"Sudah?" tanya Adras yang menyusul Harpa ke ruangan makan. Mereka berpapasan di pintu.
"Sekretarisku kelihatanya sudah rindu. Jadi kami hendak pergi lebih dulu. Terima kasih atas nasihatnya, Tuan," pamit Harpa. Mereka berjalan pergi. Harpa kini berada di teras menunggu Pak Jaja membawa mobil. "Jadwal selanjutnya apa?" tanya Harpa.
"Anda bisa istirahat sejenak, Nona. Ingin kembali ke kantor atau ada tempat lain yang ingin dikunjungi?" tawar Adras.
"Beneran? Sampai jam berapa?" Harpa terlihat sangat bersemangat. Dia memang paling senang dengan kata istirahat dan libur.
"Mungkin sampai pukul dua siang. Bagaimana?"
Harpa menyipitkan mata. "Gak bisa pukul tiga saja?" protes Harpa mencoba menawar hingga waktu paling lambat.
"Tergantung Anda menyelesaikan pekerjaan berapa lama nanti. Bisa saja Anda malah pulang lebih malam dari biasanya," jelas Adras.
"Aku mau mandi dulu tapi. Bau keringat. Gak percaya diri kalau sampai ketemu sama jodoh di jalan," keluhnya. Akhirnya mereka sempatkan pulang ke rumah Harpa.
Setelah mandi, gadis itu mengenakan kemeja putih dan rok hitam. Rambutnya terurai. "Anterin aku main ke tempat ini." Harpa memberikan pada Adras secarik kertas yang di dalamnya ada sebuah alamat. Adras menerima kertas itu dan memberikannya pada Pak Jaja. "Saya tahu jalannya. Kalau begitu kita langsung berangkat." Pak Jaja langsung menarik safety belt.
Sejak tadi Harpa kebingungan ke mana dia akan menghabiskan waktu yang singkat itu. Setelah lama merenung, akhirnya dia tahu solusi paling tepat. Kebetulan sudah lama Harpa tidak ke sana. Sayang, tidak ada Narvi ataupun Isla yang menemani. Harpa tak masalah, masih ada Adras di sana. "Pak Jaja sudah makan siang juga, kan?" tanya Harpa sambil menepuk bahu Pak Jaja.
"Sudah, Non. Tadi Pak Adras kirimkan makanan ke mobil. Kami makan bareng jadinya," jawab Pak Jaja.
Harpa melirik Adras. "Bukannya aku minta kamu makan di resto?" Harpa menaikkan alias.
"Pak Jaja sendirian di mobil. Penjaga lainnya ada di ruang makan, kan? Makanya aku temani," jelas Adras.
"Kamu baik banget," puji Harpa.
"Terima kasih banyak, Nona."
Akhirnya mereka tiba di tempat yang dimaksud. Adras melirik bangunan itu, hanya ada nama toko terpampang pada reklame di bagian atas pintu. "Ini tempat apa?" Adras penasaran.
"Ikut saja, Dras! Aku yang traktir," jawab Harpa kemudian nyengir karena menyembunyikan maksud.
Di dalam Harpa membayar biaya sewa. Adras ikuti terus Harpa masuk ke dalam lorong hingga tiba di depan pintu sebuah ruangan. "Kita akan senang-senang di sini!" Harpa membuka pintu dan menggerak-gerakkan kedua tangannya di udara. Jelas Adras kaget luar biasa. Dia tak percaya mantan pacarnya itu bisa punya ide segila ini.
"Karaoke?" tanya Adras semakin linglung.
"Iya, ada banyak lagu yang mau aku nyanyikan," jawab Harpa.
"Saya temani Pak Jaja di luar. Lagipula ini kelihatan aman, Nona." Hendak melarikan diri, Harpa langsung menahan Adras di sana. Ujungnya Adras terpaksa menerima kepedihan itu.
Lagu mulai berputar. Suara Harpa bukan tipe yang enak di dengar. Bisa dibilang, lebih baik saat Harpa diam saja. Adras hanya duduk lemas melihat CEOnya berdendag memegang tamborin dan menepuk-nepuk benda itu hingga terdengar suaranya. Ada di sana, Harpa seperti melepas beban. Dia menyanyikan lagu galau, ceria hingga dangdut dan india.
"Kamu nyanyi, Dras!" paksa Harpa sambil memberikan micnya.
"Tidak usah, Nona. Saya tidak bisa menyanyi," tolak Adras. Dia simpan micnya di atas meja.
"Gak usah merasa rendah diri begitu. Semua orang bisa menyanyi kata guruku," saran Harpa.
Adra menerutkan dahi. "Pantas saja Anda percaya diri sekali menyanyi dengan suara keras begitu."
"Pokoknya kamu nyanyi! Biar aku ajarin kamu caranya nyanyi yang benar."
Akhirnya Adras mengambil mic. Harpa mengajarkan Adras teknik pernapasan, padahal dirinya sendiri saat menyanyi banyak putusnya.
Begitu musik masuk ke dalam perkenalan, Adras mulai melantunkan lagu. Namun, malah Harpa yang kali ini bingung. Suara Adras bagus sekali hingga Harpa yang kini merasa rendah diri.
Begitu selesai menyanyi dan mengembalikan mic pada penyewa ruangan, Adras sampai memundurkan wajah akibat melihat wajah kesal Harpa. "Kamu merasa jadi idol melebihi Dios? Kenapa dulu kamu gak audisi jadi artis saja?" sindir Harpa.
"Maaf, bukannya Nona yang meminta saya menyanyi barusan?" Adras berusaha membela diri.
"Iya, tapi kamu gak usah sok nunjukin bakat terpendam kamu itu! Aku gak suka!" protes Harpa.
Kali ini Harpa kembali mengambil alih. Gadis itu menyanyi sambil naik ke atas meja. "Nona, itu bahaya. Lebih baik turun," saran Adras.
Harpa tak mengindahkan permohonan Adras. Dia malah manyun di hadapan wajah pria itu, kemudian menyanyi lagi. Beberapa kali Adras mencoba menurunkan. Harpa tetap saja joget di sana. Hingga tanpa sengaja gadis itu mundur. Mungkin karena keseimbangan yang hilang, Harpa hampir saja terjungkal. Dia jatuh ke depan dengan tangan yang menahan ke meja. Sayangnya, tangan itu menyenggol gelas lebih dulu dan mengakibatkan luka hasil pecahan kaca itu. Harpa berteriak dengan kencangnya.
Adras langsung meraih tubuh Harpa. Dia sobek bagian bawah kemejanya untuk menahan agar darah tak keluar banyak.
"Kenapa Anda mengulangi hal yang sama lagi? Anda tahu bagaimana saya khawatir? Saya tidak mau Anda terluka. Apalagi sampai begini. Ya Tuhan, lebih baik aku saja yang merasakannya.
Setelah yakin balutan luka Harpa tepat, Adras bawa Harpa lari ke luar dengan sekuat tenaga. Harpa malah terdiam menatap wajah Adras yang terlihat cemas. "Tolong jangan halangi jalan. Atasan saya terluka!" teriak Adras pada orang-orang yang berdiri di lorong atau sebatas melewat. Mereka langsung memberikan ruang.
Adras sampai meminta Pak Jaja agar lekas pergi ke rumah sakit terdekat. Mobil itu langsung dinyalakan mesinnya, dan melaju meninggalkan tempat.
Penjaga lainnya mengawal untuk membuka jalan setelah meminta bantuan pada polisi. Tiba di rumah sakit, Harpa dibawa ke UGD. Di sana lukanya dibersihkan.
"Dok, sakit banget!" teriak Harpa sambil memeluk pinggang Adras dengan tangan satunya lagi. Adras usap rambut CEOnya itu. "Aku gak mau lagi!" keluh Harpa.
"Jangan takut, ada aku di sini. Semua akan baik-baik saja," pinta Adras. Harpa mengangguk. Dia mendapat anastesi dan lukanya harus dijahit.
Adras menutup mata Harpa agar tak melihat prosesnya. Harpa diam saja. Dia mendadak menjadi anak yang penurut. "Saya sudah bilang untuk turun tadi. Sekarang tahu sendiri rasanya? Saya mohon jangan diulangi lagi. Ini sudah kedua kali Anda celaka," pinta Adras.
Akhirnya perawatan Harpa selesai. Dia dipindahkan ke ruang rawat inap. Syukur karena pertolongan pertama Adras, Harpa tak kehilangan banyak darah.
"Akhirnya aku malah dinas di rumah sakit," keluh Harpa.
"Banyak orang ingin kerja di rumah sakit, Nona," balas Adras.
"Karena mereka tenaga kesehatan. Aku mana mau sakit terus!"
Harpa melirik ke sisi kiri dan kanan. Banyak cerita seram yang sering dia dengarkan dari tempat itu. Dimulai dari cerita suster tak jalan, ranjang rumah sakit yang terlalu mandiri hingga jalan sendiri sampai tangan kesepian karena tubuhnya entah di mana.
"Adras, kamu bisa nyuruh Bu Melia ke sini? Aku takut banget kalau sendirian. Kamu tahu sendiri gimana seremnya rumah sakit?" pinta Harpa.
Pandangan Adras berpendar. "Apa Anda yakin? Ruangannya nyaman seperti di hotel." Adras sama sekali tidak menangkap hal seram.
"Aku juga gak berani tidur sendirian di hotel," celetuk Harpa.
Adras terkekeh. Dia mendekatkan wajah pada Harpa. "Selama di London, Anda tinggal sendirian, kan?" tanya pria itu. Harpa mengangguk. "Anda masih sehat sampai sekarang. Jadi tak perlu merasa seram dengan hantu dan temannya."
"Kamu gak perlu perjelas itu kali! Pokoknya aku minta Bu Melia temenin aku! Mau ambil HP, tanganku diperban, nih!"
"Tak, apa. Saya temani Anda sekalian menyelesaikan pekerjaan."
Harpa mendelik. "Orang sakit malah masih disuruh kerja. Kamu memang kejamnya gak nanggung. Padahal Dokter tadi bilang supaya aku istirahat yang cukup!" Harpa bersedekap dan memalingkan pandangan.
"Saya akan menyelesaikannya. Anda tinggal memberi komentar," jelas Adras.
Pria itu pulang sejenak ke kantor untuk mengambil dokumen dan laptop Harpa, kemudian kembali ke rumah sakit. Sore itu di samping Harpa dengan memanfaatkan kursi tunggu dan nakas di samping ranjang pasien, Adras membantu Harpa mengetik dan memeriksa berkas.
"Kenapa kerjaan cepat banget waktu kamu yang kerjain?" tanya Harpa sambil terkekeh.
"Segala sesuatu butuh pikiran yang jernih, Nona Kariswana," jawab Adras balas tersenyum. Pandangan keduanya saling beradu.
"Makasih banyak sudah mau menolongku. Aku kadang bingung kenapa Papaku harus milih kamu. Sekarang perlahan aku mulai mengerti, sama kamu aku gak segan. Lain kalau sama orang lain."
Adras sedikiti menunduk dan mengatur napas. Dia menyandarkan punggung ke kursi. "Saya juga senang bisa membantu Anda. Meski CEO saya ini menyebalkan dan keras kepala," timpal Adras.
Harpa mendengkus. "Aku nyesel sudah muji kamu tadi. Tahu begitu lebih baik aku musuhin kamu saja!"
Mereka terdiam cukup lama. Adras berpura-pura memainkan ponsel, sedang Harpa memilin ujung selimutnya. "Kamu sudah izin sama Okna mau temenin aku di sini?"
"Kenapa harus izin? Saya sudah dewasa. Lagipula kalau saya hilang, sudah jelas Anda pelakunya." Adras mengangkat wajah dan melihat pandangan tajam dari pimpinannya itu. "Saya hanya bercanda."
"Anda sudah memberi tahu Dios?" Kembali Adras bertanya.
Harpa tertegun dengan itu. Dia bingung bagaimana harus menjawab. "Pasti belum, kan? Saya tidak melihat Anda memegang ponsel sejak tadi. Mau saya bantu kirimkan pesan?"
Harpa nyengir kuda. Bagaimana kalau Dios malah terheran-heran? "Biar aku saja," tolak Harpa.
Adras membawakan ponsel. Harpa membuka dengan tangan kirinya. Dia mencari nomor Dios. Namun, yang dia buka room chat dengan Isla. Untung saja dia menyimpan kontak kedua teman tanpa menggunakan nama sebenarnya.
Harpa kirim pesan pada kontak itu. Adras tidak menaruh curiga karena Harpa langsung mengetik dengan sebelah tangan di depannya. "Sudah. Sekarang apa lagi?"
"Tidurlah, sudah malam," saran Adras. Dia benahi bantal di belakang tubuh Harpa. Gadis itu mengangguk. Dia berbaring sementara Adras membantu menyelimuti.