Baik Narvi dan Isla sama-sama bingung dibuat sahabatnya sendiri. Duduk merayakan suksesnya rencana mereka dan juga Harpa yang secara bijak meredam rumor perusahaan, justru keduanya dibuat heran karena Harpa tak hentinya tersenyum dan tertawa geli sendiri. Walau mereka tahu sejak lama perihal otak teman mereka yang agak bergeser itu, tetap saja kali ini jauh lebih mengkhawatirkan.
"Kamu kenapa, sih?" tanya Narvi kemudian memakan potongan pizza ke mulutnya yang lumayan besar.
Harpa tetap saja menggelengkan kepala. "Hari ini indah banget gak, sih? Cuacanya enak, sejuk dan suasananya hangat," jawab Harpa dengan wajah bersinar seperti piring di iklan sabun cuci. Gadis itu mengambil gelas dan meneguk soda dingin yang ada di dalamnya.
Narvi dan Isla sama-sama melihat ke sekeliling. Keduanya saling menatap heran. Banyak anak-anak berlari-lari, bapak-bapak yang merokok serta ibu-ibu bergosip ria. Ketika mata mereka berpindah ke luar ruangan, hujan lebat dengan angin kencang dan petir menggelegar. "Ini yang dia bilang indah?" tanya Isla.
"Kayaknya dia lagi ada di dimensi lain dan sisa tubuhnya di sini yang diisi makhluh ghaib," komentar Narvi.
Kembali Harpa tertawa. "Besok gimana kalau kita naik motor. Healing gitu ke gunung batu? Kamu ingat gak, Nar? Pergi Subuh dan sampai sana lihat sunrise juga kabut nutup Kota Bandung?" ajak Harpa.
Narvi kembali melihat tetesan air hujan. "Kamu bisa sadar dikit enggak, Har? Di Kota saja sudah sebecek ini, apalagi di atas gunung," tolak Narvi.
"Hidup butuh tantangan, Nar," alasan Harpa.
Narvi menggetok kepala sahabatnya itu. "Tantangan apanya! Kalau baju kamu kotor, tinggal lempar ke wadah cucian, pelayan yang nyuci! Apakabar aku yang ngucek sendiri?" omel Narvi.
"Tinggal kirim saja ke laundry," timpal Isla dengan mudahnya. Harpa memberikan sahabatnya itu jempol.
Narvi menggebrak meja. "Kalian yang belum pernah nyobain miskin mana tahu rasanya, duit serebu saja sangat berharga. Sungguh ya, miskin itu adalah uji adrenalin sesungguhnya. Kalian yang cuman rasain jatuh dari ketinggian pakai tali, gak akan tahu rasanya takut besok gak bisa makan," jelas Narvi.
"Aku pernah rasain. Waktu di London hujan badai dan gak belanja," jawab Isla.
"Iya! Jadi aku cuman makan yang ada di kulkas," timpal Harpa.
Narvi menggaruk kening. "Di kulkas kamu waktu itu masih banyak makanan pasti?"
"Cuman ada salmon sama kubis. Jadi aku bikin salad," jawab Harpa.
Narvi menunjukkan tinju ke arah temannya itu. "Kalau masih punya salmon di mana tantangannya? Coba saja kalau cuman ada cabe, bawang, terasi sama beras! Mana gak ada minyak! Mau idup gimana kamu?"
"Benaran ada yang bisa sampai kayak gitu?" Isla terbelalak.
Narvi rasanya ingin menari dangdut di sana juga. "Susah menjelaskan sama anak orang kaya perihal kemiskinan. Kayak jelasin warna biru sama orang yang gak bisa liat warna."
Ponsel Narvi berbunyi. Dia dapat pesan dari teman kuliahnya yang merupakan ahli perghibahan duniawi. "Ya ampun! Kamu tahu kalau Adras sama Okna pernikahannya diundur?" Kali ini Narvi mendadak mengganti topik.
Harpa menatap sahabatnya itu dan berkedip. "Tahu, kok. Dia yang bilang gak jadi cuti karena mau undur acara. Katanya Okna disuruh ngerti dulu posisinya Adras," jawab Harpa.
Isla dan Narvi saling tatap dan keduanya tersenyum licik. "Pantesan saja ibu CEO merasa cerah di malam yang hujan," ledek Narvi.
"Bahkan dia melihat pelangi melengkung di atas garis khatulistiwa," tambah Isla.
Harpa menoyor kening kedua temannya. "Bukan karena itu! Aku biasa saja, kok!" kilah Harpa.
"Tak ada bedanya. Iya gak ada rasa apa-apa. Cuman senang saja dikit," ledek Isla kemudian memancing tawa Narvi.
"Jangan gitu, Sla! Dia sudah gak ada rasa apa-apa lagi sama Adras," tambah Narvi.
"Mereka cuman rekan kerja." Isla memberi penekanan pada kalimatnya.
Di sana Harpa menatap tajam. "Kalian itu temanku apa bukan, sih? Kenapa tega banget ledekin aku kayak gitu! Pacaran enam tahun bukan waktu yang sebentar." Harpa menunduk. Dia memutar pizza di atas piring. Mendadak suasana menjadi hening di antara ketiganya. "Aku bego banget, ya? Orang lain pasti sudah move on disakiti begitu! Padahal aku sudah deket sama Dios, loh! Kurang apa Dios sampai aku harus peduli sama Adrasha?" keluh Harpa.
"Kurangnya, Dios tidak mencintaimu," celetuk Narvis.
Barulah kembali terdengar tawa. "Ngeselin banget kamu, Nar! Sudah dikuliahin, dikasih kerja, masih saja ngeledek!" omel Harpa.
"Tenang saja, aku ganti nanti."
"Pakai apa?" Harpa memajukan bibirnya.
"Menemanimu jomlo seumur hidup." Narvi mengedipkan mata.
Harpa melemparnya dengan gulungan tissue bekas. "Buktinya kamu malah punya pacar duluan! Emang dasar sahabat cuman modal manis di lidah!"
Setelah hujan berhenti, Harpa dan temannya keluar dari restoran pizza itu. Mereka langsung ke parkiran. "Nar, aku antar kamu pulang saja, ya? Aku lagi males di mobil sendiri," tawar Isla. Narvi mengangguk dengan senangnya.
"Bahkan kamu sekarang melupakan aku karena Isla! Kamu mengkhianatiku, Nar!" protes Harpa sambil berkacak pinggang.
"Banyak doa, Har. Kamu sudah sering kesambet itu!" komentar Narvi. Awalnya Harpa ingin langsung pulang. Namun, dua potong pizza tak cukup membuatnya kenyang. Harpa putuskan untuk pergi minimarket terdekat membeli satu botol minuman cokelat dan juga sosis bakar dengan saus Korea.
Dia makan sambil duduk di lantai minimarket. Sekilas melihat Harpa mengenakan kaos, topi dan celana jeans, tidak akan ada yang sadar kalau dia seorang CEO. Bahan cara bicaranya saja tidak pernah mencerminkan demikian. Karena itu jangan menilai kacang yang lupa dengan kulitnya.
Harpa mengusap lengan sesekali. Cuaca sedingin ini, lengan kaosnya pendek. Harpa pikir tinggal selama tiga tahun di London membuatnya sudah beradaptasi dengan suhu dingin. Nyatanya makanan Indonesia membuat dia kembali seperti semula. Harpa bersin sesekali. Dia lap bagian bawah hidung dengan punggung jari telunjuk.
Saat itu tiba-tiba terasa hangat. Ada sesuatu yang menyentuh bahunya. Harpa mendongak, menatap sosok Adras yang menyampirkan jaket di bahunya. Pria itu duduk di samping, mengeluarkan tissue basah dan mengelap bibir Harpa. "Anda harus menjaga tubuh. Album Diamond akan keluar dalam waktu dekat. Kalau Anda sakit, semuanya jadi tertunda," jelas Adras.
"Kamu perhatian banget. Padahal ini di luar jam kerja," tegur Harpa.
Adras menatap ke depan. Jalanan terlihat sepi. "'Kenapa sendirian?"
"Temanku sudah pulang dan pacarku idol. Mau gimana lagi?" jawab Harpa. Dia kembali memakan sosisnya. "Kamu baik-baik saja? Untung belum sebar undangan. Tapi keluarga besar kamu pasti sudah tahu, kan? Padahal kamu sama Okna sudah pacaran empat tahun. Masa diundur terus."
Adras menggelengkan kepala. "Hanya diundur beberapa bulan, mungkin. Gak akan ada artinya dibandingkan seumur hidup aku akan habiskan dengan dia," timpal Adras.