18. Wasiat

1030 Words
Seluruh staf tertinggi dan pimpinan Callir Entertainment berkumpul di ballroom perusahaan. Hari ini surat wasiat dari Chaldan Kariswana akan dibacakan di depan mereka. Surat wasiat yang menentukan pengganti pria itu selanjutnya. Tentu hanya notaris dan pengacara pribadi Chaldan yang tahu isinya. Harpa sudah berganti pakaian. Dia kenakan blazer hitam, kemeja putih dan rok katun senanda dengan blazer. Rambutnya terurai sedang setengah ke atas lagi diikat ke belakang. Bros kupu-kupu tersemat di bagian depan blazer. Narvi mengikuti dari belakang. Sahabat Harpa itu terkenal sangat cerdas, dia kuliah di bidang IT dan bukan sekali atau dua kali mencurangi web penjualan tiket idol untuk bisa menonton dan mendapatkan album paling awal. Begitu turun dari mobil, semua karyawan menyambut kedatangan Harpa. Mereka menunduk meski Harpa tahu di balik semua itu mereka mencemoohnya karena baru lulus kuliah. Di London pun, Harpa tidak kuliah di kampus ternama. Apalagi di depan tetua perusahaan, Harpa hanya anak kecil yang inginnya disuapi. "Tatap ke depan, jangan menunduk! Ingat, mereka akan semakin berani bicara kalau kamu rendah diri," bisik Narvi. Harpa mengangguk. Mereka naik lift ke lantai tiga. Begitu pintu lift terbuka, banyak penjaga yang sudah menunggu untuk menunjukkan jalan. Pengamanan berlapis mulai dilakukan. Akhirnya Harpa mengerti apa yang Thyon maksud, posisi di mana Harpa akan dilindungi secara finansial dan fisik. Hari ini bukan hanya Harpa saja, Okna dan Adras pun ikut hadir. Mereka sama-sama mulai magang di perusahaan ini dengan bantuan ayah mereka. Orang tua Okna merupakan salah satu manager. Hanya saja keduanya tak kebagian tempat duduk dan hanya berdiri layaknya karyawan biasa lainnya. Harpa langsung ditunjukkan menuju kursi paling depan bersama jajaran direksi dan komisaris. Dia menyalami satu per satu petinggi termasuk investor dan tetua perusahaan. "Tuan Chaldan benar-benar beruntung. Bahkan putrinya secantik Nyonya Adelina," puji direktur keungan perusahaan. "Terima kasih banyak, Om," ucap Harpa sambil sedikit menunduk. Dia pun turut memperkenalkan Narvi sebagai staf kepercayaan. Narvi duduk dengan asisten Chaldan lainnya. Dia menatap Harpa dengan rasa kasihan. Gadis itu harus memaksakan diri terlihat kuat padahal rasa sedihnya saja masih membayangi. Tak lama pengacara pribadi Chaldan naik ke atas podium. Dia sudah siap dengan sebuah map kulit hitam berisi surat wasiat. Semua orang berdiri untuk menghormati mendiang Chaldan. Foto pimpinan tertinggi perusahaan itu dipajang di depan panggung dengan bunga lily di sekelilingnya. "Saya yang bertanda tangan di bawah ini, Chaldan Kariswana. Dengan surat ini, saya nyatakan memberikan hak sepenuhnya atas jabatan, saham dan harta yang saya miliki kepada putri semata wayang saya, Harpa Kayana Kariswana," ucap pengacara pribadi itu. Isinya sudah sesuai dengan apa yang orang lain terka. "Selanjutnya saya menetapkan pensiun dini kepada sekretaris pribadi saya, Thyon Adiswara beserta tunjangan pensiun yang sudah saya tetapkan dan kepadanya diberikan gaji pensiun hingga meninggal dunia sebagai wujud rasa terima kasih karena telah menjadi sahabat serta rekan kerja saya selama ini." Thyon tak mampu lagi menahan rasa sedih. Banyak hal yang dia lalui bersama atasannya itu. Chaldan atasan yang baik dan tak pernah perhitungan. Bahkan dulu saat Adras sakit waktu bayi, Chaldan yang membayar biaya rumah sakitnya. Sungguh sayang, pria yang baik justru lebih cepat kembali pada Sang Pencipta. "Untuk mendukung kinerja putri saya di perusahaan, saya izinkan dia memilih staf sesuai dengan kebutuhannya. Hanya untuk sekretaris pribadi, saya menunjuk Adrasha Panca Adiswara putra Thyon Adiswara untuk mendampingi Harpa dan memberikan bimbingan dalam kepemimpinannya." Thyon mengangkat wajah. Mata Okna terbuka lebar. Adras yang paling bingung. Selama ini Chalda begitu keras melarang dia dekat dengan Harpa, tapi kini pria itu malah meminta Adras mendampingi Harpa di perusahaan. "Apa-apaan ini?" tanya Harpa kaget. "Saya menekankan bagi Harpa dan Adrasha untuk tidak menolak wasiat ini. Apabila keduanya menolak, maka konsekuensi akan diberikan sesuai dengan yang tertera pada lampiran," lanjut pengacara. Narvi menatap Harpa sambil sesekali mengedip. "Gak bisa! Kenapa gitu? Kamu gak boleh dekat sama dia," omel Okna. Adras tak bergeming. Matanya tertuju pada Thyon. Papa Adras itu mengusap wajah, dia ganar mendengar keputusan itu. Di satu sisi ingin menolak, di sisi lain dia merasa berhutang budi. Thyon tak masalah kalau Adras mengabdi bagi keluarga Kariswana. Hanya saja dia tahu masa lalu Adras dan Harpa. Mustahil kalau kedua anak itu tidak menyimpan rasa ke depannya. Thyon tahu potensi Adras dan sifatnya yang gigih. Dia lebih siap untuk menghadapi kemelut perusahaan. Hanya saja Harpa lain lagi. Thyon tahu Harpa bukan gadis yang mudah diatur. Setelah acara selesai, banyak orang yang memberikan ucapan selamat pada Harpa. Minggu depan dia mulai menjalankan tugas. Sedang Adras masih berdiri menunggu Thyon menghampiri. Untung saja Papanya itu cepat tanggap. Dia mendatangi Adras lebih dulu. "Bagaimana ini? Yang benar saja, bagaimana bisa aku melewati semua itu? Ini terlalu mendadak," protes Adras. Thyon memasukkan tangan ke dalam saku jasnya. "Lakukan tugasmu dengan baik. Papa akan menjelaskan tugasmu di rumah. Selama seminggu ini pastikan kamu bisa melakukan semua pekerjaan yang biasa aku lakukan," tegas Thyon. "Tapi, Pa. Aku punya cita-cita sendiri. Tujuanku ke perusahaan ini untuk belajar membangun bisnis sendiri," tolak Adras. "Dengar, kita punya hutang budi pada keluarga ini. Kita harus sadar diri. Banyak orang yang berharap ada di posisiku. Dan Tuan Chaldan menunjukmu secara langsung." Thyon menepuk bahu Adras. "Tapi, Om. Adras itu tunanganku. Om sendiri tahu Harpa itu siapa," Okna ikut bicara. "Nona Harpa, panggil dia dengan seharusnya. Jangan lupa, dia atasan kalian di sini. Satu lagi, jangan bawa masalah perasaan dalam pekerjaan. Ingat posisi orang tuamu di sini Okna. Kalau kamu masih bersikap tidak sopan padanya, posisi mereka akan ikut dalam masalah," nasihat Thyon. Pria itu langsung meninggalkan ballroom. Harpa masih manyun dan Narvi mengusap punggung gadis itu. "Ini sama sekali gak lucu! Menggantikan posisi Papaku saja sudah berat. Dan bagaimana bisa dia ingin aku bekerja dengan Adrasha? Lihat wajahnya saja aku malas, apalagi harus bertemu dengannya setiap waktu?" omel Harpa. "Sabar. Aku yakin ada alasan kenapa Papa kamu memilih Adras," balas Narvi. "Alasan? Tentu saja untuk menambah beban hidupku. Papa punya dendam pribadi apa denganku? Astaga! Rasanya aku ingin kabur saja ke ujung dunia." Harpa duduk di lantai seperti bayi yang direbut mainannya. Gera, sepupu Harpa menatap tajam ke arah saudaranya itu. "Bocah itu, bagaimana bisa dia memimpin perusahaan? Aku yang banyak berkorban untuk Callir bahkan tidak dia berikan uang sepeser pun. Lihat saja nanti, aku akan berikan perhitungan bagi putrimu, Chaldan," batin Gera. Tatapannya begitu licik.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD