21. Buket Bunga

1024 Words
Adras memeriksa kembali beberapa dokumen yang harus dia bawa. Dokumen itu berupa soft file di tablet PCnya. Pria itu berdiri dan mengancingkan jasnya. Hendak berjalan melewati meja, pintu ruangan terbuka. Okna muncul dari sana dengan wajah kesal. Bibirnya mengerut. "Kamu mau ke mana?" tegur Okna. "Tentu kerja. Aku akan antar CEO menemui salah satu investor," jawab Adras sambil melangkah. Okna mendengkus. "Kamu kayaknya senang banget, ya? Akhirnya bisa berduaan sama mantan yang kaya. Siapa tahu untung dia mau balik lagi sama kamu," komentar Okna. Adras mendelik ke arahnya. "Bahkan perasaan tunangan kamu saja, diabaikan begitu. Padahal masih banyak kerjaan bisa dilakukan dibandingkan harus menggadaikan harga diri dengan menjadi buntut wanita manja itu!" Adras menarik napas. Dia menyeringai. "Dengar, cemburu itu ada batasnya. Bukan artinya kamu cemburu jadi kamu bisa bicara seenak hati. Kamu tahu dari mana tentang keluargaku dengan Kariswana? Kalau gak tahu, gak perlu komentar. Kita akan menikah dalam waktu cepat, tapi perilaku kamu yang kayak gini bikin aku gak nyaman. Kamu cuman akan ganggu karirku! Lebih baik kamu mikir sampai sana!" tegas Adras. Pria itu langsung meninggalkan ruangan. Mata Okna berkaca-kaca. "Aku gak masalah kamu kerja apa pun, tapi gak sama wanita itu! Kenapa kamu gak ngerti, aku takut kehilanganmu," batin Okna. Dia hapus air mata yang menetes. Kadang Okna selalu menyempatkan diri pergi ke Cambridge untuk bertemu Adras. Hanya pria itu tak pernah meluangkan waktu dengannya karena alasan tugas dan lainnya. Paling mereka hanya makan bersama. Sikap Adras manis sebelum dia pergi ke US. Setelah itu Adras berubah drastis yang Okna sendiri tak mengerti alasannya. Sedang Adras kini sudah berada di depan pintu ruangan Harpa. Pintu itu memiliki dua daun dengan tinggi hingga dua meter dan berwarna coklat kemerahan. Didorong gagang pintu itu. Terlihat Harpa tengah memijiti kening membaca dokumen yang tengah dia pegang. "Bu. Maaf, maksudku CEO. Sudah waktunya Anda bertemu dengan Tuan Perdana. Mobil sudah disiapkan di lobi. Staf penjaga pun telah siap," lapor Adras. Harpa duduk tegak. Dia menarik napas begitu panjang. Begitu mengembuskannya, Harpa langsung merebahkan kepala di meja. "Aku gak sanggup. Sehari saja rasanya kayak setahun. Pekerjaan macam apa ini?" tanya Harpa rasanya ia ingin menangis. "Apa ada yang membuat Anda merasa kesulitan?" tanya Adras. Pria itu berjalan menghampiri. Harpa menggeser dokumen agar dekat dengan Adras. Sedang pria di depannya menaikkan sebelah alis. Pria itu membaca isi dokumen. Dia tersenyum. "Apanya yang kamu gak ngerti?" tanya Adras. "Kenapa istilah di sana tinggi-tinggi, sih? Kayak apa itu, organon," jawab Harpa. Adras mengangguk. "Kamu punya ponsel? Tolong buka toko aplikasi dan download kamus besar Bahasa Indonesia. Kamu bisa cari istilah ini di sana atau lewat browser," jelas Adras. "Oke. Tapi tetap saja inti proposalnya apa, aku gak sampai," tambah Harpa. "Ini proposal divisi pemasaran. Mereka ingin kamu menyetujui ide mereka yang ingin membuat metode promosi baru melalui media sosial yang tengah banyak di akses netizen. Mereka sudah mempelajari algoritmanya dan di sini kamu bisa memahami bagaimana menaikan jumlah viewer di aplikasi tersebut dengan metode yang ada. Hanya saja butuh dana promosi untuk ini. Salah satunya bekerja sama langsung dengan aplikasi," jelas Adras. "Segitu, doang?" tanya Harpa dengan wajah hampir tak percaya. "Iya. Sepertinya ini memang terlihat berbelit-belit. Tapi mereka punya kemampuan riset yang baik. Beda dengan bagian perencanaan," komentar Adras. "Wah, kamu memang pintar, ya? Kita tukeran saja posisi gimana? Aku bagi dua gajiku sama kamu," saran Harpa. Adras menyimpan dokumen di atas meja. "Sudah waktunya Anda pergi," timpal pria itu. Harpa mengerutkan kening. "Tadi perasaan kamu ngomong non formal sama aku, kenapa sekarang kaku lagi?" protes wanita itu. Adras tak menjawab. Dia hanya menunduk hormat. Adras sendiri kaget karena tanpa sadar memanggil Harpa dengan sebutan kamu. Langkah Harpa melewati Adras. Sekretaris itu mengikuti dari belakang. Saat tiba di lorong, Harpa berpapasan dengan Okna. Mata wanita itu menyorot tajam ke arah Harpa. "Hei, aku pinjam tunangan kamu dulu, ya? Semangat kerja!" ledek Harpa sambil menepuk bahu Okna. Karena posisi mereka, Okna sama sekali tak berani melawan. Dia memilih menunduk hormat. Harpa masuk ke dalam lift diikuti oleh Adras. Pintu benda itu tertutup. "Saya mohon jangan menggodanya seperti itu. Dia sudah berusaha bersikap profesional. Kami akan menikah dalam waktu dekat. Aku takut perasaan pribadinya akan mengganggu pekerja dan tugas kami. Jadi, saya mohon sekali," pinta Adras kemudian menunduk. "Tuan Sekretaris. Kita sepertinya harus saling pengertian satu sama lain. Pertama, aku bereaksi seperti itu karena cara calon istri Anda menatapku. Kedua, cara menatapnya yang seperti itu pertanda ketiadaan sikap profesional. Dan keempat." "Ketiga, CEO," ralat Adras. "Iya, ketiga aku tak bertanya kapan kamu menikah. Itu bukan urusanku. Memangnya kamu pikir aku akan nyumbang biaya dekorasi?" protes Harpa. "Saya mohon maaf apabila itu mengganggu Anda. Saya akan sampaikan pada Okna." Pintu lift terbuka. Harpa berjalan dengan wajah yang tegak. Para penjaga langsung menempatkan posisi di belakang wanita itu. "Pastikan sepanjang jalan steril. Ambil jalur yang kemungkinan macetnya paling sedikit," tegas Adras . "Baik, Pak!" timpal para penjaga. Adras membukakan pintu mobil untuk Harpa. Wanita itu duduk di kursi belakang mobil sedan mewah berwarna hitam. Kemudian Adras duduk di kursi samping sopir. "Setelah ini, kita akan ke mana?" tanya Harpa. "Anda harus mengisi sambutan acara festival dance. Dalam rencana sebelumnya, Tuan Chaldan menuliskan target untuk mencari talent melalui acara itu," jelas Adras. "Di mana?" Harpa melipat tangan di depan d**a. Punggungnya bersandar. "Di dekat stasiun Bandung ada hotel bintang lima," jawab Adras. Selama perjalanan, Harpa menonton video di ponsel. Sesekali dia tertawa akibat apa yang dia lihat. Sedang Adras fokus pada perjalanan. "CEO, kita sudah tiba di rumah sakit." Adras turun lebih dulu. Harpa mengunci layar ponsel. Dia keluar setelah Adras membukakan pintu kendaraan. Begitu Harpa tiba, pihak rumah sakit pun turut menyambut. Dia diantar salah satu staf menuju ruangan di mana Tuan Perdana dirawat. "Ini." Adras memberikan sebuah buket bunga. Mata Harpa jelas menyipit. "Apa ini lucu? Apa maksud kamu ngasih aku buket bunga? Aku gak ada perasaan apa-apa sama kamu, ya!" omel Harpa. "Itu saya siapkan agar Anda memberikan pada Tuan Perdana," jelas Adras. Harpa meneguk ludahnya. Dia menunduk malu. "Harusnya tadi saat kamu ngasih, sekalian kamu jelasin. Jangan bikin orang kepedean!" Harpa memalingkan pandangan. "Saya sebelumnya sudah menjelaskan pada Anda." Mata Harpa memutar. "Aku ini manusia, bisa lupa. Wajar!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD