43. Perawatan

1506 Words
Harpa bangun pagi itu. Terlihat Adras tertidur di atas sofa dan hanya berselimut jas yang dia kenakan. Harpa terdiam. Lama berpisah, rupanya Adras tak banyak berubah. Dia masih selalu bersikap baik pada orang lain. Dan sikap itu yang membuat Harpa bertahan bertahun-tahun lamanya dengan Adras. Sampai saat ini pun, Harpa masih ingin menanyakan pertanyaan yang sama. Apa yang membuat Adras meninggalkannya dulu? Memang Okna terkenal cantik dan populer. Hanya saja, mereka terlalu sering bersama hingga biasa ada satu sama lainnya. Gadis itu memalingkan wajah. Dia melihat lengannya yang masih terbalut perban. "Apa kekhawatiran seorang sekretaris pada CEOnya seperti itu?" batin Harpa. Beberapa saat dia terdiam. Mengingat bagaimana Adras cemas melihat Harpa terluka. Bukan kecemasan biasa. Wajahnya sampai pucat dan ketakutan. Kemudian Harpa menarik napas panjang dan mencoba turun dari tempat tidur. Suara langkah Harpa rupanya membangunkan Adras saat itu juga. "Nona mau ke mana?" tanya pria itu sambil bangun dan duduk di sofa. Dia mengucek mata dan merapikan rambut. "Aku mau ke kamar mandi. Kamu jangan ikut! Serem!" Harpa sampai menunjukkan tinjunya. Adras menggeleng. "Mau saya siapkan sarapan? Biar saya telepon restoran agar mengantarnya ke sini," tawar Adras. "Gak perlu. Aku makan masakan rumah sakit saja supaya cepat sembuh. Aku takutnya luka ini berbekas. Padahal tanganku ini penuh dengan bakat dan keindahan." Harpa mulai mengeluarkan nuansa berlebihannya sehingga Adras sampai menaikkan sebelah alis. "Kalau begitu, saya pergi ke kantin saja untuk beli makanan," pamit Adras. "Aku nitip kerupuk!" seru Harpa. "Nanti Anda akan lama sembuh. Sebaiknya Anda makan makanan dari rumah sakit saja," saran Adras. "Kamu beneran ngeselin banget, ya!" Harpa saking kesalnya langsung masuk ke dalam kamar mandi. Sedang Adras hanya tersenyum geli. Pria itu mencari toilet di luar ruang perawatan dan mencuci muka di sana. Untung saja, Adras selalu membawa semprotan untuk menjaga kesegaran mulut. Begitu keluar dengan wajah kembali rapi, para suster di sana membicarakan ketampanan pria itu. "Sekretaris CEO yang dirawat di ruangan Mawar delapan? Beneran ganteng," komentar mereka. "Dia sudah nikah belum, ya? Aku pengen banget punya suami kayak dia," seru yang lain. "Dari badan kayaknya belum sih. Tapi aku liat di jarinya ada cincin." "Sedih banget kalau emang sudah nikah. Dia kayak sekretaris yang ada di komik. Kelewat ganteng. Apalagi kalau pakai kaca mata." Adras sama sekali tak menyadari kalau yang sedang dibicarakan sejak tadi adalah dirinya sendiri. Dia santai saja berjalan melewati lorong-lorong rumah sakit sambil mendengarkan lagu dari music player di ponsel. Rencananya siang nanti dia baru pulang ke rumah untuk mandi dan mengganti pakaian. Selama Harpa di sini, Adras akan menunggui gadis itu. Mengingatnya, Adras merasa senang. Tak lama dia menepuk kening. "Padahal itu salah. Harusnya aku tak perlu mengharapkan dia," batinnya. Selang beberapa detik, Adras menggeleng. "Sebelum janur kuning melengkung, kamu masih punya waktu dekat dengannya, walau hanya sebagai bawahan. Paling penting kamu bisa berarti untuknya meski dia tak peduli." Tiba di kantin, dibandingkan mencari makanan untuknya, Adras malah mencari kerupuk. Dia menengok ke berbagai sisi warung kantin. "Bu, ada kerupuk?" tanya Adras. "Mau kerupuk apa, Mas Ganteng? Ada kerupuk blek, jengkol, rorombeheun, melarat sampai dorokdok," jawab pemilik kantin. Adras menggaruk kepala. "Kerupuk yang putih ada lubang-lubangnya itu," jawab pria itu dengan polosnya. Kalau makan di lapak kaki lima, Adras hanya makan kerupuk yang tersedia tanpa bertanya namanya. "Ini?" Pemilik warung menarik plastik berisi banyak bulatan kerupuk. Adras mengangguk dengan pasti. "Ini namanya kerupuk blek, Mas. Harganya dua ribu. Mau pesan apa lagi?" jelas pemilik kantin. Adras melihat makanan yang tersedia. "Saya mau ayam bakar dan tempe oreknya, Bu. Terus sambal yang merah saja," jawab Adras. Dia makan di tempat itu. Namun, kerupuknya sama sekali tak disentuh. Sesekali Adras melihat jam tangan. Pukul delapan pagi makanan dari rumah sakit akan diantarkan. Dia bisa terlambat. Akhirnya Adras akhiri acara makan dan mencuci tangan. Dia melangkah tergesa-gesa membawa kerupuk di tangan hingga hampir jatuh tergelincir tak melihat tanda lantai basah. Tiba di kamar, dia berpapasan dengan petugas yang mengantarkan sarapan bagi pasien. "Syukurlah," batin Adras lagi. "Mas, biar saya yang berikan pada CEO," pinta Adras. Dia bawa nampan makanan ke dalam. Harpa terlihat duduk di sofa sambil bercermin ke layar ponsel menggunakan kamera depan. "Nona, makan dulu. Saya sudah belikan kerupuk untuk Anda." Adras simpan makanan itu di atas meja. Harpa menatap sekretarisnya itu. "Adras, bisa kamu sisir rambutku. Bentuknya kayak singa. Mana nanti ada orang yang katanya mau jenguk aku. Masa aku kelihatan jelek," alasan Harpa. Adras mengangguk. Dia melirik ke berbagai sisi. "Tak ada sisirnya, Nona." Pria itu terlihat bingung sambil menggaruk kepalanya. "Suruh body guard di luar belikan di supermarket terdekat saja, ya? Terus Pak Jaja minta bawakan pakaianku ke sini," titah Harpa. "Baik. Kalau begitu makanlah." Adras melakukan apa yang Harpa titahkan. Begitu selesai, dia mendapat telepon dari Thyos. Di sana Adras merasa tak enak hati. Dia takut antara dimarahi karena bersama Harpa semalaman atau membiarkan Harpa terluka. "Ada apa, Pa?" tanya Adras begitu mengangkat teleponnya. "CEO masuk rumah sakit? Apa yang terjadi? Semua orang membicarakan hal itu," tegur Thyon. "Beliau menyanyi terlalu bersemangat dan jatuh. Tangannya menekan gelas hingga pecah. Dokter bilang dalam satu minggu akan membaik dengan segera. Papa tak perlu terlalu khawatir," jelas Adras. "Kamu tidak bisa minta dia untuk menjaga diri? Adras, kamu tahu keselamatan CEO sangat berarti bagi perusahaan. Beliau satu-satunya keturunan langsung Kariswana yang masih hidup. Kalau sampai seperti ini lagi, kamu bisa ditegur seluruh pimpinan. Tugas kamu untuk memastikan dia dalam keadaan aman," nasihat Thyon. "Aku minta maaf, Pa. Aku sudah berusaha dengan keras untuk melakukannya." "Lain kali jangan ulangi!" tegas Thyon. Adras kembali ke dalam ruangan. Dia lega karena papanya tidak memintanya pulang. "Sudah?" tanya Harpa. "Tunggu sebentar." Adras berdiri memandangi Harpa yang tengah makan. Gadis itu terlihat sama sekali tak berselera. "Tadi kamu makan apa di kantin?" tanya Harpa. Begitu Adras menjawab, wajah Harpa terlihat kembali memerah. "Anda sebaiknya tidak makan sembarangan dulu, Nona," saran Adras. "Enak banget jadi kamu, ya? Saat CEOnya sakit, kamu malah makan yang enak-enak." "Saya harus banyak makan agar bisa sehat dan menjaga Anda serta membantu Anda melakukan banyak pekerjaan," alasan Adras. "Makan sembarangan bisa mengganggu kesehatanmu, Sekretaris!" balas Harpa. Setelah selesai makan. Adras bantu bereskan alat makan agar meja kembali bersih. Tak lama terdengar pintu diketuk. Penjaga Harpa membawa barang yang Adras minta untuk belikan. "Sisir?" tanya Harpa dengan wajah terlihat senang. Adras mengeluarkan sisir dari kemasannya. "Saya cuci dulu sebentar." Dia lekas ke kamar mandi untuk membasuh benda itu. Tak lama kembali dan mengeringkan dengan tissue. "Tolong duduk membelakangi saya," pinta Adras. Harpa lekas bergeser. Adras menyiapkan hatinya. Begitu tangannya menyentuh rambut Harpa, jantung berdebar dengan kencang. Dia sisir rambut panjang gadis itu. "Rambutku kusut banget, ya?" tanya Harpa. "Rambut Anda sangat lembut," jawab Adras. "Tahu kenapa? Aku selalu pakai minyak kemiri di hari Minggu. Bahkan saat di luar negeri, aku minta Bu Melia mengirimkan aku minyak kemiri. Ibuku bilang itu membuat rambutku rapi dan mudah diatur. Kalau mengaplikasikan itu ke rambut, aku selalu ingat ibuku," cerita Harpa. "Hidup ini memang berat. Jadi pastikan miliki banyak teman yang menyayangi Anda. Tetaplah bersikap baik, jangan berubah. Manusia tak akan pernah lupa dengan hutang budi. Hanya pilih-pilih teman. Tidak semua orang baik," nasihat Adras. "Kamu pernah ke London?" Adras menyisir rambut di samping kanan. Pria itu terdiam sejenak. Dia pernah pergi, tanpa sepengetahuan Papanya. Hanya untuk melihat Harpa dari kejauhan. Melihat senyum gadis itu yang hangat dan indah. "Belum pernah," dusta Adras. "Di sana kalau sore, orang-orang berkumpul di pinggir sungai Thames. Melihat burung-burung terbang dan merasakan angin yang sejuk. Kalau musim dingin, melihat air sungai yang berubah warna." "Kalau di Cambridge, kami biasa ke bar. Hanya untuk mengobrol dan berfoto. Kadang tanpa sadar pulang menjelang pagi. Dan saat kuliah, kami ketiduran di kelas. Dosen jarang marah. Hal menakutkannya, tahu-tahu nilai kami dikurangi. Setiap akhir semester, siapa yang nilainya paling tinggi harus mentraktir teman lainnya. Walau hanya makanan di dekat kampus. Jadi ada satu jalan di sana banyak penjual makanan yang lumayan murah. Kadang kami sering jahil, melempar teman yang sedang ulang tahun ke tumpukan daun kering," cerita Adras. "Laki-laki kalau main menyenangkan, ya? Kalau perempuan banyak takutnya. Aku bahkan tak berani keluar malam. Jadi aku dan teman-teman sering giliran saling menginap. Paling kami pergi ke ritel-ritel untuk membeli barang-barang di kamar." Tanpa terasa malam kembali. Harpa sudah mandi dan mengenakan piyama. Adras pun pulang malam ini dan digantikan oleh Bi Melia. "Tuan Adras sangat cekatan mengurus Anda, Nona. Dia memang terlihat sangat mandiri, ya?" komentar Bi Melia. Harpa mengangguk. "Beda denganku. Mungkin karena ini aku seperti beban untuknya," timpal Harpa. "Maksud Anda, Nona?" Bi Melia heran mendengar jawaban dari Harpa. Sedang gadis di depannya menggelengkan kepala sambil tersenyum. "Gak ada, kok. Aku hanya bercanda saja, Bi. Oh iya, jangan lupa lampunya biarkan hidup saja, ya?" Harpa mengambil ponsel. Dia menunggu pesan masuk ke benda itu. Meski mencoba menepis, Harpa berharap Adras yang mengirimnya pesan. Tak lama senyumnya terkembang. Selamat malam, Nona. Semoga Anda lekas sembuh. Maaf saya tidak bisa menemani. Besok biar saya yang gantikan untuk rapat dewan direksi. "Sekalinya kirim pesan masih bahas kerjaan! Dia memang ngeselin banget!" omel Harpa kemudian menutup tubuhnya dengan selimut dan pergi tidur.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD