"Kamu itu kebiasaan banget!" Narvi sudah berkacak pinggang di depan Harpa. Sengaja dia pura-pura terbaring lemas dan meminta perawat memasang infus bohongan. Semua dilakukan agar tidak terkena omelan kedua sahabatnya.
Harpa mengusap keringat di kening. "Aku sudah berhati-hati. Itu semua kecelakaan. Kita tidak bisa memprediksinya, kan? Namanya juga permainan takdir," alasan Harpa seperti biasanya. Dia memang bukan manusia yang mudah menerima nasihat orang.
Ini hari terakhir dia dirawat di sini. Adras tak hadir karena rumitnya rapat direksi. Harpa hanya bergabung melalui video call. Itu saja sudah membuat otaknya terasa panas. Mereka semua membahas banyak hal yang tidak Harpa mengerti. Tentang teknik marketing, dunia hiburan dan barang seputar itu masih Harpa hafal di luar kepala. Namun, jaringan bisnis, aturan pemerintah dan kerumitan lainnya tidak.
"Harpa, kamu harus pastikan selalu hadir di kantor. Kemarin saja kita kecolongan. Kamu tahu ada seorang pegawai yang dipecat karena tidak masuk kerja selama seminggu? Tak lama tugasnya digantikan Okna. Aku sudah meminta orang mengikutinya. Dia diberi tekanan hingga terpaksa tidak masuk kerja. Sehingga untuk mendapatkan informasi darinya, aku tempatkan dia di perusahaan lain," jelas Isla.
"Apa alasan Okna menggantikan posisi karyawan itu?" tanya Harpa mulai bersikap serius.
"Aku membaca email dari Fatur pada Gera, dia minta Okna dijadikan pegawai tetap," ungkap Narvi.
Harpa tertawa. "Meski aku CEO hasil nepotisme, kesal juga melihat orang mendapatkan pekerjaan jalur orang dalam. Apalagi di perusahaanku sendiri. Ini sungguh tidak adil."
"Apa yang akan kamu lakukan?" tanya Isla. Gadis itu menggeser kursi ke samping Harpa.
Sedang sang CEO menanggapinya secara santai. "Aku akan tanyakan dulu pada tunangannya. Takutnya pria itu merasa kecewa dengan perbuatanku." Harpa mengibaskan rambutnya ke belakang bahu.
Harpa berencana untuk mempelajari banyak bidang dalam perusahaannya. Untuk itu dia menggunakan link dari lulusan universitas yang sama dengannya. Harpa pun meminta mereka membantu menuntaskan masalah. "Isla, dokumen yang aku kirim sudah dipelajari?" tanya Harpa kembali membuka topik baru.
"Tentu saja. Aku pikir ini terlalu berisiko tinggi. Hanya saja tergantung mana yang akan kamu ambil, kesalahan orang atau keberhasilan kamu," jawab Isla dengan penuh penjelasan.
"Mana yang paling besar risikonya?" Harpa menyipitkan mata.
Isla menunduk dan mengatupkan bibir. Dia mengingat sejauh apa perhitungan yang dia lakukan. "Kalau proyek itu gagal, perusahaan bisa saja harus menjual beberapa aset untuk menutup kerugian, saham anjlok dan pemecatan karyawan. Menurutku lebih baik jangan gunakan ini untuk membuktikan kegagalan Gera," saran Isla.
"Sekarang perusahaan tengah kena gempuran agensi lain. Generasi ke dua mulai bermunculan dan mengalami kesuksesan. Hanya agensi kita yang masih berpegangan pada Diamond," tambah Narvi.
Harpa memijiti kening. "Aku harus bertahan dari serangan luar dan di satu sisi dikoyak dari dalam perusahaanku sendiri. Pantas kalau kesehatan Papa terganggu." Harpa mengambil botol air minum. "Bukain, dong," pintanya pada Isla.
Meski kesal, Isla mau saja melakukannya. Harpa meneguk air dari dalam botol itu. "Namun, kalau kita berusaha, penyakit bisa hilang juga," komentarnya.
"Tentang rumor wahana itu. Apa yang akan kamu lakukan? Para pemimpin resah tanpa alasan." Narvi membaca grup chat di divisinya karena memang bagian itu yang mengurus pemasaran wahana dan juga pengoperasiannya.
"Aku juga bingung. Mungkin besok aku akan membuat klarifikasi. Sekarang aku ingin istirahat dulu. Semua masalah ini membuat tubuhku yang renta ini menjadi kehilangan banyak sekali energi," alasan Harpa.
"Renta? Memang kamu ini nenek-nenek?" sindir Narvi.
"Mulut kamu itu sama pedasnya sama Adras! Lagian laki-laki itu apa tidak merasa bersalah tidak menyiapkan kebutuhaku selama di sini? Segalanya Bi Melia yang direpotkan!" omel Harpa.
"Kamu kangen sama dia?" tegur Isla.
"Aku? Yang benar saja!" Harpa memalingkan pandangan.
Siang harinya Adras datang membawa kabar kurang menyenangkan. Jelas Harpa murka dibuatnya. "Mereka melakukan itu tanpa persetujuanku? Mereka pikir aku ini apa? Boneka?" tegur Harpa.
"Bukannya Anda selama ini sengaja ingin memancing kesalahan Tuan Gera. Ini saatnya," timpal Adras.
"Lalu keuntungannya apa kalau setelah itu aku akan kerja lebih keras memperbaiki kesalahan dia!" Harpa sampai menggigit bantal.
"Justru itu poinnya. Cara agar mereka semua mendukung Anda. Ketika perusahaan terguncang, orang di dalamnya takut hancur. Mereka membutuhkan orang yang bisa membuat semuanya berjalan normal kembali," jelas Adras.
"Kamu ternyata pintar banget, ya! Oke, aku akan lakukan sesuai ide kamu. Hanya saja ada satu hal perlu aku bahas mumpung aku ingat. Duduk!" Harpa menunjuk kursi di samping ranjang pasiennya. Adras menurut saja.
"Kita terbuka saja sekarang. Fatur, Papanya Okna ada di pihak Gera. Dan kamu mungkin juga. Meski belakangan kamu seakan ada di pihakku."
Adras tak membalas apa pun. Dia biarkan Harpa mengungkapkan isi hatinya lebih dulu. "Andai kamu tidak menolongku dan aku jatuh, kamu akan lepas dari jeratan ini, kan? Kamu bebas mencari pekerjaan lain. Dan mungkin ke depannya, aku akan membuat posisi tunanganmu sulit di perusahaan." Harpa lebih suka perang secara terbuka dengan Adras.
"Pada akhirnya kesimpulan apa yang Anda ambil?" tanya Adras.
"Aku ingin kita main secara adil. Kalau ingin menghancurkanku, aku akan banyak menyembunyikan segala hal darimu. Artinya biarkan Narvi yang melakukan semua tugasmu dan kamu hanya memiliki nama dalam jabatan ini," tegas Harpa.
"Menurut Anda, apa pekerjaan saya?" tanya Adras.
"Sekretarisku?"
Adras mengangguk. "Benar. Dan apa tugas seorang sekretaris?"
"Jelas saja mendokumentasikan pekerjaan CEO, memastikan pekerjaan CEO berjalan dengan lancar," jawab Harpa lagi.
"Benar. Itu tugas saya. Tugas yang sudah saya ambil alih. Mungkin terasa seperti dipaksa, hanya ketika saya mengambil sumpah, saya tahu harus bisa mengembannya dengan baik. Hubungan saya dengan Tuan Fatur dan Okna hanya hubungan pribadi. Saya sering tekankan, tidak akan membawa masalah pribadi dalam bisnis. Karena itu, bukan urusan saya kalau Anda harus mengambil keputusan atas tunangan saya dalam urusan pekerjaan," jawab Adras.
"Dia akan diangkat menjadi pegawai tetap," ungkap Harpa.
"Dan Anda tidak setuju? Saya pun tidak. Apa yang terjadi pada proposal itu sudah mencerminkan dedikasinya. Maka, silakan Anda menolaknya." Adras membungkuk di depan CEOnya itu.
Harpa mengembuskan napas dengan lega. "Terima kasih banyak. Kalau begitu buatkan aku surat keberatan dan gunakan alasan penyalahgunaan wewenang," pinta Harpa.
Adras mengangguk. Hendak menuju laptopnya, Adras mendapat pesan dari kepala penjaga. Pria itu cukup kaget membacanya. "Nona, Tuan Gera datang menjenguk," ungkap Adras.
Harpa terkekeh. "Dia memang sangat baik hati sekali sampai baru menjenguk di saat aku mau pulang!" keluh Harpa.
"Apa saya izinkan beliau masuk?"
Harpa mengangguk. Adras lekas membukakan pintu. Gera sudah ada di depannya kini. "Silakan, Tuan." Adras memberikan Gera ruang. Dia pun menyiapkan kursi tamu di samping Harpa.
"Kamu bisa keluar? Aku ingin bicara dengan sepupuku secara pribadi," pinta Gera.
"Kamu datang ke sini di jam kerja. Jadi kamu bukan sepupuku dan biarkan dia di sini," tegas Harpa.
Gera tersenyum dengan mimik penuh kecurigaan. "Kelihatannya Anda sangat percaya dengan sekretaris ini?"
Harpa menatap Adras dan dibalas dengan anggukan. "Jelas, dia yang mengajari aku banyak hal," jawab Harpa sambil bersedekap.
Gera melihat perban di tangan sang sepupu. "Aku turut berduka atas apa yang Anda alami. Semoga Anda lekas sembuh," doanya.
"Doa darimu tak tahu kenapa terdengar tidak tulus." Harpa langsung menyerang.
Gera berdeham. "Saya keluarga Anda satu-satunya sekarang. Bagaimana mungkin saya tidak mengkhawatirkan Anda? Saya ingin melihat Anda kembali sehat dan memimpin perusahaan." Meski terlihat manis, hanya saja insting Harpa bisa merasakan dusta di balik ucapan itu.
"Jangan khawatir, Kak Gera. Saya akan selalu sehat dan memimpin Callir dengan baik hingga akhir hidup Anda. Yang jelas Anda akan meninggal dengan tenang," timpal Harpa sambil tersenyum licik.
"Saya amat senang melihat semangat Anda."
Harpa mengangguk. Dia sedikit memiringkan wajah. "Anda tidak mau mengucapkan kata Aamiin, Kak Gera?" Harpa memajukan wajah. Sedang Adras menaikkan sudut bibirnya ke atas melihat itu. Dia senang melihat bagaimana Harpa melakukan penekanan.
"Aamiin," jawab Gera dengan terpaksa.
"Saya ucapkan selamat karena proposal Anda diterima dewan direksi lainnya. Saya sungguh bangga dengan itu. Tidak disangka, bahkan Anda lebih dulu menciptakan proyek dibandingkan saya."
Gera menurunkan pandangan. Dia kelihatannya sudah sadar Harpa kini sedang melanyaknya. "Saya yakin Anda pasti tengah menyiapkan sesuatu yang luar biasa. Belakangan ada rumor bahwa Anda akan menghentikan wahana. Tentu karena ide lainnya, kan?"
"Darimana Anda tahu tentang rumor itu? Apa mungkin Anda bermimpi dan saya mengatakan itu dalam mimpi Anda?" tegur Harpa.
"Telinga pegawai belakangan ini sangat sensitif. Benar, Tuan Adras?" Gera menatap ke belakangnya. Adras mengangguk saja.
"Sial! Dia ingin langsung menunjukku. Artinya sekarang dia mencoba menghancurkan kepercayaan Harpa padaku," batin Adras.
Harpa tertawa dengan puas. "Anda dengar itu dari Adras? Ya ampun, harusnya Anda bisa bedakan bagaimana Adras kalau sedang bercanda. Jadi Anda percaya saja? Tolong Kak Gera, Anda ini sudah lama menjadi direktur. Jadi saring sedikit rumor yang masuk. Apalagi kalau itu berasal dari mulut tunangan sekretarisku." Harpa terlihat santai saja.
"Harpa ternyata sepeka itu," pikir Adras.
"Kalau begitu, saya memang salah karena sudah begitu mudah terprovokasi. Saya undur diri. Kelihatannya Anda harus banyak istirahat," ucap Gera.
Pria itu langsung meninggalkan ruangan. Adras menutup pintu. "Jadi kamu yang membuat bualan itu?" tegur Harpa.
"Saya hanya memancing Okna dan sama sekali tidak menyangka dia benar mengatakannya pada Tuan Gera," jelas Adras.
"Untuk apa kamu memancing tunangan kamu segala?"
"Saya tidak ingin dia terlibat terlalu dalam dengan semua ini. Untuk itu saya butuh alasan untuk menegurnya dan mungkin ini akan menjadi salah satu alasan itu," jelas Adras.
Sementara di mobil, Gera terlihat kesal. "Aku harus memilah informasi dari putrinya Fatur, kalau tidak aku bisa dikelabui lagi!" omel Gera.
"Saya sudah tegaskan pada Anda, Pak. Akan lebih baik untuk tidak mempercayai anak yang masih bau kencur," saran sekretarisnya.
"Tenang saja. Informasi dalam flashdisk itu tentu paling valid. Aku pastikan semua rencana Harpa yang tertulis di sana gagal," tegas Gera.