22. Pidato

1044 Words
"Selamat siang, Tuan Perdana. Saya sangat memohon maaf sekali karena terlambat hadir untuk menjenguknya Anda," ucap Harpa. Dia menyimpam buket bunga di nakas di samping tempat tidur pria tua itu. Tangan Tuan Perdana yang sudah keriput terlihat pucat dipasangi selang infus. Dia terlihat tiada daya karena penyakit yang menggerogoti tubuh. Bahkan kekayaan pun tiada guna. Kaya atau miskin, ketika sakit tidak akan tebang pilih. Beberapa penjaga berdiri di depan kamar. Di ruangan itu hanya ada Harpa, Adras, pasien dan istrinya yang masih berusia sangat muda, seumuran dengan Harpa. Wanita yang beruntung karena akan menjadi salah satu pewaris kalau Tuan Perdana tak kunjung sembuh juga. Padahal pernikahan mereka terhitung baru. "Terima kasih Nona Kariswana. Saya turut berbelasungkawa atas mangkatnya Tuan Chaldan. Maaf karena tidak bisa mengantar ke peristirahatan terakhirnya. Mungkin saya juga akan menyusul dalam waktu dekat," timpal Tuan Perdana dengan suara serak dan lambat. Sesekali dia menarik napas. Bahkan untuk bicara saja dia terlihat sangat lelah. Harpa menunduk di depan pria itu. "Anda akan sembuh, Tuan. Berjuanglah. Kematian tidak pernah kita ketahui kapan akan hadir. Kadang orang yang sakit menjadi sembuh, sedang yang terlihat sehat menyusul lebih dulu. Kami, Callir Entertainment sangat menanti kehadiran Anda di perusahaan." Harpa memegang tangan pria itu. Dia seperti melihat ayahnya sendiri. Selesai menemui Tuan Perdana, Harpa keluar dari ruangan rawat itu. Dia melangkah tanpa melihat ke arah kiri dan kanan. Adras masih mengimbangi meski Harpa berjalan terlalu kencang. Tiba di mobil, Harpa hanya terdiam. Dia melihat ke arah jendela dengan tatapan penuh kerinduan. Adras sempat mengintip dari spion mobil. Beberapa kali dia harus menelan ludah. "Kita akan tiba di hotel sepuluh menit lagi, CEO," ungkap Adras. "Iya," jawab Harpa pendek dan bersuara pelan. Apa yang tidak diharapkan datang. Di luar macet begitu pun di jalan alternatif. Beberapa kali Adras melihat jam tangan. "Akan lebih baik kita berhenti di sisi jalan itu. Dilanjutkan pun belum tentu sampai tepat waktu," pinta Adras pada sopir. "Baik, Pak." Mobil mulai menyentuh sisi jalan. Adras melirik ke belakang kursinya. Harpa masih saja diam memandang ke luar jendela. Pria itu membuka pintu dan turun dari mobil. Kesadaran Harpa kelihatannya belum kembali juga. Buktinya dia kaget saat seseorang menyentuh bahu. Harpa berbalik. Di sisinya sudah ada Adras duduk sambil memegang kemasan makanan yang terlihat mewah. "Anda belum makan siang. Lebih baik Anda makan," saran Adras. Dia siapkan dulu saus dan pelengkap lainya ke dalam kemasan makanan, terakhir sendok. Adras turunkan papan kecil yang menempel pada jok mobil dan memang fungsinya sebagai meja. Harpa masih diam menatap Adras. "Makanlah," pinta Adras meraih tangan Harpa dan memberikan sendok. "Kamu memang sekretaris yang sangat berdedikasi," puji Harpa. Wanita itu makan apa yang Adras sediakan. "Ini air mineralnya." Adras membuka tutup botol. Setelah itu dia berpindah ke kursi depan. "Kamu juga belum makan, kan? Beli makanan sana, staf lain juga pasti lapar," saran Harpa. Adras mengangguk dan kembali turun. Harpa mengemut sendok. Dia mengedip sambil memperhatikan Adras yang masuk ke dalam restoran. "Dia bayar ini pakai uang siapa?" Harpa bingung karena Adras sama sekali tidak meminta debit milik Harpa. Setelah pria itu kembali, Harpa beranikan diri untuk bertanya. Makanannya telah tersisa hanya setengah. "Makasih banyak. Kamu sampai harus nalangin beli makanan. Biar aku ganti. Berapa nomor rekening kamu? Aku mau transfer," ucap Harpa. "Saya memegang keuangan Anda untuk urusan akomodasi dan lainnya. Jadi ini dibayar dengan uang Anda," jawab Adras dengan polosnya. Saat itu seperti ada kereta lewat di samping telinga Harpa dengan kecepatan tinggi. "Rasanya aku nyesel sudah bilang makasih sama dia. Dia sendiri kenapa harus jujur amat?" omel Harpa dalam hati. Setengah jam menunggu, akhirnya mereka melanjutkan perjalanan. Tak lama mobil tiba di depan lobi sebuah hotel. Mereka pergi ke ballroom hotel. Harpa dipersilahkan duduk hingga host akan memanggilnya ke depan untuk melakukan sambutan. Orang pertama yang memberi sambutan adalah ketua penyelenggara. Sambutan yang membuat urat sabar seseorang terguncang. Bagaimana tidak, dia bicara panjang lebar hingga membahas anak dan istrinya. "Yang terakhir, sebagai seorang ayah, saya tentu sepatutnya mengangkat potensi anak saya," ucap pria itu. Harpa sudah lega mendengar kata terakhir. Namun, pidato itu tak berakhir pula. Kaki Harpa sampai mengetuk ke lantai ruangan itu. Wajahnya sudah sangat kesal. Adras menyadari hal itu. Dia memanggil salah satu seksi acara. "Tolong ingatkan, Nona Kariswana tidak bisa berada lama di sini. Kami masih banyak jadwal," pintanya. Setelah diberi peringatan itulah, akhirnya pidato itu selesai. Giliran Harpa yang maju. Begitu menghadap ke depan audiens, wajahnya ramah penuh senyum. Ternyata itu hanya akibat keterpaksaan, karena setelahnya Harpa mengetes mulut cabenya. "Terimakasih pada ketua pelaksana yang sudah sangat baik hati menceritakan dongeng tentang keluarganya. Walau saya juga bingung, apa urusan keluarganya ada dalam cerita itu? Maaf, saya hanya bercanda. Kita santai saja. Tidak perlu terlalu formal. Namun, apabila dirasa belum tamat, saya tunggu novel cetaknya. Saya mendengar sebuah perkataan, jangan terlalu membanggakan seorang anak. Karena dasarnya mereka juga manusia yang pasti akan melakukan kesalahan," sindir Harpa. Adras mengusap wajah. "Aku yakin sambutan Harpa akan sama panjangnya. Dia pasti akan balas dendam. Harpa mana pernah berubah," batin Adras. "Saya senang bisa diundang dalam acara ini. Mencari langsung talent yang tersembunyi. Hanya sayang, waktu untuk melihat talenta dance malah habis untuk mendengarkan kisah roman keluarga. Sepertinya orang-orang di sini pintar sekali bicara, mungkin karena sudah menabung tidak bicara selama bertahun-tahun. Saya akan bicara panjang lebar mengenai hidup saya di sini. Karena dicontohkan oleh ketua, tentu saya harus menghargai juga dengan mengikuti aturannya." Ketua pelaksana sampai berkali-kali berdeham. Dia memalingkan wajah karena takut Harpa menatapnya tajam. Setelah acara, Harpa meninggalkan tempat dan menyalami staf acara. Tak lupa dia pamitan pada peserta. Berjalan di lorong hotel, kini saatnya Harpa mengomel. "Telingaku sakit dengar dia ngomel terus. Apa dia gak punya jam tangan? Mana ada sambutan sampai empat puluh lima menit. Dia pikir kisah hidupnya itu semenyenangkan film di bioskop. Dia apa gak pernah punya teman ngobrol?" Praha berkacak pinggang. "Sebaiknya Anda bicara di mobil saja, CEO. Tidak enak karena banyak orang akan memperhatikan kita," saran Adras. "Habis ini kalau ada berita tidak mengenakan tentang sikapku tadi, kasih tahu saja. Biar aku omeli mereka yang berkomentar negatif," tegas Harpa. Dia mendelik. "Ada atau tidaknya berita negatif, sebaiknya Anda hindari hal seperti itu. Ingat, sikap Anda akan dipermasalahkan oleh lawan Anda. Belum lagi banyak jajaran direksi yang kurang setuju dengan keputusan Tuan Kariswana," ungkap Adras. "Siapa?" tanya Harpa.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD