"Adras, kamu gak perlu membentak Om seperti itu, kan?" tanya Fatur yang kaget dengan reaksi calon menantunya.
Adras berkacak pinggang. Dia sempat alihkan pandangan ke langit-langit ruangan, kemudian kembali berpaling pada pelaku utama. "Om bekerja di sini bukan satu atau dua tahun. Harusnya Om tahu aturan dan tata kelola perusahaan ini. Sebagai pimpinan, Om harus memberikan contoh yang baik agar karyawan di sini bisa bekerja sesuai dengan kewajiban mereka. Apa harus menunggu sampai dewan komisaris memberikan dukungan untuk melakukan PHK?" tegur Adras. Dia sampai melempar proposal ke atas meja Fatur.
Okna yang tadinya hanya memperhatikan turut menghampiri. Wanita itu kini bersedekap di depan calon suaminya. "Kalau kamu gak bisa hormati Papaku, gimana bisa kamu jadi menantunya?" Okna menunjuk wajah Adras.
Fatur berusaha menahan Okna. "Ini kesalahan Papa, Okna. Pantas kalau Adras marah. Dia pasti kena tegur CEO." Dari reaksi Fatur, bisa Adras baca kalau lelaki itu tak ingin hubungan Okna dengan Adras hancur. Kenapa? Pertanyaan itu kini terpusat dalam pikiran Adras.
"Tapi Okna gak suka Papa dibentak kayak gitu." Okna memeluk Papanya.
"Kamu harus belajar lebih dewasa. Tak ada keluarga dalam pekerjaan." Adras hendak meninggalkan ruangan, hanya Okna menahan. "Ada apa?"
"Minta maaf dulu sama Papaku!" paksa Okna sambil memelototi Adras.
"Bukannya di sini harusnya Papamu yang minta maaf padaku? Karena keluarga kamu, keluargaku ikut dipertaruhkan nama baiknya. Ingat! Karena kelalaian ini, Papamu bisa dipecat dari pekerjaannya. Kamu mau tanggung jawab? Untung saja CEO hanya sebatas menegur, dia sedang mencari kesalahan para pegawai di sini. Hati-hati saja." Kali ini Adras benar-benar pergi.
Kaki kanan Okna menghentak lantai. "Dia memang lagi ngeselin, Pa! Semalam dia juga begitu sama aku. Aku kayaknya beneran bakal kehilangan Adras, Pa. Pasti anak manja itu sudah godain dia!" protes Okna.
"Karena itu, kamu jangan buat masalah besar dengan Adras. Sabar sedikit. Turuti kemauan dia. Ingat keluarga Adiswara memiliki posisi penting dalam keluarga Kariswana. Setidaknya kalaupun Tuan Gera kalah, Adras masih tetap mempertahankan kita untuk tetap di sini," bisik Fatur.
Okna masih belum menerima itu. "Kapan Tuan Gera bisa menyingkirkan gadis bodoh itu, sih? Aku semakin muak dengan Harpa! Semakin lama dia semakin menyebalkan! Apa aku harus buat perhitungan sendiri? Tapi bagaimana?" pikir Okna. Dia terpaksa kembali ke mejanya. Karyawan lain membicarakan kejadian itu sambil berbisik. Mereka sudah dapat menebak Okna yang menjadi sumber masalah.
"Kita rapat ulang untuk menyusun proposal!" titah Fatur di tengah ruangan yang disambut dengan keluhan staf di sana. Mereka sudah lelah menyusun dan akhirnya ide Okna yang terpakai. Sayangnya Harpa ternyata sangat jeli, hal yang tidak disadari oleh Okna.
Adras duduk di mejanya sambil tersenyum penuh kemenangan. "Ternyata mudah sekali melihat wajah orang sesungguhnya. Mungkin juga Om Fatur menyimpan kunci penting tentang Tuan Gera. Aku hanya tinggal mengorek semuanya."
Adras mengambil tablet PC. Dia harus menghubungi pimpinan penjaga Harpa dan memastikan lapangan golf yang akan Harpa gunakan hari ini dalam keadaan steril. "Semua baik, Pak. Penjaga dari CEO lain pun telah tiba," jawab pria itu.
"Pastikan tak ada satu debu pun yang bisa menyakiti CEO," tegas Adras. Dia juga mendapat laporan designer pakaian olahraga yang sudah tiba untuk mengantarkan pakaian gadis itu. Sebelum pukul sebelas, Adras keluar ruangan. Di saat yang sama Harpa sudah bergaya dengan pakaian golfnya.
"Jangan terpukau padaku begitu. Dios yang mempromosikan merk ini. Aku sama dia sudah serasi, kan?" Harpa tak pernah luntur urusan kepercayaan diri.
"Banyak orang yang mengenakan pakaian yang sama. Apa mereka semua juga serasi dengan idola Anda?" sindir Adras dengan ketajaman layaknya gigitan buaya darat.
"Dia calon suamiku! Catat itu di buku pribadimu, supaya kamu ada gunanya sedikit menjadi sekretarisnya Harpa!" Kini CEO itu berjalan melewati Adras.
"Alat golfnya sudah disiapkan?" tanya Adras.
"Ada di bagasi," jawab Harpa.
"Saya bertanya pada body guard, Nona." Adras membuat keadaan kembali buruk untuk atasannya.
Harpa yang tadi tengah berjalan dengan cepat berbalik. "Aku benci kamu!" tunjuk gadis itu. Dia rasanya ingin melepar Adras hingga ke Antartika. Sayangnya tubuh Adras terlalu berat. Setelah itu Harpa berjalan sambil mengentakkan kaki ke lantai.
Meski begitu, sikap Harpa terlihat imut dan lucu di mata Adras. Hingga tanpa sadar pria itu tersenyum. Nurdin, salah satu penjaga melihat ekspresi itu. Dia ikut tersenyum. "Anda kelihatannya sangat bahagia hari ini, Pak," tanya Nurdin.
"Iyakah, tak ada sesuatu yang spesial, kok. Aku hanya sedang santai saja dengan pekerjaan. Awalnya agak kaku karena tak terbiasa," jelas Adras.
"Anda selalu melakukan sesuatu dengan baik, Pak," puji pria tinggi dengan otot kekar dan pakaian serba hitam itu.
"Pak Nurdin, aku gak suka kalau dia dipuji. Itu artinya Pak Nurdin musuhan sama aku!" ancam Harpa meski wajahnya tak memandang ke arah mereka. Jelas Nurdin langsung menunduk takut. Sedang Adras menahan tawa.
Mobil itu membutuhkan waktu satu jam hingga tiba di lapangan golf yang dimaksud. Harpa turun sambil mengenakan kaca mata hitam. Dia masuk didampingi Adras. Begitu tiba di ruang tunggu VIP, Harpa tersenyum getir. "Dras, isinya kenapa bapak-bapak semua? Ke mana emak-emak sosialita?" tanya Harpa bingung.
"Bukannya seluruh ketua agensi dan CEO label Hipe lelaki? Hanya Anda satu-satunya wanita, Nona," jelas Adras.
Harpa menarik lengan Adras. "Jangan jauh dariku. Di sini aku merasa terdampar," pinta Harpa.
"Baik." Adras menunduk hormat.
Harpa duduk di sofa bersama CEO lainnya. "Biasanya Tuan Chaldan bersama kami di sini. Kini putrinya yang hadir. Aku ingin tahu bagaimana kemampuan putri keluarga Kariswana dalam permainan golf. Skor Tuan Chaldan selalu paling unggul," tanya CEO Hipe.
"Terima kasih, Tuan. Saya memang sering bermain golf dengan papa saya. Hanya untuk melawan pengalaman orang-orang luar biasa di sini, mana mungkin saya berani," timpal Harpa.
Setelah melakukan pemanasan. Para pimpinan itu ke lapangan. Ada beberapa caddie yang membantu mereka. Adras masih menjadi satu-satunya sekretaris yang mengikuti di sana karena Harpa yang meminta.
Permainan dimulai. Semakin lama, area hole semakin jauh. Para CEO itu kewalahan mengalahkan kemampuan Harpa. Di pinggir lapangan, Adras melihat dengan penuh kebanggaan. Bahkan dia hampir saja bertepuk tangan ketika Harpa memenangkan hampir di seluruh putaran. Kini Harpa memegang stick, dia bersiap melakukan fairwayshot. Satu pukulan dan bola jatuh tepat di atas green area. Harpa maju bersama dengan Caddie yang membantunya. Adras ikut mendekat.
"Tinggal satu approach shot dan hole in!" batin Harpa. Keringatnya sudah bercucuran di kening. Gadis itu penuh dengan konsentrasi. Dia ayunkan perlahan tongkat dan sesuai harapan, bola masuk. Harpa berseru hingga berjingkrak. Tanpa sadar dia memeluk Adras yang ada di dekatnya. "Aku menang lagi!" serunya.
"Selamat, Nona," puji Adras sambil terdiam menahan tangan agar tak balas memeluk. Akhirnya Harpa sadar sendiri. Gadis itu menjauhkan tubuhnya. "Maaf, itu tidak sengaja," ucap Adras.
Harpa menepuk lengan Adras. "Santai saja! Aku yang salah. Lagipula, orang bahagia sudah seharusnya berbagi dengan orang sekitar, kan?" Wajah Harpa terlihat biasa saat berkata begitu. Dia melewati Adras begitu saja dan menimbulkan rasa kecewa di hati sekretarisnya.
"Apa ini, Nona Kariswana? Anda bilang tidak percaya diri, nyatanya tak satu pun kesempatan Anda berikan pada kami," komentar salah satu ketua agensi.
"Maafkan saya, Tuan. Permainan ini membuat saya sengat bersemangat." Harpa memperlihatkan senyuman manisnya.
Kini para CEO makan siang bersama di restoran area golf itu. "Adras, kamu juga makan, ya? Aku sudah pesankan pada pelayan," pinta Harpa.
Adras mengangguk. Pelayan langsung mengajak Adras menuju meja lain di luar ruangan VIP. Pria itu sempat melirik ke arah Harpa yang tengah berbincang. Di sana Adras semakin sadar dia berada dalam jarak yang terlampau jauh dengan mantan pacarnya itu.
Harpa mengambil gelas jus dan meminumnya. "Tuan Gera sepertinya memang menginginkan posisi itu," komentar salah satu CEO ketika pelayan meninggalkan ruangan.
Pimpinan di sana berada di pihak Chaldan dan hanya di depan mereka Harpa menunjukkan kecerdasannya. "Aku masih berpikir mengeluarkan saham Kariswana dari Callir apabila Gera terus berusaha mengusikku. Kepemimpinanku sangat diragukan di sana," ungkap Harpa.
"Tuan Chaldan menitipkan daftar nama padaku. Aku akan mengirimkan hal tersebut pada Anda. Dia sudah tahu akan kematiannya," tegas pimpinan Hipe.
Harpa menunduk lesu. "Mungkin akan tiba waktunya aku pun meninggalkan dunia dengan cara yang sama. Hanya saja aku ingin memastikan keluarga Gera tidak mendapatkan apa pun," tegas Harpa.
"Praktek pengkhianatan ini terjadi sudah cukup lama, Nona. Bahkan orang tuanya pun melakukan hal yang sama. Alasan Tuan Chaldan mempertahankan Gera di sana karena menghormati mendiang kakek Anda. Nyatanya tetap saja mereka tidak tahu diri."
Para CEO ini jelas saling mendukung untuk kepentingan bersama. Ada banyak label yang di bawahnya bernaung beberapa agensi. Apabila tidak saling bekerja sama, akan lebih mudah digerus musuh.
"Aku bingung harus melakukan apa, Pak. Aku hanya seorang gadis muda belum memiliki pengalaman dan harus menghadapi orang-orang licik di sekitarku," keluh Harpa.
"Aku sarankan Anda lekas menikah dan memiliki keturunan. Kariswana harus memiliki penerus perusahaan. Seperti yang Anda katakan, apa yang menimpa Tuan Chaldan, bisa juga menimpa Anda. Hanya pastikan, jangan menikah dengan orang yang sama memiliki kekuasaan. Di satu sisi saham mungkin akan bertambah besar. Di sisi lain, akan memberatkan posisi Callir," saran CEO lainnya.
Harpa menaikkan alis. "Menikah? Yang benar saja?" batinnya. Dia bergidik. Dios masih memiliki kontrak panjang. Mana bisa diharapkan. Lalu dengan siapa Harpa harus menikah.
"Selama itu, Anda harus pastikan hidup dalam keadaan aman. Kini fokus saja pada pekerjaan. Baru kumpulkan bukti tentang kematian Tuan Chaldan."
Harpa memotong steaknya dan memakan potongan itu. Rasanya pegal mulut saat mengunyah. Sejak Papanya pergi, tidak ada ketenangan dalam diri Harpa. "Saya akan pikirkan itu nanti, Pak."