Tiba di depan gerbang rumah, Harpa melihat sebuah motor berhenti tepat di depannya. Senyum Harpa melengkung. Saat itu, klakson dinyalakan dua kali. "Gak usah berisik, aku tahu itu kamu!" Harpa memukul lengan Dios.
Sementara tukang ojek Harpa malam ini membuka kaca helm. "Kok bisa ngenalin? Gak takut kalau aku ini yang suka mangkal di depan komplek?" tanya Dios balik.
Harpa memiringkan kepala ke sisi kanan dan kiri. "Jangan lupa, Dios. Aku ini Emerald. Fans setia kamu selama bertahun-tahun. Jangankan lagi ngomong, ngedengkur saja aku bisa tahu kalau itu suara kamu," jelas Harpa.
"Aku gak ngedengkur!" protes Dios. Memang dia berkata jujur, tapi Harpa tetap menunjuknya dengan tatapan meledek. "Coba, kalau suara napas aku bisa ngenalin, Nona?"
Harpa langsung naik ke jok belakang. Dia turunkan step motor. "Jangan manggil Nona, Harpa saja! Kita ini teman, kan?" pinta gadis itu. Dia menepuk punggung Dios. "Ayo jalan!" serunya.
Dios memutar gas motor. Mereka melaju dengan motor matic biasa yang harganya tak terlalu mahal. Dios bilang sepeda motor itu milik satpam apartemen dan sebagai ganti, Dios pinjamkan mobilnya agar Pak satpam bisa bergaya.
"Kamu bisa sedekat itu sama satpam?" Harpa kagum dengan pria itu. Dios mengangguk. Dia menyalip di antara barisan mobil yang terjebak macet. "Kamu itu beneran baik banget, ya?"
"Memang selama ini kamu pikir settingan?" terka Dios sambil sedikit berteriak karena gesekan udara dan bunyi kendaraan hingga suaranya agak tenggelam.
"Wajar banyak artis yang kayak gitu buat narik simpati orang, kan? Jadi makin banyak fansnya." Harpa melirik ke arah daun kering yang terhempas saking kencangnya motor Dios.
"Tapi aku lebih karena terbiasa," kilah Dios. Di ujung jalan, mereka bertemu dengan lampu merah. Dios mencari celah agar mereka bisa maju hingga zona tunggu motor yang diberi cat merah. Sayangnya baru setengah jalan, antrean sudah terhenti. Terpaksa mereka menunggu.
"Lampu merah ini paling lama, loh! Kamu apa gak pegel nahan motor? Badanku berat kayak beban hidupku," tanya Harpa. Dios menggelengkan kepala. "Bilang berat juga gak apa. Jadi aku akan tahu diri buat traktir kamu minum teh."
"Teh saja?" protes Dios. Dia menahan tawa dengan perilaku CEOnya itu.
"Laki-laki jangan mau ditraktir mahal-mahal sama wanita. Nanti jadi terlalu nyaman." Harpa membuka helm karena merasa gerah. Saat itu matanya berpapasan dengan Adras yang duduk di dalam mobil sambil menurunkan kaca.
Adras saat itu baru mengantar Okna pulang. Ini rasanya seperti dejavu. Namun, kali ini Harpa tak ingin kehilangan momentum. Dia peluk pinggang Dios dari belakang dan menyandarkan wajah di punggung pria itu. Harpa tersenyum pada Adras dan memeletkan lidah.
Lampu hijau muncul juga. Motor Dios melaju lebih dulu. Adras tertegun. Andai tak mendengar suara klakson, dia akan mematung lama di sana. Pria itu menginjak gas dan kembali berkendara.
"Sebenarnya kita mau ke mana?" tanya Harpa.
"Aku ada satu tempat yang tenang kalau malam gini. Cuman gak ada makanan saja di sana. Nanti di depan ada minimarket. Beli makanan dulu," saran Dios.
Benar saja, Motor Dios menepi di parkiran minimarket. Harpa yang turun untuk membeli makanan dengan uang yang diberikan Dios. Awalnya Harpa menolak sebagai formalitas. Akhirnya dia terima juga karena merasa telah dinafkahi idolanya. "Tentu harus ada timbal balik, Dios. Dulu aku yang nafkahi kamu, sekarang sebaliknya," batin Harpa saat berdiri di depan kasir. Dia bayar sejumlah jajanan yang dibawa.
Tentu Harpa yang menafkahi Dios karena dia membeli album, menonton konser hingga merchandise dari Diamond. Kalau fans tak membelinya, dari mana Dios punya penghasilan?
Kini Harpa kembali naik ke motor Dios. Kendaraan roda dua itu kini menyusuri jalanan menanjak dan berkelok. Harpa mengulurkan tangan, dia merasakan disentuh angin malam yang dingin. Inginnya Harpa juga membuka topi. Lumayan hairdryer alami sehingga lebih hemat dengan listrik.
Tatapan Harpa menyipit begitu motor Dios masuk ke sebuah perumahan. Dios meminta izin pada satpam. Masuk ke dalam dan berbelok memutari sebuah rumah. Motor itu kembali berhenti.
"Turun," pinta Dios. Harpa menurut saja. Ada barisan pohon cemara di sana dan perbukitan rumput hijau yang luas. Sungguh seperti di Swiss. Harpa berlari, tak peduli sudah agak gelap. Gadis itu tertawa dan Dios melihatnya dari pinggir sambil memegang keresek makanan di tangan.
"Di sini sepi banget! Tapi aku suka!" teriak Harpa.
"Jangan berisik. Pemilik rumah paling dekat bisa dengar dan marah!" saran Dios. Harpa kembali berlari ke arah Dios. Dia tarik lengan pria itu dan mengajak Dios ikut lari-larian. Dios mau saja. Sampai di tengah bukit, mereka bercempera. Keduanya sama-sama membagi tawa.
Harpa tak melihat jalan dengan benar hingga tersandung dan terjungkal ke depan. Dios kaget, dia mencoba membantu Harpa. Sayang yang dikhawatirkan malah terlihat sangat senang seakan beban hidup hilang.
Mereka duduk di atas rumput sambil bersila memandang langit. "Kamu pernah berpikir sepuluh tahun kemudian kamu ada di mana?" tanya Dios.
"Yang pasti aku ingin bebanku berkurang. Aku memang manja dan menyebalkan, tapi bukan artinya aku tak ingin mandiri. Adras akan menikah dalam waktu dekat. Aku tak bisa mengandalkannya lagi. Tentu aku harus bisa sendiri, kan?" Harpa memakan onigirinya.
"Kamu takut tak bisa dia bantu lagi, atau takut dia jadi milik orang lain?" tegur Dios.
Harpa malah berbaring. "Kalau kamu gimana? Sepuluh tahun yang akan datang, apa yang akan kamu lakukan?"
Dios menunduk sejenak. "Aku ingin menikahi orang yang aku cintai, hidup bahagia dengannya. Dan berkeliling dunia mencari kerumunan orang," jawab Dios.
"Ngapain kamu nyari kerumunan?" tanya Harpa bingung.
Dios ikut terbaring di samping Harpa. "Selama jadi artis, aku gak bisa berkerumun dengan orang. Terpaksa menyepi sendiri agar aman. Padahal aku juga ingin kayak orang lain, pergi ke minimarket, mall, belanja, naik wahana. Apa pun yang sering dilakukan orang normal."
"Emang kamu punya wanita yang kamu incar?" tanya Harpa lagi.
"Punya. Aku harap dia tak jadi milik orang lain sebelum itu," ungkap Dios. Harpa melirik pria itu. Ternyata rasanya sakit. "Pasti kamu tahu kalau aku terikat dengan Callir."
Harpa tak mampu menampik kalau dalam kontrak perusahaan, ada larangan pacaran agar jauh dari skandal. Dios kembali duduk dan berdiri. Perlahan Dios berjalan mundur. "Kamu lucu banget kelihatan dari sini," ledek Dios.
"Emang kelihatannya kayak apa?" Harpa menggaruk kepalanya.
"Wajah kamu itu, loh. Waktu aku bilang ada wanita yang aku suka, kenapa jadi sedih gitu?" Dios berkacak pinggang.
Dios sangat peka hingga Harpa bingung bagaimana bersikap. "Mana ada fans menerima dengan lapang dengar idolanya pacaran? Meski rela, tapi hatinya menggerutu."
Dios berbalik. Dia melihat kelipan bintang. Mata Harpa memperhatikannya. "Adegan ini rasanya juga gak asing. Hanya apa, ya?"
Akhirnya Harpa sadar, dia pernah ditemani menangis di pinggir danau oleh seorang lelaki. Tatapan matanya tak jauh beda dengan Dios, bahkan postur tubuhnya. "Apa iya? Mana mungkin," pikir Harpa. Dia ingin bertanya, hanya saja pasti Dios berkilah atau bahkan lupa.
"Kamu gak takut apa, kalau ada yang foto kita dan sebar di internet?" Harpa menghampiri Dios.
Pria itu dengan percaya dirinya menggeleng. "Aku mulai lebih pintar lagi mengelabui wartawan. Mereka sekarang pasti mengejar Dios palsu. Mobilku dibawa orang lain, ingat?"
"Bisa saja kamu ini!"
Keduanya mengambil foto di beberapa spot. Harpa hanya upload di aplikasi chat sehingga hanya orang yang kontaknya dia simpan bisa melihat. Sementara Dios mengirim ke seluruh akun media sosial.
Di satu sisi, Adras baru sampai rumahnya. Thyon sempat bertanya, hanya Adras tak menjawab. Tak biasanya dia bersikap dingin pada Thyon. Akhirnya Thyon sendiri menanyakan alasan pada Berlian saat wanita itu menjemur pakaian kerja yang masih basah di lantai atas.
"Dia anak lelaki, sudah biasa kalau mendadak cuek. Atau mungkin dia lagi lelah," jawab Berlian.
"Mau segimana lelah, Adras gak pernah tak acuh begitu." Thyon tak menerima pernyataan istrinya.
Tiba di kamar, Adras membuka ponsel karena ada telepon. Begitu melihat status, dia menemukan foto Harpa dari belakang. Saat itu Harpa berdiri memandang rerumputan yang luas. Pertanyaannya, jika posisi Harpa jauh dari kamera, siapa yang akan mengambil untuk foto?
Tak tahu kenapa saking penasarannya, Adras sampai memeriksa akun milik Dios. Pria itu posting di padang rumput luas. Dan jaraknya jauh dari kamera. Tempatnya pun spesifik sama. Kemudian dihubungkan saat melihat Harpa naik motor dibonceng. Hasilnya Adras masuk dalam satu kesimpulan.
"Dia pergi dengan lelaki itu," ucap Adras. Tangannya mengepal. Saat itu pula Adras mengambil bantal dan melemparnya ke kaca hingga benda itu pecah. Thyon yang tengah menanyai Berlian, kontan syok. Pria itu berbalik dan lari ke kamar Adras.
"Nak, kamu baik-baik saja?" tanya Thyon sambil mengetuk pintu. Adras tak menjawab. Pria itu malah berjalan ke kamar mandi dan mengisi bak.
"Adras, kalau ada masalah, lebih baik cerita sama Papa dan Mama," saran Thyon.
Adras naik ke dalam bak mandi dan berendam dengan aroma terapi. Namun, pikirannya tetap saja terganggu karena Harpa. "Biar saja. Itu urusan dia." Adras berusaha mensugesti diri, tapi pikirannya tetap tak bisa diperbaiki.
Ketika mengingat Harpa memeluk Dios di motor, itu jauh lebih menyakitkan. Sengaja Adras tenggelamkan wajahnya. Tak lama kepalanya menyembul keluar sampai terbatuk. Setelah mandi, Adras mengenakan pakaian tidur dan naik ke atas kasur. Thyon masih menguping. "Adras, kamu kenapa gak jawab Papa?" tanya Thyon di luar.
Adras menarik selimut dan menutupi tubuh agar suara orang-orang di luar tak terdengar. Sayang, masih saja membuat mata sulit terpejam. "Aku gak apa!" teriak Dios.
"Apa yang pecah tadi? Mau Papa suruh pelayan bersihkan?"
"Bukan apa-apa. Aku gak sengaja nyenggol botol parfum," dusta Adras.
"Ya sudah, cepat tidur, Dras!" titah Thyon. Adras menutup telinganya dengan bantal.