Isla hari ini memberanikan diri untuk memulai masa depan. Di sebuah restoran mahal, dia masuk. Di depan lobi sudah ada pelayan yang menanyakan meja yang dia pesan. Pelayan itu yang mengantar Isla menuju tempat yang dimaksud. Sampai di sana, terlihat seorang pria mengenakan jas duduk dengan gagahnya.
"Apa Anda Tuan Levin?" tanya Isla.
Pria itu berdiri. "Benar, Nona Isla?" Levin balas memastikan.
"Salam kenal. Senang bertemu dengan Anda," sapa Isla memperlihatkan wajah yang ramah.
"Silakan duduk, Nona." Levin memperlihatkan keramahtamahannya. Isla duduk berhadapan dengan pria yang dikenalkan padanya itu. Makanan yang sempat mereka pesan melalui reservasi datang. Isla lebih dulu meneguk air putih dalam gelas goblet. "Maaf, saya terlambat datang."
Levin menelan makanan pembukanya, mengelap mulut dan menyimpan lap itu di atas meja. "Tidak perlu mengkhawatirkan hal itu, Nona. Saya mengerti perihal pekerjaan Anda. Yang saya dengar, Anda baru bekerja di kantor sebuah agensi terkemuka."
"Seperti yang Anda dengar Tuan Levin. Tidak perlu terlalu formal dengan saya, bukankah usia kita sama?" saran Isla.
Levin sama sekali tak terlihat keberatan. Mereka banyak berbagi kisah hidup tentang pertemanan dan pekerjaan. "Memang sangat menarik di usia kita untuk keluar dari etika formal keluarga. Meskipun Anda kuliah di Inggris, saya yakin Anda bukan orang yang berpikiran kaku," komentar Levin.
"Anak muda Inggris sama saja dengan yang ada di seluruh dunia, Tuan Levin. Hanya saja aksen kami saat bicara khas Britania," timpal Isla, keduanya terkekeh.
Isla melirik ke sisi kanan sambil meminum teh sebagai penutup. Dia melihat sebuah poster terpampang begitu besar. Pria yang menjadi brand ambassador restoran bintang lima tersebut. Isla kemudian memalingkan wajah. Sejenak dia terlihat kesal hingga mendengkus tanpa sadar.
"Apa ada yang salah Nona Isla?" tanya Levin. Isla menggeleng sambil tersenyum. Dia menunjuk ke taman di tengah ruangan. "Ada apa dengan tempat itu?"
"Memberi kesan segar dan dingin. Sungguh tidak sepadan dengan musik yang disuguhkan," jawab Isla.
"Ingin saya minta pelayan mengganti lagunya?" tawar Levin.
Isla menggelengkan kepala. "Tak perlu. Ini cangkir terakhir. Lagipula ini sudah hampir tengah malam. Akan lebih baik saya lekas kembali. Anda tahu sendiri saya jauh dari orang tua."
Isla mengangkat cangkir teh lagi. Mendadak pikirannya terusik akan kisah di masa lalu. "Aku berhak untuk menemukan kebahagiaanku sendiri. Percuma mengharapkan hati yang pergi," batinnya. Begitu menyimpan cangkir, Isla mengusap pergelangan tangan. Ia inginnya pergi saja ke luar negeri di mana tak bisa melihat pria itu. Namun, dia ingin membantu Harpa. "Aku harus belajar bersikap seolah tak ada yang terjadi."
Sementara Harpa orang yang paling bahagia pagi ini. Ketika berdiri di teras menunggu mobil sopirnya berhenti, dia tersenyum penuh dengan kemenangan. Adras turun dari mobil, dia disambut dengan senyum meledek Harpa. "Pagi Adras. Gimana tidurmu semalam nyenyak?"
"Saya malah berharap Anda tidak kurang tidur karena jadwal hari ini padat. Kita akan kunjungan ke Hipe label dan bertemu dengan CEO agensi lainnya di bawah naungan label yang sama," jawab Adras dengan nada dingin.
"Kamu tadi malam baru dari mana?" Harpa mencoba mencairkan suasana karena wajah Adras sangat kaku. Dia masuk ke dalam mobil dan Adras tutup pintunya tanpa menjawab pertanyaan Harpa.
Begitu Adras duduk di kursi depan, pria itu langsung meminta sopir meneruskan perjalanan. Keadaan kembali menjadi runyam akibat Harpa yang memperlihatkan wajah kesal. Gadis itu bersedekap. "Kamu itu punya tatakrama atau tidak? CEO kamu bertanya dan tak kamu jawab. Padahal aku sudah menurunkan egoku untuk peduli padamu. Hubungan kita tentu tak bisa seperti dua musuh yang saling bertentangan, kan?" komentar Harpa.
"Saat itu saya di luar pekerjaan, sehingga tidak tepat bagi Anda bertanya. Hubungan kita hanya sebatas itu." Adras sama sekali tak menurunkan tingkat keasaman bicaranya. Pria itu menggeser layar tablet PC dan berpura-pura seolah ada sesuatu yang harus dia cek.
Harpa mendelik. Bibirnya bergerak-gerak ingin melayangkan kalimat protes. Sayangnya dia tahu harus bersikap baik pada sang sekretaris, takut dikhianati. Apalagi Adras punya pengalaman begitu.
Harpa mengusap. Dia hampir mengucek mata jika saja tak ingat memakai bulu mata palsu. "Anda mulai belajar terbuka tentang hubungan Anda," komentar Adras.
"Kalau aku tak boleh keluar batas, harusnya kamu juga!" sindir Harpa. Keduanya kembali diam saat itu. Pak Jaja merasa menjadi korban dalam kejadian tersebut. Tengkuknya langsung merinding akibat suhu dingin di samping dan depan tubuhnya. Bahkan pria itu tak berani mengeluarkan kata-kata walau hanya sekadar menanyakan tujuan. Pak Jaja menyetir saja ke arah kantor.
Di teras gedung milik Callir banyak orang yang baru keluar dari taksi dan hendak masuk. Begitu penjaga Harpa memberikan informasi kedatangan CEO, semua orang di sana lekas berlari membentuk barisan. Gera melihat kedatangan Harpa dari mezanin atas. Pria itu menatap dingin menyaksikan bagaimana sepupunya itu mendapat banyak kehormatan.
"Lebih baik sekarang kita beri tekanan terus sampai Harpa memutuskan menjual saham miliknya. Kekuatan gadis itu masih berada di seputar itu," tekan Gera pada sekretarisnya.
Okna melihat Gera dari kejauhan. Dia sempat melirik ke bawah dan menemukan Adras tengah berjalan di belakang Harpa. Wanita itu terbakar amarah. Dihampirinya Gera kemudian menunduk hormat di depan pria itu. "Saya ingin memberikan ini. Saya mencurinya dari tas milik Adras." Okna memberikan sebuah benda berupa flashdisk dengan rangka keemasan.
"Kamu sudah periksa isinya?" tegur Gera yang dibalas anggukan oleh Okna. "Apa? Aku tidak ingin benda ini memberikan aku risiko," paksa Gera.
"Ada dokumen rencana kerja Harpa. Salah satunya tentang rencana pembuatan aplikasi dan kebijakan baru tentang album artis," ungkap Okna.
Gera memutar benda itu di tangannya. "Kalau begitu aku akan periksa. Kamu apa tidak takut tunangan kamu curiga dan mencari?"
"Aku sudah lama melihatnya. Jadi aku gantikan dengan flashdisk baru yang memiliki bentuk yang sama. Untuk itu aku memesannya dulu pada orang yang biasa membuatnya, Pak. Makanya butuh lebih dari seminggu untuk menjalankan rencana." Okna sungguh pintar dengan siasat jahat, tapi hanya sebatas bidang itu saja. Sisanya tetap saja dia mudah dikelabui.
"Kalau begitu pergilah sebelum tunangan kamu melihat. Dia bisa curiga dan tahu kita bekerjasama. Dia tahunya kamu selama ini bersikap netral."
Okna pamit dan kembali ke ruangannya. Sementara Adras hanya mengantar Harpa sampai pintu kantor. "Maaf, Nona. Saya harus menyiapkan segala hal untuk pertemuan nanti siang. Kemungkinan Anda akan makan siang di jalan," jelas Adras.
"Ya sudah, aku masuk dulu."
Penjaga membukakan pintu, kemudian Harpa masuk. Adras berbalik dan berjalan tergesa-gesa ke ruangan kantornya. Sampai di sana, Adras menelepon Nolan.
"Dia sudah mencurinya," ungkap Adras pada temannya itu.
"Kamu bahas masalah itu di depannya. Jangan sampai kamu bersikap biasa. Dengan begitu dia akan yakin kalau itu adalah USB yang penting," saran Nolan.
"Baik, aku akan meneleponnya untuk meminta maaf dan curhat masalah ini" jawab Adras.
"Sekarang kita hanya tinggal menunggu Gera memasukkan flashdisk itu ke laptop pribadinya dan sistem virusku akan mulai bekerja." Nola bertepuk tangan akan keberhasilannya.
"Kamu periksa laptop Okna juga?" tanya Adras penasaran.
Nolan mengambil gelas dari atas meja dan meminum isinya. "Di dalam sana ada banyak foto kalian. Kelihatannya dia sangat mencintaimu. Kasihan juga kalau begini, gadis yang malang."
Adras mengembuskan napas dengan berat. Matanya menyipit dan dia sandarkan kening di meja. "Itu yang aku takutkan. Aku selalu berharap akan ada waktu Okna meninggalkan aku sendiri. Namun, dia malah terus bertahan ingin denganku."
Nolan menggaruk tengkuk. "Mungkin dia memang jodoh kamu dan kalian akan menikah, punya anak serta hidup bahagia selamanya."
Adras tertawa meski itu sama sekali tak lucu untuknya. "Tak pernah ada kehidupan yang berakhir bahagia, Nolan. Kalau mati, kita tetap ditangisi orang lain. Justru memiliki sesuatu akan membuat kita semakin banyak merasakan kehilangan."
Bel di meja Adras berbunyi. Pria itu langsung pamit hendak menutup telepon pada Nolan. "Ada apa Harpa memanggilku?" pikir Adras.
Lekas dia berdiri dan berjalan dengan tergesa-gesa ke kantor Harpa. Dibuka pintu ruangan atasannya itu. Harpa sudah duduk di meja dengan mengenakan kaca mata. Di tangan kanannya ada sebuah pulpen dan tangan kirinya memegang dokumen.
"Kamu sibuk gak?" tanya Harpa. Wajahnya penuh dengan kewibawaan. Mereka sedang marahan hingga Harpa ingin jaga image.
"Anda butuh bantuan apa?"
"Gimana cara tambahin angka di tabel?" Harpa turun dari meja. Dia menunjuk layar laptop. "Aku sudah masukin rumus SUM dan hasilnya tetap salah," protes gadis itu.
"Di komputer Anda sudah ada aplikasi akuntansi." Adras membuka jendela aplikasi yang dia maksud. "Kenakan saja ini, sehingga lebih mudah. Keterangannya bisa Anda baca menggunakan buku manual."
"Baiklah. Maklum sudah lama aku tidak pakai aplikasi ini. Terkhir kita belajar rumusanya waktu SMP, kan?" Harpa memindahkan angka di proposal ke dalam aplikasi penghitung.
"Kenapa Anda harus begitu? Saya yakin dana di sini sudah sesuai. Lagipula itu hanya proposal." Adras memperhatikan Harpa dari belakang.
"Aku hanya ingin tahu seberapa niat mereka ingin mengkhianatiku. Lihat, kurang tiga puluh juta, kan?" Harpa menunjuk minus pada hitungan.
"Lucu kalau dibilang kelalaian. Siapa yang buat ini?" Adras merebut proposal itu dari CEOnya.
"Tentu saja pegawai di bawah naungan calon mertuamu. Dan lagi." Harpa rebut kembali proposalnya. Dia buka biodata penyusun. "Kenapa Okna bisa ada di sini? Dia pegawai magang! Kamu tahu pekerjaan dia sebatas apa?" tegur Harpa.
Adras mengangguk. "Aku akan tanyakan saat ini juga. Mohon dokumennya."
Sambil menenteng benda itu, Adras keluar ruangan Harpa dan menuruni lift. Dia menggenggam erat benda itu dan siap meledak. Tiba di kantor Okna, Adras disambut Fatur. "Ada apa calon menantuku ke mari? Ingin bertemu Okna. Aku lihat semalam kelihatannya kalian bertengkar," tanya Fatur.
Saat itu juga Adras menggebrak meja dengan proposal tadi. "Apa maksudnya ini? Bagaimana bisa proposal ngawur seperti ini sampai di meja CEO?" tegur Adras dengan mimik wajah kesal.