17. Yakinkan aku

1043 Words
Tidak ada yang bisa menggantikan keberadaan orang tua meski harta yang berlimpah sekalipun. Kabar kematian Chaldan tersebar ke seantero negeri. Banyak orang membicarakan tentang warisan yang akan Harpa terima sebagai anak tunggal. Meski begitu, Harpa sama sekali tak peduli. Dia masih duduk memakai baju toga dengan rambut berantakan menghadap ke balkon kamar. "Nona, mandi dan makan dulu," ajak pelayannya. Harpa tak menjawab. Dia tetap diam seakan nyawanya pun ikut hilang. "Non, kalau gitu terus bisa sakit. Kasihan Tuan lihat dari sana. Pasti Tuan khawatir," saran pelayannya. "Biarin saja, kalau dia khawatir jadi balik lagi," jawab Praha lirih mengundang rasa pedih hingga air matanya kembali mengalir. Tatapannya kosong. Dalam benak Harpa banyak bertanya. Kenapa harus dia yang mengalami hal seperti ini? Dengan siapa dia harus melanjutkan hidup? Apa ikut mati saja? Harpa ingin mendapatkan satu saja alasan untuk hidup, tak juga dia temukan. "Bi, Tuan Thyon datang. Katanya ingin bertemu dengan Nona," ucap pelayan lainnya. Pelayan pertama mengangguk. Dia langsung masuk dan mendekati Harpa. "Non, ada baiknya turun dan temui Tuan Thyon dulu. Mungkin ada sesuatu yang Tuan Chaldan sempat sampaikan pada beliau." Harpa bangkit sambil berpegangan pada tempat tidur. Dia memegang lutut saking rasa sakit hati menjalar hingga ke tubuh. Perlahan Harpa berjalan turun. "Dia di mana?" tanya Harpa lemas. "Ada di ruang tamu, Non," jawab pelayan. Kaki Harpa meneruskan langkah. Dia menuruni tangga hingga ke ruang tengah dan berbelok ke ruangan di samping kanan. Di sana Thyon sudah menunggu sambil duduk memegang sebuah kertas. "Ada apa, Om?" tanya Harpa. Dia duduk berhadapan dengan pria itu. Thyon berdiri sejenak dan memberi hormat, barulah duduk kembali. "Sebelum Tuan Chaldan meninggal, beliau menitipkan ini untuk Nona." Thyon memberikan apa yang ada di tangannya. Harpa terima benda itu. Dia lekas membukanya. Itu surat yang berisi keingin Chaldan agar Harpa mau melanjutkan perjuangannya membesarkan perusahaan, termasuk agar gadis itu selalu ceria seperti sedia kala. Harpa menangis kembali membaca surat itu. Tulisan tangan Papanya yang khas dan rapi hingga sampai kuliah, Harpa sering meminta agar Papanya menuliskan nama Harpa di buku catatan. "Mungkin Anda berpikir Papa Anda terlalu mementingkan perusahaan selama ini. Namun, itu demi Anda, Nona. Cara terbaik untuk melindungi diri dari orang yang ingin membahayakan Anda adalah dengan berada di posisi tertinggi. Posisi yang memungkinkan banyak orang akan berdiri di depan dan belakang Anda dengan setia. Sejak kecil sudah banyak orang yang berusaha mencelakai Anda, termasuk Nyonya Kariswana. Karena itu beliau berusaha mempertahankan posisinya agar mendapatkan banyak dukungan, baik materi dan fisik," jelas Thyon. "Aku hanya anak kemarin sore. Anda tahu sendiri kalau aku ini tidak berguna dan manja. Aku sering membuat ulah dan bodoh," timpal Harpa. Thyon menarik napas panjang. "Kenyataannya kini nasib Callir Entertainment, Anda yang menentukan. Visi dan misi serta masa depan perusahaan itu berada di pundak Anda. Sekali Anda menunduk maka perusahan akan jatuh. Jujur, sebagai manusia biasa, aku pun ragu memberi tanggung jawab pada Anda. Hanya saja aku kenal Tuan Chaldan. Beliau sangat tepat dalam perhitungan. Anda dipilih olehnya bukan sekadar karena Anda putrinya, dia tahu Anda mampu berada posisi itu," tegas Thyon. Pria itu berdiri dan kembali menunduk. "Lusa surat wasiat akan dibacakan di depan para petinggi Callir Entertainment. Mohon Nona hadir dan mendengarkan apa yang sudah diputuskan Tuan Chaldan semasa hidup. Aku tahu ini sangat berat, Anda pasti sangat terguncang. Hanya saja Anda ditakdirkan menjadi putri tunggal keluarga kaya oleh Tuhan, pasti bukan tanpa sebab." Thyon pamit pergi meninggalkan Harpa yang duduk dengan penuh kebingungan. "Jangankan memikirkan perusahaan dengan ribuan karyawan. Memikirkan nasibku saja, aku bingung. Kenapa Papa bercanda sejahat ini? Paling tidak biarkan aku merasakan bekerja dulu, ajarkan aku jadi pemimpin, bukannya meninggalkan diriku begitu saja. Sama saja Papa menyuruh berlari pada bayi yang baru lahir!" isak Harpa. Malam harinya Narvi datang. Dia tak hadir dalam upacara pemakaman karena malu dengan keadaan ekonominya. Dia lebih suka hanya bertemu dengan Harpa. Sampai di kamar gadis itu, Narvi lekas berlari dan memeluk Harpa dengan erat. "Jangan nangis lama-lama, ya? Kamu baru pulang, harusnya liburan keliling Bandung dan temu kangen sama teman. Lihat, kamu kurus banget!" ucap Narvi sambil menangis. Harpa mengangguk menatap temannya. Dia akhirnya punya teman berbagi kesedihan dan bahagia ketika sahabatnya datang. "Papaku, Nar. Dia pergi selamanya. Aku bahkan gak sempat ketemu dia. Harusnya aku gak usah ikut wisuda, ya? Mungkin aku sempat rawat dia. Kenapa aku gak pernah berbakti sama Papaku, Nar? Aku hanya bisa marah-marah sama dia. Padahal dia sayang banget sama aku," keluh Harpa. Kalaupun saat itu Narvi tak datang, kamar Harpa akan selalu gelap. Gadis itu menolak siapapun menyalakan lampu kamar. Hanya Narvi saja yang bisa sedikit menghiburnya. "Harpa, kamu bisa, yuk! Ingat awal kuliah di London kamu kirim aku email isinya keluhan. Kamu bilang mau kabur saja dari kampus karena pusing dengan tugas. Ingat perjuangan kamu selesaikan skripsi yang terus ditolak sama dosen pembimbing? Kamu tuntaskan semua masalah itu sendirian. Kamu ini hebat! Sekarang pun pasti sama," seru Narvi. Harpa menggelengkan kepala. Dia tenggelamkan diri dalam pelukan Narvi. "Dunia ini terlalu jahat sama aku, Nar. Aku sudah gak punya ibu, sekarang gak punya ayah." "Kamu punya aku. Kalau kamu gak sanggup, aku akan bantu kamu. Aku akan dorong kamu untuk maju. Ingat itu!" Narvi pegang tangan Harpa. "Kalau aku masih gak bisa?" Mata Harpa memerah. Keringat dingin mengucur dari sudut kening. "Jangan bilang sekarang, coba dulu. Kamu harus tegar. Apa kamu tega menghancurkan impian Papa kamu? Aku tahu ini sakit banget. Tapi kamu bukan anak kecil lagi. Umur kamu sekarang dua puluh empat tahun. Di mana Harpaku yang nekatnya luar biasa. Kalau kamu bisa melompati pagar pengaman untuk meminta tanda tangan Dios, kamu pasti bisa melompati banyak posisi untuk jadi CEO." Harpa membasahi bibirnya. Dia menunduk sambil memainkan jemari ke lantai. "Terus kalau aku diledek gimana?" Narvi terkekeh. "Hei! Kamu sudah jadi bahan olokan sejak SMA. Kamu dikatai manja, lulus karena uang, anak orang kaya, tapi lusuh gak suka dandan. Sampai terakhir kamu dikatai karena pacar kamu direbut musuh bebuyutan. Apa kamu tumbang? Gak, Harpa! Kamu lawan mereka semua dan masih berdiri tegak." Narvi menepuk bahu sahabatnya. "Ini lain, yang kerja di sana Om-om dan Tante-tante," protes Harpa. "Kamu lebih pintar mengomel daripada Tante-tante dan lebih pintar adu argumen dibandingkan Om-om." Harpa masih belum yakin dengan semua itu. Dia takut karena langsung harus menghadapi dunia sesungguhnya tanpa ada seorang ayah yang memegang tangannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD