23. Kecelakaan

1017 Words
"Jadi area ini akan dibangun khusus untuk fans jajaran artis di Callir Entertainment. Di sini ada wahana permainan, makanan khas Korea sampai booth untuk berfoto," cerita salah satu designer interior yang dipilih Callir dalam membuat area permainan khusus remaja sampai dewasa. Ini salah satu area permainan indoor yang terbilang megah. Butuh dana hingga mencapai angka triliun dalam pembangunannya. "Satu hal yang harus ada, ruang untuk menonton MV empat dimensi. Apa sudah dipikirkan?" tanya Harpa. "Maaf, Nona. Tapi itu tidak ada di bagan rencana," ungkap pria itu. Harpa mengusap kening. "Kalian memang tidak tahu apa-apa. Paling penting untuk fans bukan hanya gambar atau makanan yang disponsori oleh artisnya. Namun, interaksi walau secara virtual." "Lalu bagaimana?" Terlihat jelas kebingungan ahli interior itu. "Itu akan masuk rencana selanjutnya. Yang penting area ini laku dulu di pasaran. Kasihan dana kita sudah banyak digelontorkan," tegas Harpa. Designer itu mengangguk. Harpa meneruskan langkah melihat ke bagian lainnya. "Lihat apa yang aku bilang? Itu hasil dari ketidaktahuan akan dunia idol dan fans. Konsepnya wahana untuk fans idol, tapi isinya tidak beda dengan wahana biasa. Sungguh sangat mengesalkan. Aku berada di sisi fans pun membayangkannya bosan." "Maaf CEO, bagaimana kalau kita maksimalkan di bagian promosi. Kalau tidak comeback, akan lebih baik Diamond melakukan promosi dengan meet and greet," saran Adras. Harpa tertawa. "Kamu tahu kenapa idol sangat ekslusif?" tanya wanita itu. "Kenapa?" Adras menaikkan sebelah alis. "Karena mereka sulit ditemui. Begitu aturan dunia ini. Kalau kita sering temukan idol dan fans, sama saja mengurangi popularitas mereka. Mengerti?" jelas Harpa. Adras mengangguk. Dalam hal itu jelas Harpa yang paling berpengalaman dibandingkan dirinya. Ponsel Adras bergetar. Dia mencoba mengecek. Ada panggilan masuk atas nama Okna. Pria itu izin undur diri sejenak mencari tempat sepi untuk mengangkat telepon. "Ada apa?" tanya Adras. Okna mendengkus. "Kamu di mana?" Dari nada bicara jelas sekali Okna tengah kesal. "Aku masih kerja," jawab Adras. Mata Okna memutar. Terlihat salah satu sudut bibirnya terangkat. "Kerja? Sekarang jam tujuh malam, Adras! Apa atasan kamu tahu waktu? Mana ada pegawai kerja sampai di luar jam kerja?" omel Okna. "Apa perlu aku minta Papa jelaskan tentang perkerjaanku? Jam kerjaku tidak menentu, tergantung jam kerja CEO. Aku lelah, jadi tolong jangan buat aku kesal sama kamu," pinta Adras. "Kamu gak jawab pesanku," protes Okna lagi. "Aku gak sempat bukan HP. Pesan lain pun belum aku balas. Maaf." Adras berusaha bicara dengan nada santai walau dalam hati sudah sangat kesal dengan sikap tunangannya itu. Kali ini Okna duduk di pinggir tempat tidur. Dia melihat ke arah jendela. "Masa kamu gak dapat waktu istirahat sama sekali? Apa CEO baru itu gak tahu kamu bisa lelah? Aku hanya meminta waktu sebagai tunangan kamu." "Aku baru kerja satu hari ini, Okna. Masa kamu sudah banyak mengeluh. Kamu harus sudah siap menerima konsekuensi dari pekerjaanku. Bukannya kamu yang akan jadi istriku?" nasihat Adras. "Iya! Jangan lupa makan!" sewot Okna. "Aku sudah makan. Kamu juga jangan lupa makan malam dan tidur lebih cepat. Maaf, aku sering mengabaikan kamu. Hanya saja, aku punya tanggung jawab selain tentang kamu. Kita sudah dewasa sekarang, aku bukan lagi mahasiswa yang hanya belajar di kampus kemudian sisanya dihabiskan main dengan kamu. Sekarang aku seorang pria dewasa yang harus mencari nafkah." "Iya, maafkan aku. Aku cuman khawatir sama kesehatan kamu." Keduanya mulai menurunkan nada. Harpa masih berdiri di atas lantai ruangan besar dan mulai penuh dengan pernik-pernik itu. Ada beberapa tiang penyangga yang membatasi pandangan. "Pak, itu apa?" tanya Harpa menunjuk sesuatu di atas sebuah wahana permainan. "Bukan apa-apa, Bu. Hanya mur besar yang belum dipasang. Saya sebentar lagi naik untuk memasangnya," jawab salah satu staf yang bekerja di shift dua. Karena harus segera selesai, pekerja dibagi menjadi tiga shift dan area dibangun selama dua puluh empat jam tanpa henti. Harpa maju lagi, dia penasaran akan sebesar apa mur itu. "Bu, sebaiknya Anda jangan terlalu dekat," saran seorang penjaga. Harpa mengangguk. Dia hendak mundur. Tiba-tiba di sisi lain sebuah alat berat tanpa sengaja menyenggolnya wahana itu. Otomatis mur terjatuh dan hampir menimpa Harpa jika saja Adras tak menarik wanita itu. Keduanya jatuh di lantai dengan posisi Adras memeluk Harpa erat. Wanita itu kaget, bukan hanya syok karena hampir celaka, tapi juga pelukan Adras di tubuhnya. Adras bangkit sambil membantu Harpa. Dia sampai melempar ponsel ke lantai karena kaget melihat Harpa. "Kamu gimana, sih? Apa kamu gak lihat peringatan di sana? Kenapa malah kamu lewati? Kamu tahu tadi bisa saja kamu koma di rumah sakit?" omel Adras. Harpa mengedipkan mata. Dia sendiri masih terguncang hingga lidahnya terasa kelu. "Kamu gak sakit apa-apa? Ada yang terluka?" Adras memeriksa lengan dan juga kepala Harpa. Gadis di depannya hanya menggelengkan kepala. "Kamu hampir bikin aku jantungan. Tolong lain kali hati-hati. Jangan celakain diri kamu sendiri," pinta Adras. Harpa mengangguk. "Kita kembali ke kantor," tegas Adras yang langsung diiyakan regu penjaga. Dia tuntun Harpa keluar. "Ngapain aku diam saja, sih? Dia lagi megang tangan aku, loh! Kenapa aku gak balas waktu dia maki aku kayak tadi? Dia ngebentak kamu, Harpa!" batin gadis itu. Nyatanya sampai tiba mereka di mobil, Harpa masih terdiam. Kendaraan itu kembali menembus kota Bandung. Kilo demi kilo mereka lewati hingga tiba di gedung Callir Entertainment. Petugas parkir membukakan pintu. Harpa turun. Adras menunduk membiarkan wanita itu berjalan lebih dulu. Akhirnya mereka tiba di kantor. Melihat barisan dokumen, Harpa kembali melenguh. Dia duduk di kursi kebesarannya. Diambil pulpen dan dia siap membawa salah satu dokumen. Saat itu baru pukul delapan malam. Dari kaca gedung terlihat lampu-lampu bangunan di bawah sana dan langit yang hitam. "Aku maafin soal tadi karena kamu nolongin aku. Hanya saja jangan biasakan untuk bicara secara non formal, apalagi marah dan ngebentak kayak emak-emak yang mergokin anaknya main hujan-hujanan," omel Harpa. Adras menuntup mata sejenak. "Saya minta maaf atas sikap saya. Itu hanya bentuk kekhawatiran," ucap Adras. "Sudah aku bilang, aku malas berurusan dengan tunangan orang yang cemburuan," tegas Harpa. Adras tak mampu membela diri. Harpa meneruskan kegiatannya membaca dokumen. "Adras," panggil wanita itu lagi. "Yang itu juga tidak Anda mengerti?" terka Adras. Harpa nyengir memperlihatkan barisan gigi putihnya. "Sepertinya yang membuat dokumen ini terlalu pintar hingga ingin pamer kepintarannya padaku. Sayang aku tidak sepintar dia," jelas Harpa.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD