Pukul 8.00 pagi Julia sudah berada di meja kerjanya dengan setumpuk pekerjaan yang harus ia selesaikan. Banyak yang harus ia periksa dan tanda tangani. Puluhan naskah yang harus dibaca Julia. Dan kini sudah menunjukan pukul 11.00 siang. Sudah 3 cangkir kopi yang dihabiskan Julia. Ketiga cangkir tersebut masih berderet di atas sebuah meja yang tak jauh dari meja kerja Julia.
“Hi Julia,” sapa Lily yang hanya tampak kepalanya menjulur dari balik pintu.
“Hi Lily, masuklah,” pinta Julia.
Julia menyingkirkan dokumen di tangannya. Lily mulai memasuki ruangan Julia dan duduk di kursi diseberang meja Julia.
“Bagaimana kabarmu? Aku sudah menyaksikan berita kematian penghuni apartemen tempatmu.”
Lily memulai pembicaraan. Julia menghela nafas, lalu menghembuskannya dengan lega.
“Ya, Dave. Sementara ini dugaan polisi adalah serangan jantung,” ujar Julia dengan ekspresi serius.
Keduanya bertatapan.
“Lantas, kau ikut di introgasi?” tanya Lily penasaran.
Julia menganggukan kepala, ia meraih cangkir kopinya dan menyeruput kopi yang tersisa.
“Kau mengenal si korban?”
Julia sempat terdiam sebelum menjawab pertanyaan Lily. “Ya, aku mengenalnya. Aku sempat berbicara dengannya sebelum kematiannya,” tukas Julia.
Lily memajukan tubuhnya ke arah Julia.
“Kalian membicarakan apa? Dia berencana untuk bunuh diri atau dia punya musuh?” selidik Lily penasaran dengan kening berkerut.
Julia terkekeh melihat sikap Lily yang bak detektif sungguhan. Lily menatap Julia dengan kening berkerut.
“Masih dengan motif serangan jantung, Lily sayang. Kau bukan wartawan kriminal, kan?” goda Julia sambil tersenyum.
Lily tersenyum masam. Menghempaskan punggungnya ke sandaran kursi.
“Kalian membicarakan apa?”
Julia terdiam sesaat, mengingat pertemuannya dengan Dave di sebuah supermarket di suatu siang. “Dia… Dave menduga aku memiliki hubungan dengan wanita bernama….” kalimat Julia menggantung. Julia kembali terdiam, mencoba untuk mengingat. Hingga Lily dengan setia menunggu kelanjutannya.
“Grace… Ya Grace kalau tidak salah.” Julia berhasil menyebut nama wanita yang ditanyakan Dave.
“Siapa dia?” selidik Lily dengan ekspresi serius.
Julia terdiam lagi. Menatap Lily dihadapannya.
“Penghuni apartemen yang aku tempati sekarang.” Julia menjelaskan berdasarkan apa yang diketahuinya.
“Lantas apa hubungannya?” tanya Lily tak mengerti, ia kembali memajukan tubuhnya ke hadapan Julia.
“Ya, wanita itu meninggal bunuh diri.”
“Apa?!!” pekik Lily dengan tubuh yang refleks duduk tegak.
Julia terkejut dengan reaksi Lily.
“Menyeramkan sekali.”
“Grace tinggal di apartemen yang aku tempati sekarang.”
“Apa?!!” sekali lagi Lily terkejut.
Julia menganggukan kepala.
“Dan kau tahu, menurut Dave, aku dan Grace memiliki wajah yang mirip.” sambung Julia.
Seketika Lily melongo dengan mulut terbuka membentuk huruf O. Matanya melebar. Julia hanya menatap Lily dengan senyuman. Ia tak menyangka reaksi Lily seterkejut itu.
“Ya Tuhan, dan sekarang orang yang menduga hubunganmu dan Grace juga ditemukan tak bernyawa di apartemen yang sama?”
Lily geleng-geleng kepala. Ia menghembuskan nafas dengan kasar.
“Sebaiknya kita ganti topik pembicaraan saja. Jantungku tak siap dengan cerita kematian. Bagaimana acara peluncuran buku milik Charlie?” tanya Lily mengubah topik pembicaraan.
Julia terkekeh. Lalu terdiam sesaat, membiarkan Lily beberapa menit. Sesungguhnya yang ditanyakan Lily akan berakhir dengan menyeramkan juga, bahkan akan membuat energinya terkuras.
“Kau tahu, jika Rob Thomson sekarang berada di Los Angeles juga?” tanya Julia dengan wajah datar.
Mata bulat lily yang indah melebar.
“Apa?!!” suara Lily penuh rasa tidak percaya.
Julia mengangguk dan keduanya masih bertatapan.
“Iya, aku bertemu dengannya di acara Charlie. Aku tak tahu siapa yang mengundangnya,” jawab Julia.
Julia meraih sebuah dokumen yang tergeletak di sisi kirinya. Mengeluarkannya dari dalam folder bening. “Lalu kalian berbicara?” tanya Lily penasaran dengan lirikan mata yang tajam ke arah Julia.
“Iya, dan kau tahu, Rob tak pernah lelah mengintimidasiku, Lily.”
“Sial!! b******n!! Harusnya aku ikut bersamamu. Akan kutendang miliknya hingga ia tak mampu lagi merasakan yang namanya klimaks,” omel Lily dengan tak tahan.
Julia menatap Lily dengan kening berkerut. Nafas Lily naik turun karena kesal.
“Dia datang bersama--“
“Selingkuhannya?” Lily menerka kelanjutan ucapan Julia
“Ya, wanita itu,” Julia mengamini.
“Benar-benar tak punya malu.”
Julia terdiam, dunia membelasakannya dan ingatannya kembali ke kejadian kemarin siang di teropongnya. Saat Rob bersama Casey dan mereka berciuman.
“Julia, Julia,” panggil Lily memecah lamunan Julia
Julia mengerjap kaget, tersadar dari lamunan.
“Kau baik-baik sajakan?” tanya Lily bernada khawatir.
Julia menganggukkan kepala. Tiba-tiba ponsel Julia berbunyi. Dengan sigap Julia meraihnya, muncul nomor yang tak dikenalnya. Julia menatap Lily dengan bingung.
“Siapa?” tanya Lily.
“Entahlah,” sahut Julia dengan kedua bahu diangkat.
“Ya sudah jawablah, siapa tahu penggemarmu,” ledek Lily
“Kau ini… “
Keduanya terkekeh, “Aku kembali ke ruangan ya, see you, beb,” pamit Lily.
Tinggallah Julia seorang diri di ruangan kerjanya. Digesernya layar ponsel di genggamannya.
“Hallo,” Julia memulai.
“Hi Julia,” sapa suara di ujung ponselnya.
Betapa terkejutnya Julia. Mata indah milik Julia melebar karena keterkejutannya.
“Max.” Terdengar ragu di suara Julia. “Ya ini aku, apa aku mengganggumu?” tanya Max langsung. Julia merasa tiba-tiba jantungnya di berikan aliran listrik yang mengejutkan. Suara seksi milik Max ditelinganya.
“Tidak, hanya saja--“
“Aku ingin mengajakmu makan siang,” sela Max cepat memotong kalimat Julia.
Wanita itu terperangah dengan ponsel yang digenggamnya. Julia beranjak dari kursinya, berjalan kearah jendela.
“Aku tidak menerima penolakan, Julia,” Max menambahkan.
Julia menelan ludah, menghela nafas panjang yang kemudian ia hembuskan perlahan. Jantungnya masih berdetak hebat.
“Bagaimana? 15 menit lagi aku menunggumu di lobby gedung.”
“Aku… Baiklah. Aku akan bersiap sekarang,” kata Julia tanpa perlawanan.
Percakapan berakhir. Julia terperangah dengan dirinya sendiri. Ia terdiam beberapa saat. Mencoba menenangkan pikirannya. Max, ia akan makan siang dengan Max. Bayangan kejadian di apartemennya kemarin siang. Percumbuan panas mereka di dalam apartemen milik Julia.
Tak ada waktu berfikir bagi Julia. Ia beranjak dari kursinya dan meraih ponsel untuk dimasukan ke dalam tasnya. Julia meraih gagang telepon untuk menghubungi Lily di mejanya. Pada dering ke 2 Lily sudah menjawab.
“Iya Julia.”
“Lily, aku ada undangan makan siang di luar, kau bisa geser jadwalku ke sore?”
“Makan siang dengan siapa? Penggemarmu?” selidik Lily dengan posesif.
Julia terkekeh.
“Kau ini ya, semua kau ingin tahu. Nanti akan aku ceritakan,” ucap Julia.
“Baiklah, selamat makan siang.”
Julia langsung meletakkan kembali teleponnya dan bergegas meninggalkan ruangan. Sambil berjalan menuju lift ia mencoba merapikan tampilannya. Memasuki lift yang kosong, pantulan dirinya di pintu lift, dan Julia tampak sudah lebih baik. Julia memoles bibirnya dengan lipstik berwarna terang.
Sesampainya di lobby, tampak seorang pria mengenakan jas yang membalut tubuh kekarnya. Julia mengenali sosok Max meski dari belakang. Dan jantung Julia seketika berlari saat Max membalikkan tubuhnya menghadap Julia yang berjalan menghampiri.
Max dengan senyum manisnya, wajahnya yang tampan dan tatapan matanya yang intens menghujam Julia. Max tampak luar biasa siang ini. Sekujur tubuh Julia terasa dialiri ribuan volt listrik.
“Hi Max,” sapa Julia dengan suara yang terdengar canggung.
“Hi Julia, kau terlihat menawan,” balas Max dengan senyum yang tersungging di wajahnya. Julia merasa kupu-kupu di perutnya berterbangan.
“Dirimu juga terlihat tampan,” timpal Julia tak kalah.
Max tersenyum kian lebar. Julia melirik seorang wanita di balik meja resepsionis yang memperhatikan mereka, lebih tepatnya memandangi Max.
“Aku sudah memesan tempat di sebuah resto dekat sini,” Max berucap sambil mengulurkan telapak tangannya ke hadapan Julia.
Julia menatap telapak tangan besar di hadapannya. Mereka bertatapan sesaat, sebelum Julia meraih telapak tangan dari Max. Dengan erat Max menggenggam jemari Julia, bersilang dengan jemarinya. Melintasi pintu gedung dan sebuah mobil Mercedes-Benz AMG S 65 seharga $232,550 sudah ada di depan.
Julia terbelalak saat langkah Max mengarah pada mobil mewah itu. Max membukakan pintu untuk Julia.
“Silahkan, Ms. Ross,” ujar Max.
Julia tersenyum, meski dalam benaknya penuh tanya. Julia duduk di kursi penumpang dan Max sudah duduk dibalik kemudi.
“Kau siap?”
Julia menganggukan kepala. Mobil melaju keluar parkiran. Berjalan melintasi aspal jalan kota Los Angeles yang siang ini tampak cerah. Julia mengamati interior mobil di depannya. Mobil yang sangat mewah.
“Ada yang ingin kau tanyakan, Julia?” tanya Max seakan dapat membaca pikiran Julia.
Julia tergagap. Ia menatap Max dibalik kemudi.
“Ya, aku… aku hanya terkejut dengan--“
“Aku mendapatkan nomor ponselmu dari Margareth,” sela Max dengan lirikan kearah Julia, “dan aku tahu pekerjaanmu juga darinya,” lanjut Max seakan ingin menjelaskan keberadaannya yang tiba-tiba muncul.
Julia menganggukan kepala. Hal yang masuk akal jika Margareth yang memberikan informasi pada Max. Karena semua transaksi apartemen yang Julia lalui semua dengan Margareth.
“Boleh aku tahu kenapa kau tiba-tiba mengundangku makan siang?” tanya Julia tak ingin kalah. Max menatapnya sekilas sambil tersenyum.
“Aku sudah mengatakan padamu kemarin siang, kau lupa?” tanya Max balik.
Kening Julia berkerut. Ia tampak bingung. Max tersenyum miring menatap Julia lalu kembali menatap jalan di depannya.
“Jangan katakan yang kau ingat hanya saat mengusirku,” seloroh Max.
Seketika Julia melongo. Dirinya merasa malu seketika, membuang tatapannya keluar jendela mobil. Max hanya terkekeh dengan wajah Julia yang memerah bak tomat.
“Atau…yang kau ingat….” kalimat Max menggantung.
Julia mengerti arah pembicaraan Max. Siang panas mereka. Gairah yang menyelimuti Julia dan Max. Julia menelan ludah, batinnya tergelitik malu. Dewi cinta dalam dirinya sedang menertawakannya hingga terpingkal-pingkal.
“Aku--”
“Aku akan mengulanginya lagi, aku menyukaimu, Julia,” ucap Max memotong kalimat Julia dengan suara tegas.
Julia terperangah, diam seribu bahasa.
“Kau--“
“Ya, aku menyukaimu sejak pertama bertemu denganmu, sejak hari pertama dirimu memasuki apartemen,” sambung Max.
Julia terperanjat, mencoba mengingat. Hari pertama ia memasuki apartemen miliknya.
“Aku…aku tak ingat bertemu denganmu, selain Margareth,” ujar Julia mengungkapkan apa yang diingatnya.
Max terjebak dalam ucapannya, ia kelepasan bicara. Meski ia benar, sejak ia melihat Julia memasuki apartemennya, tapi tidak bertemu langsung, melainkan melalui kamera yang ada di semua tempat di apartemen Julia. Max terdiam, ia berfikir.
“Ya, aku melihatmu bersama Margareth, tapi aku tak menyapamu sampai kita bertemu di lift,” ujar Max dengan sedikit aroma kebohongan.
Julia terdiam, lalu mengangguk pelan.
“Kau pasti terpana padaku sampai tak menyapaku.” seloroh Julia jenaka.
Max terkekeh.
“Ya, kau benar,” timpal Max. “Kau begitu menggiurkan, Julia,” sambung Max dalam batinnya.
Keduanya tersenyum.
Tak butuh waktu lama untuk sampai di resto yang dituju Max. Mobil mereka memasuki parkiran. Dan dengan sigap petugas parkir menghampiri, membuka pintu untuk keduanya. Max memberikan kunci mobilnya pada petugas.
“Wow,” desis Julia.
Max meraih telapak tangan Julia, mereka masuk kedalam sambil bergandengan tangan. Sungguh tempat yang mewah. Tidak pernah terbayangkan makan siang di tempat seperti ini. Restoran Cecconi's. Restoran yang letaknya di Melrose Ave, West Hollywood.
Mulai dari teras, ruang makan berlantai marmer, atau ruang Butterfly yang semi-private room dengan d******i oranye terang nan mewah bisa digunakan untuk bersantap.
“Selamat datang, Mr. Dalton,” sapa seorang pria berpakaian rapi.
“Tempat yang biasa aku pesan,” ujar Max.
Pria itu mengangguk pelan, mengerti akan permintaan Max.
“Iya Tuan, kami sudah menyiapkan tempat yang Anda pesan. Silahkan.”
“Terima kasih, Marino,” timpal Max.
Marino Monferrato, GM & Sommelier dari restoran tersebut. Pria itu membawa Julia dan Max ke sebuah sisi restoran yang di set khusus. VIP room.
“Silahkan, Tuan.”
Max hanya mengangguk, menarik sebuah kursi untuk di duduki Julia terlebih dahulu.
“Pesanan Anda akan segera kami sajikan,” ujar Marino.
Pria itu berlalu dari hadapan Julia dan Max. Julia menatap sekeliling restoran. Interior yang sangat menarik.
“Julia.”
“Ya.”
Mereka bertatapan. Max meraih telapak tangan Julia, mengecup punggung telapak tangan Julia sambil terus menatap mata wanita dihadapannya.
“Max, aku… aku merasa tersanjung. Tapi--” kalimat Julia menggantung.
Ada rasa bingung dalam diri Julia. Ia tak mengerti kearah mana pertemuan ini.
“Julia, aku tak peduli siapa dirimu, aku menyukaimu, aku ingin bersama denganmu,” ucap Max dengan tatapan penuh makna, tatapan yang tertuju kepada Julia.
Julia duduk tegak. Ia merasa dunia berhenti berputar. Ia tak mengerti dengan semua ini.
“Max--”
“Aku akan kembali 2 hari lagi, dan aku akan menjelaskan siapa diriku dan aku harap kau bersedia menerimaku.”
“Apakah ini sebuah lamaran?” tanya Julia spontan.
“Ya, anggaplah begitu,” jawab Max langsung tanpa basa-basi.
Julia terdiam, ia mematung menatap Max yang terlihat melambaikan tangan memanggil seorang pelayan.
“Kenapa, Julia?” tanya Max.
“Aku--”
“Aku akan ke Boston 2 hari ini.”
“Boston?”
Max menganggukan kepala dengan keyakinan penuh. Julia seakan terjerembab dalam lubang yang menelannya hidup-hidup.
***