19. Sekretaris dan CEO

1033 Words
"Sekretaris Anda sudah menunggu di kantor, CEO," ungkap salah satu staf yang menyambut kedatangan Harpa. Ini hari pertama gadis itu masuk kerja. Dia sudah memakai pakaian kerja yang disiapkan pelayan dan dibuat oleh desainer yang dipercaya. Harpa berjalan dan memberi tahu semua staf untuk tidak mengikutinya. "Ada yang harus aku bicarakan dengan sekretarisku. Berikan kami ruang pribadi," tegas Harpa. "Baik, CEO," jawab para staf. Harpa naik melalui lift khusus untuknya. Lift itu berada di tengah lift lainnya dan hanya pimpinan tertentu yang boleh menggunakan agar lebih cepat turun dan naik lantai. Langkah Harpa semakin cepat. Begitu tiba di depan kantor, dia menarik napas panjang. Harpa tak langsung masuk. Dia masih bertahan di sana kemudian menggerak-gerakkan kakinya hingga terdengar suara di lantai. "Kenapa aku harus ketemu dia lagi, sih? Terus aku harus ngomong apa? Kenapa aku malah gemetaran gini?" omelnya dalam hati. Dia malah berputar-putar di depan pintu. Kembali Harpa mengambil napas panjang. Dia embuskan napas perlahan. "Benar juga, emang dia siapa sampai aku harus salah tingkah? Aku atasan di sini dan dia aku yang gaji!" batin Harpa. Gadis itu terkekeh. Dia memutar bola mata. Harpa rapikan pakaian dan rambutnya. Dia mengeluarkan kotak bedak dan becermin di sana. "Masih cantik," pujinya pada diri sendiri. Harpa menegakkan bahu. Gagang pintu dia buka perlahan dan masuk ke dalam. Benar saja, Adras sudah berdiri menghadap ke meja CEO. Pria itu berbalik mendengar suara pintu kemudian menunduk hormat. Harpa tak bicara apa pun. Wanita itu melewati Adras dan duduk di kursinya. "Duduklah! Ada yang ingin aku bicarakan!" titah Harpa. Dinaikkan sebelah kaki ke atas kaki lainnya. Adras mengangguk. Dia duduk di kursi yang menghadap ke arah Harpa. Kini mereka saling berhadapan setelah dua tahun lebih terpisah. Harpa sandarkan lengan ke armrest kursi. "Kamu sudah mulai bekerja hari ini, kan? Sudah tahu apa saja tugasmu?" tanya Harpa dengan cara bicara yang bijak. Dia ingin memberi kesan dewasa saat ini. "Tentu. Sekretaris sebelumnya sudah memberikan saya arahan serta daftar tupoksi." Adras menyimpan sebuah dokumen di atas meja. "Ini daftar jadwal Anda selama satu minggu ke depan yang telah saya susun," ungkap Adras. Alis Harpa mengerut. Wajahnya berubah kusut. "Memang kamu sudah membuat kesepakatan denganku tentang jam kerja?" tegur Harpa. "Semua yang ada di sana adalah tugas penting yang harus dikerjakan dengan segera. Bukankah tidak efektif kalau harus membahas jam kerja lebih dulu? Saya sudah berusaha menyusunnya agar waktu istirahat Anda tidak terganggu," jelas Adras. Harpa mengambil dokumen tersebut. Dia periksa isinya. "Tidak mengganggu waktu istirahat. Pegawai negeri saja kerja sampai jam empat sore. Lalu ini apa? Bahkan ada yang sampai jam sepuluh malam. Kamu bercanda?" omel Harpa. "Karena masa berkabung, banyak tugas yang harus diundur. Masalahnya tugas tersebut tidak bisa dinantikan lagi, Bu." Adras mencoba memberikan pengertian. "Bu?" tanya Harpa kaget mendengar panggilan Adras padanya. "Apa aku kelihatan seperti ibu-ibu buat kamu?" "Saya ingin menghargai Anda dengan panggilan yang lebih formal." Wajah Adras terlihat tenang saja menanggapi perilaku Harpa. Lain dengan lawan bicaranya. Harpa sampai terlihat seperti orang yang kehabisan napas. "Menghargai apanya? Itu namanya meledek! Astaga, kenapa laki-laki gak punya kepekaan hidup, sih?" "Lalu dengan apa saya harus memanggil Anda?" Adras mencoba mengajukan diskusi. Harpa terdiam. Dia juga bingung. Nyonya, rasanya kurang tepat karena mereka sekretaris dan CEO. Thyon biasa memanggil Chaldan dengan kata Bapak. Tentu memang tepat Adras memanggil Harpa dengan sebutan Ibu. Hanya saja karena mereka seumuran rasanya seperti penghinaan. "Panggil CEO saja," saran Harpa. Dia berdeham dan menyandarkan punggungnya ke kursi. "Dan lagi, apa ini? Kenapa memberikan buket bunga saja harus ada di sini? Bukannya hal seperti ini bisa ditunda?" Harpa bicara dengan suara agak keras. "Buket bunga itu diberikan untuk Tuan Perdana. Beliau merupakan salah satu investor besar perusahaan ini. Saya mendengar beliau tengah melakukan pengobatan ke Singapura. Sungguh tidak santun apabila perusahaan ini pura-pura tidak tahu karena meninggalnya Tuan Kariswana." Jemari Harpa mengetuk meja kerja. Cahaya matahari tak mampu menembus ruangan itu. Meja kerja Harpa terbuat dari kayu dan bercat hitam, senada dengan kursi dan juga perabotan di sana. Bahkan ruangan ini bernuansa hitam dan abu-abu. CEO sebelumnya selalu laki-laki dan Harpa CEO perempuan pertama. "Baiklah. Kamu pasti sudah melakukan perhitungan yang tepat. Hanya saja, aku tak mau tunangan kamu melakukan demo di balik pintu sana karena selama jadwal ini berlangsung, kamu akan pergi ke manapun denganku." Harpa menandatangani jadwal sebagai persetujuan. Lagipula dia sendiri juga malas kalau harus mengurus hal semacam itu. "Dia wanita yang bijak. Dia tahu mana urusan pekerjaan dan pribadi. Dan saya pikir tidak perlu ada yang dibahas tentang masalah itu. Kami berdua sudah cukup dewasa." Adras mengangkat tablet PC ke atas meja. Lain dengan Harpa yang sudah komat-kamit dalam hati. "Jelas-jelas tunangannya memelototi aku tajam banget seminggu lalu. Dia bilang cukup dewasa? Ngelantur, Pak?" "Ini yang harus diselesaikan sekarang juga. Beberapa agensi luar mulai melakukan penjualan saham pada label ternama. Di sana agensi paling kecil sekali pun mengalami peningkatan penjualan akibat terangkat promosi oleh agensi paling besar. Tuan Chaldan memilih tiga nama label besar ini yang menawarkan akuisisi. Pertama, Hipe label, CGR label dan Random," jelas Adras. Harpa melihat presentasi yang Adras buat. Di dalamnya sudah tertulis kelebihan dan kekurangan ketiga label yang Adras sebutkan sebelumnya. Harpa mengambil tablet PC tersebut, hanya Adras langsung tarik kembali. "Saya sudah emailkan pada Anda, CEO," tolak Adras. Harpa melihat ke atas meja. "Aku lihatnya di mana? Komputer ini?" tunjuk Harpa pada perangkat komputer di atas meja. "Tablet PC Anda sudah tersedia di laci sebelah kanan," jawab Adras. Harpa mengangguk-angguk. Dia membuka laci dan mengambil benda yang dia butuhkan. "Apa ini?" tanya Harpa melihat benda unik di sana. Dia ambil dan memperhatikan dengan saksama. "Itu handy talky, biasa digunakan oleh tim penjaga. Anda harus memilikinya demi keamanan karena bisa saja ponsel Anda dibajak dan tak bisa menghubungi siapa pun padahal dalam bahaya," jelas Adras. Harpa simpan benda itu di dalam laci kembali. "Memangnya serumit itu, ya? Aku pikir cuman di drama Korea," komentar Harpa. "Saya harap Anda bisa mengerti tentang posisi Anda sekarang. Sebagai CEO, banyak orang yang ingin mencelakai Anda. Apalagi harta keluarga Kariswana hanya Anda yang memiliki. Kecuali apabila Anda memberikan pewaris lainnya." Adras melakukan tugasnya untuk mendidik Harpa dengan baik. Namun, sang pimpinan lain lagi pikirannya. "Kamu cerewet banget kayak mbak yang suka kasih pengumuman diskon di toko-toko," sindir Harpa.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD