit, uang yang diterima dari setiap gajinya dapat disisihkan untuk membangun usaha baru. Syukurlah Tuhan masih bersama mereka, usaha itu masih berjalan lancar hingga sekarang. "Jangan kaget kenapa rumah ini seperti tidak berpenghuni. Dari jejeran mobil di luar tadi, tidak ada mobil Papa dan Mama." Nessi menaikkan bahunya cuek, seperti sudah begitu terbiasa. Mereka pergi bekerja seharian penuh, bahkan saat malam pun sibuk dengan dunia masing-masing. Ayah Nessi adalah seorang CEO di perusahaan keluarganya sendiri yang bekerja di bidang alat berat, sementara Ibunya adalah seorang perancang busana yang begitu terkenal. Dia sering keluar kota hingga luar negeri bersama para model ternama, menghabiskan banyak waktu untuk mendalami pekerjaan dan hobinya tersebut. "Aku selalu sendirian begini, atau biasanya ditemani Mbok Siwa menonton televisi sambil bercerita." Melihat dari pajangan dinding yang menampilkan keluarga Nessi, Felix sangat yakin jika kedua orangtua gadis itu orang-orang hebat yang memang sangat gilaa bekerja. "Ibu kamu begitu hebat, dia perancang ternama ibu kota ternyata." Felix mengenalnya, Ratih dan Natasya sering memakai jasa pelayanan George untuk membuat gaun. Beberapa kali Felix mampir ke butik George mengambil pesanan gaun yang sudah selesai di kerjakan. Nessi mengangguk singkat, tidak terlalu tertarik membahas ibunya. "Mama terlalu sibuk, sampai anaknya sendiri tidak dipedulikan. Aku sudah makan atau belum, tidak pernah ditanyakan. Ketika aku di rumah orangtua kamu, Mami selalu bertanya apakah aku lapar, aku pengen makan kue apa, aku mau minum apa, semua yang membuatku senang ditanyakan penuh kasih." Felix hanya mampu menghela napas, kemudian tersenyum dengan tulus. "Tidak berniat mengikuti jejak ibu kamu di bidang busana?" Dengan cepat Nessi menggeleng, membuat pria itu mengernyit bingung. "Keunggulanku di bidang memasak. Bahkan aku selalu memanjat doa agar suatu saat nanti mempunyai rumah makan sendiri, menjadi seorang juru masak hebat, menciptakan banyak makanan dengan jemari ajaib ini." Senyumnya seketika lebar, binar sedih tadi langsung berubah ceria. "Makanya aku bekerja di kafe Mbak Ratih, aku menerima banyak pengalaman dalam dunia kerja di sana. Aku belajar membuat banyak menu bersama chef paling humble yang pernah kutemui. Ada juga Kak Gigi di sana, dia hebat banget dalam memasak." Felix tertarik mendengarkan keceriaan itu. "Benarkah? Sejak kapan kamu bekerja di kafe Nona Ratih? Saya sudah berkali-kali ke kafe cabang di sini, tapi sangat jarang bertemu kamu." "Iyalah, aku hanya berada di dapur, aku juga bekerja hanya paruh waktu. Pagi sampai siang aku sekolah dulu, sore tiba baru mulai bekerja sampai kafe tutup. Seru banget, aku mempunyai banyak teman. Usia para pekerja dapur--apalagi di bagian memasak, benar-benar jauh di atasku, kehebatan mereka juga sudah tidak diragukan lagi. Tapi sangat luar biasa, mereka dengan sabar mau mengajari anak kecil seperti aku." Matanya berbinar indah, menyandarkan punggung di kepala sofa dengan senyuman menyembang. "Mama sama Papa menolak keras aku melanjutkan pendidikan di bidang memasak, marah besar mereka." Felix menaikkan sebelah alisnya, diam sebentar sebelum menanggapi. "Lalu kamu ngeyel lagi?" Nessi menjentikkan jari, mengangguk semangat. "Dasar nakal!" Nessi terkekeh. "Aku tidak mau bekerja di kantor Papa, dari dulu tidak pernah tertarik menjadi seorang CEO, apalagi perancang busana kayak Mama. Aku senang memasak, aku akan terus melakukan apa yang membuatku senang. Tidak peduli orang lain menentang, sekalipun orangtua. Mereka saja tidak pernah ada untukku, tidak pernah mau tahu apa yang aku senangi, tidak pernah berusaha mencari tahu bakatku di bidang apa, tiba-tiba melarang segala macam. Tentu saja aku menolak dengan keras." Mencebikkan bibirnya, berdecak kesal ketika mengingat keadaannya yang begitu dibatasi. "Makanya aku sering kabur ke Bali, aku menyendiri di villa sana untuk menenangkan pikiran. Jika mentalku tidak sekuat baja, aku sudah berada di salah satu rumah sakit jiwa di sini." Entah kenapa Felix langsung tertawa mendengar kalimat terakhir Nessi yang begitu menggelitik perut. Sebelum melanjutkan obrolan, Felix berdehem dulu. Dia terlihat seperti bukan pengawal yang sangar saat bersama Nessi. Tingkah gadis itu selalu beragam, ada saja yang membuat tawa. "Lalu, apa orangtua kamu tahu kamu bekerja di kafe Nona Ratih sejak usia belia?" "Tidak tahu, mereka tidak pernah menegur aku yang sering pulang malam. Esok paginya juga tidak menanyakan apa pun tentang aku. Apa yang kujalani setiap hari tidak menarik di mata mereka. Aku kabur ke Bali seminggu saja mereka tidak tahu. Aku jarang sekali ditanya-tanya, bahkan bertemu pun hanya beberapa kali dalam seminggu. Biasanya ketika pagi aku mau sarapan, Mama dan Papa sudah berangkat kerja. Saat malam aku pulang bekerja, mereka ada di kamar masing-masing. Mungkin hanya diakhir minggu kami sarapan dan makan malam bersama--itu pun jarang." "Sebegitu parah?" "Mungkin lebih parah dari kata itu." Nessi mengangkat bahunya, kemudian menyeruput jus jeruk yang dibuatkan oleh Mbok Siwa. "Minum dan makan kuenya ya. Udah banyak banget kita bercerita, sampai aku lupa bersiap-siap." Felix tidak masalah mendengarkan seberapa banyak cerita Nessi, sama sekali tidak keberatan. Namun sepertinya Nessi sudah tidak berniat melanjutkan ceritanya, Felix akhirnya ikut menikmati jus jeruk itu. "Setidaknya kirimkan pesan jika kamu ingin berangkat ke Jakarta. Bilang kamu ada kelas, nanti siapa tahu mereka mencari kamu." "Tenang saja, Mama juga bolak balik butik yang ada di sana. Kalau aku rajin, nanti aku samperin Mama ke butiknya." "Ya sudah, bersiaplah dulu. Saya akan menunggu di sini." Nessi mengangguk, dia segera beranjak menuju lantai dua. Nessi tidak perlu membawa pakaian, dia hanya ingin berganti setelannya hari ini. Syukurlah waktu kejadian beberapa hari yang lalu mobil Nessi di antarkan ke rumah, Felix pasti sudah menghubungi seseorang agar mengantarkan mobilnya sampai ke tujuan. Tidak membutuhkan waktu yang lama, Nessi sudah kembali turun. Dia menggunakan outfit simple, celana jeans dan sweater rajut berwarna cokelat susuu, dipadukan dengan sepatu putih polos. Rambut kecokelatannya digulung rapi ke atas, memperlihatkan leher jenjang yang putih dan bersih. "Ayo berangkat!" "Pamit dulu sama Mbok Siwa, Nessi. Bagaimana pun dia orang paling dekat dengan kamu di rumah ini." Felix adalah pria yang sangat sopan dan menghargai siapa pun--kendati orang itu hanya sebagai asisten rumah tangga. Semua orang sama dimatanya, apalagi jika memiliki usia lebih tua, harus dihormati sekali. Nessi mengangguk, dia mendatangi Mbok Siwa ke dapur, berpamitan pada wanita paruh baya tersebut. "Hati-hati ya, Neng, jangan terlalu pecicilan dan melakukan banyak hal berbahaya." Nessi tertawa. "Iya, Mbok." Lalu melangkah mendatangi Felix lagi. "Udah, ayo berangkat!" Felix membungkukkan sedikit badannya pada Mbok Siwa. "Pamit ya, Mbok. Selamat siang, selamat bekerja." Melihat sikap Felix yang demikian, Nessi tidak melihat tanda-tanda dia yang menyebalkan. Felix sangat sopan, pria itu sebenarnya begitu manis dan dewasa. Hei, tunggu dulu ... apa Nessi baru saja mengagumi sosok Felix? **** Next? Banyakin komen wkwkwk ....
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD