Enam

2880 Words
Sosok Dave ditemukan tidak sadarkan diri di dalam kamar mandi. Ia tewas dengan dugaan sementara adalah serangan jantung. Tapi polisi masih mencoba untuk menyelidikinya. Semua penghuni apartemen di periksa. Polisi telah memenuhi lobby apartemen dan jalanan depan apartemen sudah diberi pembatas kuning. Sesampainya di dekat apartemen, Julia tampak terkejut dengan yang dilihatnya. Suara sirine mobil polisi. Julia terus melangkah melewati pembatas yang dipasang polisi. “Maaf, Anda tidak bisa melewati jalan ini, Nona,” kata seorang petugas yang berjaga. Julia menelan ludah, menghembuskan nafas dengan kasar. Kebingungan yang mulai menyusup masuk dan Julia mencoba untuk menyingkirkannya segera. “Saya tinggal di apartemen ini.” Julia berkata dengan suara yang bergetar. “Baiklah. Ikut saya, Nona,” ujar petugas itu lagi. Julia mengikuti pria berseragam di hadapannya. Melintasi pembatas. Dan tak hanya polisi, tapi juga beberapa wartawan dari surat kabar dan televisi yang sudah berjejer menunggu di depan pintu masuk apartemen, lengkap dengan microphone mereka. “Nona, apakah Anda penghuni apartemen ini???” tanya seorang wartawan pada Julia. Betapa terkejutnya Julia, jantungnya berdetak cepat. Pikirannya langsung bercampur dengan suara gaduh di sekeliling Julia. Ia mencoba menghindar, terus mengikuti langkah pria di depannya. Hingga masuk ke dalam lobby. Banyak polisi yang duduk di lobby, dan sebuah ranjang kosong yang didorong keluar dari lift.  “Anda, Mrs. Ross?” tanya seorang wanita berpakaian rapi dengan jas berwarna hitam. Wanita itu menghadang jalan Julia menuju lift sambil membawa sebuah catatan ditangannya. Julia berusaha untuk tetap tenang, didapatinya sosok Max yang berdiri tak jauh darinya dan ikut mendekat ke arah Julia. “Sial, kau terlihat seksi Julia dengan keringat ditubuhmu,” batin Max seorang diri. Max berjalan menghampiri. “Ya, aku Julia Ross,” jawab Julia dengan suara datar. “Perkenalkan namaku, Elizabeth. Bisa ikut sebentar, ada beberapa pertanyaan yang harus Anda jawab,” kata wanita bernama Elizabeth. Sebuah lencana kepolisian terpasang di pinggangnya. Wanita itu seorang detektif. Julia melirik Max yang telah berdiri tepat di sampingnya. Max tersenyum kearah Julia, meraih telapak tangan Julia untuk di genggamnya. Keduanya sempat bertatapan. Ada perasaan yang mendesir dalam diri Julia, terasa hangat seakan menyapa. Julia melirik tautan tangannya dengan tangan Max yang lebar. Ada kebingungan, namun Julia tidak berusaha untuk melepaskannya juga. “Tidak hanya dirimu Julia, semua penghuni apartemen,” tukas Max mencoba untuk menenangkan Julia. Suara Max bagai mantra sihir di telinga Julia. Julia mengangguk dan mereka berjalan ke sebuah sofa yang tersedia di sudut ruang lobby apartemen. Julia duduk berseberangan dengan Elizabeth, dan bersisian dengan Max. “Bisa ceritakan semalam Anda berada dimana?” Sebuah pertanyaan awal yang dilanjutkan pertanyaan-pertanyaan berikutnya yang diajukan Elizabeth untuk Julia. Suara sang detektif tegas, mengintimidasi namun tetap mengedepankan praduga tidak bersalah terhadap setiap saksinya. Dengan tenang Julia menceritakan segalanya. Masa yang terlewati kemarin seakan berputar balik menghampiri dirinya kini. Julia yang tertidur lebih awal dan terbangun di pagi yang sangat pagi untuknya. Julia juga menceritakan pertemuannya dengan Max yang terlihat begitu lezat di pagi hari, dilanjutkan dengan olahraga dan perjumpaannya dengan Rob yang menyesakkan d**a bagi Julia. Pagi yang bagai roller coaster. Semua Julia ceritakan dengan detail meski sesekali tersendat, terlebih saat Julia mendapati Max yang menatapnya dengan intens dan tidak beralih dari sampingnya. Usai 30 menit tanya jawab antara Julia dan sang detektif berakhir dengan baik, tanpa kecurigaan apapun. Julia yakin dan ingat semua yang dilakukannya kemarin. Ia mampu mengulang kehidupannya tanpa ada yang terlewati. Sangatlah berbeda dengan malam sebelumnya yang ia terbangun dengan pikiran kosong. Seakan ada bagian dari hidupnya yang terlewati. “Kau baik-baik saja?” tanya Max. Keduanya bangkit dari sofa, dan berjalan bersisian menuju lift. Julia merasa telapak tangannya mulai basah. Meski jantungnya sudah kembali normal. “Ya, aku baik-baik saja. Sepertinya aku butuh berkonsultasi dengan dokterku lagi,” jawab Julia dengan keraguan yang terselip dalam suaranya. Wajah Julia tampak gusar dan jelas serangan panik sedang membekap erat jiwa Julia. Mereka berhenti tepat di depan lift, menanti lift terbuka. Max dan Julia berdiri berhadap-hadapan. Saling menatap. Julia menyukai mata milik Max. “Tenangkan dirimu, Julia.” Max berujar. Max masih menatapnya dengan lurus dan kali ini terasa lembut menembus jiwa Julia. “Thanks, Max. Kau sudah menemaniku bersama…” ucap Julia menggantung, matanya melirik ke arah sofa tempatnya di introgasi. Max tersenyum lebar, melayangkan tatapannya ke belakang, mengikuti arah mata Julia, tatapan ke arah Elizabeth yang masih di tempatnya, dan telah berganti dengan penghuni lainnya yang harus ia introgasi. Max menatap Julia lagi. “Sungguh aku…” Julia tertunduk sesaat sebelum menatap ke dalam mata Max lagi, “aku terkejut dengan kematian Dave. Aku…aku bertemu dengannya beberapa kali, dan— “ “Sudah tidak perlu dibahas lagi, Julia. Semuanya sudah lewat. Aku akan menemanimu,” sela Max meraih pinggang Julia yang kemudian memeluknya dengan erat. Dan Julia tidak menolak. Meski awalnya ragu dan bingung, pada akhirnya Julia merebahkan kepalanya di d**a bidang Max. Julia berusaha untuk menjaga kewarasannya, tubuhnya bergerak-gerak gelisah. Max tahu siapa Julia sebenarnya. Obat yang diminum dan tingkat batas emosi Julia. Kebiasaan, kesukaan dan semua hal mengenai Julia. Max mengecup puncak kepala Julia. Dan betapa Julia merasakan dirinya butuh bersandar. Menenangkan jiwanya. Tak lama kemudian pintu lift terbuka dengan bunyi denting, Julia yang ditemani Max bergegas masuk ke dalam lift, kemudian yang lainnya, yang tiba-tiba menyeruak masuk memenuhi lift. Max menempatkan Julia di depannya, punggung Julia melekat pada d**a Max. Tangan Max masih melingkari pinggang Julia. Posisi yang menempatkan keduanya begitu dekat, menempel, bahkan Max merasakan miliknya yang berada tepat di b****g Julia. Max juga dapat mencium aroma tubuh Julia yang berkeringat, yang menguar dari leher jenjang Julia tepat di hidung Max. “Damn!!!”, pekik Max dalam hati. Max butuh pertahanan yang kuat untuk menekan gairahnya sendiri saat berdekatan dengan Julia. Beberapa kali lift berhenti, berganti orang bahkan Julia dan Max yang berdiri paling belakang kian terdesak. Max tak sanggup lagi, miliknya yang bergesek dengan b****g Julia, ia mempererat tangannya di pinggang Julia, dan menghela nafas dalam seakan menyesapi aroma wanita dihadapannya. Max merasa ingin melahap Julia saat ini juga. Julia merasakan kulit lehernya meremang, merasakan sesuatu yang mengeras di dekat bokongnya, ia melirik ke arah pinggang rampingnya dan mendapati bagaimana Max melingkarkan tangannya disana. Dagu Max sudah berada di atas bahu Julia. Jantung Julia berdetak kencang. Kerongkongannya terasa kering. Ia butuh air dan oksigen. Saat pintu lift terbuka, Julia bergegas keluar, membelah kepadatan lift yang di ikuti Max. Beberapa wanita yang ada di dalam lift, tampak terus menatap Max, seperti wanita yang terhipnotis dengan pesona Max. Julia membuka pintu apartemennya dengan sedikit gemetar. “Kau kenapa?” tanya Max dengan senyum miring menatap Julia yang jelas tampak salah tingkah. “Aku… aku tidak apa-apa,” jawab Julia sekenanya. Sesungguhnya Max lah yang telah membuat Julia salah tingkah. Max pria yang pandai menyembunyikan dirinya dengan tampak tenang meski gairahnya sudah hampir meledak. Begitu pintu terbuka, Julia langsung memasuki apartemen, Max mengekor di belakang Julia dan menutup pintu di belakangnya. “Aku--” Sebelum Julia bisa berkata apa-apa, Max meraih pergelangan tangan Julia, mendorongnya dan menempatkan Julia diantara dinding dan tubuh kekarnya, dan dengan cepat menekan mulutnya ke arah mulut Julia. Lidah Max memisahkan bibir Julia dan meluncur ke dalam mulut Julia. Kedua tangan Julia terkunci di atas kepalanya. Julia terasa samar-samar seperti minuman yang memabukan, kahlua. Janggut dua hari yang tidak dicukur terasa kasar dan maskulin, perasaan yang sudah lama tidak Julia dapatkan. Max berbau cologne mahal dan itu membuat Julia ingin mengubur wajahnya di leher Max dan menghirup aromanya. “Max…” Julia tahu tak sepantasnya seperti itu, tapi ia membiarkan Max terus menciumnya tanpa jeda. “Tunggu,” kata Julia, menarik mulutnya menjauh dari Max. Mereka saling bertatapan dengan penuh gairah. Nafas naik turun tak beraturan. “Kita tidak bisa melakukan ini.” Max kembali mencium Julia. Wanita yang selalu membuat milik Max berkedut. Julia meletakkan tangannya di lengan Max untuk mendorongnya, tapi begitu Julia merasakan otot bisep Max, ia malah meremasnya. Julia mengerang. Seakan mengabaikan kewarasan diri. “Kau menyukainya?” Ya, Julia menyukainya, tapi dia tak akan mengatakannya dengan lantang di hadapan Max. “Max, aku serius.” Max berhenti mencium Julia, berhenti menggosokan dirinya pada Julia. Tapi disinilah. “Aku juga serius, Julia. Aku menyukaimu, aku menginginkan dirimu, di sini, sekarang,” ucap Max dengan satu tangan meremas b****g dan tangan lainnya meremas buah d**a milik Julia. Seketika Julia mengerang, menahan nafas. Max menundukan kepalanya dan lidahnya dalam mulut Julia. Merasakan Julia dengan penuh gairah. Julia menutup matanya dan kemudian jarinya membelai rambut coklat Max. Gairah menyelimuti keduanya, nafas yang terengah-engah, dan suhu ruangan yang tiba-tiba terasa panas bagi Julia dan Max. Dering telepon memecah keheningan. Keduanya mengabaikan. “Oh Julia. Aku menginginkanmu,” desis Max. Max menarik ke atas hoodie yang dikenakan Julia, membuangnya ke sembarang tempat hingga menampakkan buah d**a Julia yang berbalut bra berwarna hitam. Seketika gelombang gairah menerjang Max. Tatapan mata Max berkabut hasrat, ia langsung menggeser bra itu dan menangkup kedua buah d**a di hadapannya dan didapatinya p****g Julia yang sudah mengeras. “Aku suka milikmu, Julia,” desah Max menyentuhkan ibu jarinya pada ujung p****g Julia. Max melakukan gerakan yang lembut pada kedua p****g itu, merasakannya hingga Julia merasa kewanitaannya mulai basah. “Hmmm…” Julia mengerang penuh kenikmatan. Max membuat seluruh tubuh Julia mengejang, menginginkan penuntasan. Rasa yang sudah Julia lupa rasanya. Bahkan Julia pernah berpikir dirinya tak akan pernah merasakan kenikmatan tubuh seorang pria dalam hidupnya lagi. Yang ada di kepala Julia saat ini adalah ia merasa ingin meledak dengan gairahnya sendiri. Tangan keduanya mulai bergerak tidak beraturan. “Sentuhlah aku, Julia,” pinta Max dengan suara yang berubah parau. Telapak tangan Julia meluncur ke bagian depan kemeja yang dikenakan Max. Julia merasakan d**a dan perut milik Max yang keras dibawah telapak tangannya. Jantung Julia berdetak lebih cepat ketika tangannya mulai memegang ikat pinggang Max. Itu masih diikat dan Julia berpikir apakah dia harus membatalkannya, tapi dia menjelajahinya sedikit lebih jauh, Julia menyadari bahwa ia akan membuka resleting. Milik Max mengarah ke atas sedikit, seolah-olah menunggu untuk menyambut Julia dengan suka cita. Julia bisa merasakan kepalanya yang lembut dan sangat b*******h. Pertama-tama dengan telapak tangannya. Lalu Julia menutupnya dengan ujung jarinya. Ujungnya basah. Max benar-benar b*******h. Dia menghisap salah satu p****g Julia disaat Julia menyentuhnya dan Max berkata, “Itu terasa menakjubkan,” melalui nafasnya yang terengah-engah. “Apa yang kau pikirkan, Julia?” tanya Max. Julia mengingatkan dirinya untuk tetap bernapas. Ia terus menahan napas, bahkan tidak menyadari hal itu. Julia menghirup udara dan berkata, “Aku tidak percaya atas apa yang kulakukan.” “Memegang milikku yang besar di tanganmu?” tanya Max dengan senyuman miring. “Lebih dari itu,” kata Julia. “Berdirilah disini dan biarkan buah dadamu keluar, aku ingin menghisap putingmu, Julia,” ucap Max dengan lembut dan terasa panas di telinga Julia. Perkataan Max yang panas benar-benar membangkitkan gairah Julia. Mendengar Max menggambarkan apa yang akan mereka lakukan sedemikian rupa dan jelas membuat Julia lebih bersemangat. “Kau begitu keras.” Pada akhirnya Julia mampu mengeluarkan suaranya. “Karena kau," desah Max di telinga Julia, menjilatnya sebelum mencium Julia kembali. Max mencium Julia penuh, mulut mereka yang panas dan basah bertemu, lidah mereka saling meluncur satu sama lain bersama-sama dengan semangat yang luar biasa. Julia memegang milik Max, berusaha untuk membungkus dengan jari-jarinya pada kejantanan Max yang keras semampu yang dia bisa. Itu panjang dan besar. Julia membelainya dari dasar, sampai batangnya yang panjang, ke ujung, lalu kembali turun lagi. Milik Max sekeras dari yang bisa Julia bayangkan ketika seorang pria menjadi begitu b*******h. Kulitnya hangat dan lembut, hampir seperti beludru, terutama di sekitar ujungnya. Setetes s****a berkumpul di ujung dan jatuh di tangan Julia, menjadi pelumas saat jari Julia mengelus milik di genggamannya. “Max...” suara Julia lebih mirip erangan. “Aku belum merasakan semua tubuhmu, Julia,” balas Max. “Max, aku serius.” “Aku tahu kau serius,” kata Max. “Kau juga basah,” sambungnya. Julia bisa merasakannya. Julia basah dan panas dan paha dalamnya hampir kesemutan. Max mulai mencium leher Julia salah satu kelemahannya. Julia sangat terangsang dan itu membuatnya menjadi lebih terangsang. Julia merasa kejantanan Max semakin keras saat ia mengelusnya lebih cepat. Julia merasakan denyutannya di tangannya. Julia merasa itu terpompa. Lalu Julia mulai merasakan rasa panas dari milik Max datang di pahanya, mengalir di kakinya. Sebelum semuanya porak poranda dengan bayangan yang merasuki kepala Julia, dan suara gemuruh tawa panjang milik Rob yang memekakan telinganya. “Kau begitu menyedihkan, Julia. Sexmu payah. Tubuhmu tak berguna.” Suara Rob yang bergema secara tiba-tiba. “Julia Ross, sehebat apapun karirmu, kau tetap wanita payah di ranjang.” Hinaan lainnya yang masih terus terngiang. Kedua bola mata Julia melebar, kerongkongannya terasa tercekat. Seketika Julia mendorong tubuh Max, dan berjalan menjauh. Max tampak terkejut, gairahnya yang sudah memuncak seketika tenggelam. “Kau kenapa, Julia?” tanya Max dengan suara menahan kesal. Julia memungut hoodienya untuk menutup tubuhnya yang terbuka. “Aku…maafkan aku, tidak bisa, Max. Aku tidak bisa,” jawab Julia sambil menatap Max dengan rasa penyesalan dimatanya. Rahang mengeras, Max menekan emosinya. Julia mendapati itu semua di wajah Max. “Aku… maafkan aku.” Julia berbalik dan meninggalkan Max menuju kamarnya. “Julia,” panggil Max lantang bergema kesetiap sudut. Julia tak bergeming. Terdengar bantingan pintu, dan Julia mengunci rapat kamarnya. “Julia.” Max mengetuk pintu. “Maafkan aku, Max. Aku tidak bisa!!” pekik Julia dari balik pintu. Julia terduduk di balik pintu. Pikirannya yang tiba-tiba kacau. Suara gemuruh di sekililingnya. Suara yang begitu menyiksa dalam hidupnya. “Kau begitu menyedihkan, Julia. Sexmu payah. Tubuhmu tak berguna.” Suara Rob lagi. “Tidaaaaakkkk!!!!” pekik Julia sambil menutup kedua telinganya. Suara yang tembus hingga keluar kamarnya. “Julia!!! Julia!!! Buka pintunya!!!” pinta Max panik dengan teriakan Julia. Max mencoba mendorong pintu dihadapannya, tapi tidak bisa. “Julia biarkan aku masuk.” “Kau wanita tak berguna, Julia. Kau wanita dengan s*x terburuk dalam hidupku. Aku menyesal telah menikahimu, Julia Ross.” Semua perkataan Rob seakan menyerbu Julia. Julia menutup rapat matanya. Ia terus menggelengkan kepala untuk menyingkirkan suara-suara dikepalanya. Bahkan sosok Rob yang berkelebat di otak Julia. “Julia!!! Julia!!!” panggil Max dari balik pintu. Julia tak bergeming. Nafasnya naik turun. Matanya sudah basah. Julia melempar hoodie di tangannya yang ia pergunakan untuk menutupi tubuhnya yang terbuka ke sembarang tempat.   “Julia, kau dengar aku?” “Pergilah Max!!! Aku mohon pergilah. Pergi!!!” teriak Julia dengan suara lantang. Julia merasa tubuhnya terkulai, perasaannya campur aduk bagai disayat-sayat. Kepalanya berat. Julia merangkak menghampiri meja nakas, mengacak-acak isinya untuk mencari obat miliknya. Hingga tak menyadari kepergian Max yang diakhiri dengan hentakan pintu. Tak ada pilihan lain bagi Max selain membiarkan Julia seorang diri. Dari hasil pencarian Max mengenai obat yang diminum Julia, bahwa wanita itu mengidap gangguan psikis dengan kecemasan serta halusinasi yang bisa tiba-tiba muncul. Max segera kembali ke apartemennya. Ia bisa melihat apa yang dilakukan Julia di dalam kamarnya daripada ia menunggunya di depan pintu kamar Julia. Sesampainya di sebuah ruangan tempat Max dapat melihat semua kehidupan penghuni apartemen. Termasuk Julia. Max mencari keberadaan Julia di kamarnya. “Disini kau rupanya,” desis Max. Julia yang telah menelanjangi dirinya sedang bersiap memasuki bathtubnya. Air yang baru mulai memenuhi. Masih tampak buah d**a dan kewanitaan Julia yang terbuka. Max memperbesar fokus pada layarnya. Bayangan dirinya menghisap buah d**a milik Julia beberapa menit yang lalu. Mendengar desah kenikmatan yang meluncur dari mulut Julia. Milik Max berdiri tegak kembali. Sesungguhnya bagi Max hal yang sangat mudah untuk masuk ke apartemen Julia, menerobos masuk ke kamarnya, bahkan bisa langsung bercinta dengan Julia dengan cara yang dia inginkan. Tapi Max merasa itu semua gila. “Julia. Kau telah membuat milikku selalu membesar,” ucap Max sambil mengeluarkan miliknya. Julia mulai menenggelamkan dirinya dalam bathtub berisi air yang sudah dicampur sabun. “Damn!!!” pekik Max kesal. Ia berjalan meninggalkan ruangan miliknya.   Usai berendam dan meminum obatnya, Julia mencoba menyingkirkan kekalutannya. Dengan mengenakan piyama tidur berbahan sutra. Julia keluar dari kamarnya. Tampak hening. Ia ingat dirinya telah mengusir Max. Julia berjalan ke arah dapur. Tapi sesuatu mengusik dirinya dari balik pintunya. Ia mencoba untuk mengintip dari lubang pintu. Tampak Casey yang sedang menunggu lift dengan membawa sebuah kantung di tangannya. Terlihat biasa dan tak tampak ada yang aneh. Julia melanjutkan rencana awalnya untuk ke dapur. Membuat kopi pekat tanpa gula. Jarum jam menunjukan pukul 13.00. Sudah lewat jam makan siangnya. Usai membuat kopi. Julia mendapati mejanya penuh berkas yang harus ia kerjakan, tapi enggan di sentuhnya. Julia meraih ponselnya. “Selamat siang dr. Jill, apakah aku bisa membuat janji temu denganmu minggu ini?” pesan yang dikirim Julia untuk dokternya. Julia merasa dirinya memerlukan dokter pribadinya untuk mengkonsultasikan diri. Bayangan masa lalu yang belakang ini sering menghantuinya. Bahkan bisa dikatakan lebih sering dari sebelumnya.  “Hello Julia, aku sedang berada di London sampai 2 minggu kedepan. Apakah kau ingin tetap menunggu atau memang sangat urgent?” balas sang dokter.  Julia menelan ludah, menghela nafas panjang yang menyesakkan dadanya. Pelupuk matanya terasa menebal usai menangis. “London? Entahlah, aku merasa kembali seperti dulu,” pesan Julia kali ini. “Kau masih meminum obatmu?” tanya sang dokter lagi. “Ya, aku tetap meminum obatku. Bahkan kini aku sudah pindah ke Los Angeles. Mengikuti saranmu untuk meninggalkan masa lalu.” “Sungguh disayangkan aku sedang di London, Sayang. Jika kau ingin segera kau bisa ke temanku. Aku akan memberikan nama dan alamatnya, aku juga akan memberitahukan keluhanmu.” Julia terdiam sesaat. Ia berjalan ke arah teropong yang terasa menarik bagi Julia. Ia mencoba untuk mengarahkan teropongnya ke semua arah. Siang yang cerah. Gedung-gedung di seberang apartemen, yang sejajar dengannya tampak tak ada yang menarik. Julia mencoba menurunkan arah bidikan teropongnya. Tampak sebuah truk box dari sebuah perusahaan jus melintasi jalanan. Tak lama berselang, dan betapa terkejutnya Julia saat mendapati sosok Rob bersama Casey, tetangga apartemen 2 pintu darinya. “Casey,” desis Julia. Mereka berdiri di depan sebuah supermarket tempat Julia bertemu dengan Dave terakhir kalinya sebelum pagi ini Dave ditemukan tewas dalam kamar mandi apartemennya. Tampak mereka berbicara, Casey memberikan sebuah bungkusan pada Rob, dan pupil mata Julia melebar begitu ia melihat mereka saling berciuman. Julia menutup mulutnya secara refleks. Menjauh dari teropongnya. “Ini… aku… “ Julia kembali mengintip melalui teropongnya. Keduanya sudah menghilang, menyisakan tanda tanya dalam benak Julia. Ia berjalan ke sofa, menghempaskan dirinya disana. Bayangan pertemuannya dengan Rob pagi ini di taman saat berolahraga berkelebat di kepala Julia. “Aku juga butuh olahraga, Julia sayang," jawab Rob dengan nada suara yang menjengkelkan. Julia tersenyum masam tanpa menoleh ke arah Rob yang berjalan di sisi kanannya. “Sejak kapan kau berolahraga. Penipuan,” seloroh Julia. Rob terkekeh, tanpa rasa tersinggung. Mereka berjalan beriringan. “Sejak aku mendapatkan s*x hebat dari pasangan hidupku, Julia,” sindir Rob dengan suara merendahkan. “Mungkinkah yang dimaksud Rob dengan pasangan hidup adalah…”   ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD