"Selamat sore, Nyonya," ucap Harpa sambil mencium punggung tangan Nyonya Sulivan.
"Anda selalu terlihat cantik. Duduklah," ajak Nyonya Sulivan.
"Terima kasih banyak. Anda juga Nyonya." Keduanya akan melakukan perawatan rambut hari ini dan tentu sambil membicarakan bisnis.
"Baiklah. Saya akan carikan bahan sesuai dengan permintaan Anda, Nona. Perusahaan kami sangat bersemangat karena akan kembali memproduksi album milik Diamond," jawab Nyonya Sulivan di antara obrolan mereka.
Harpa tersenyum menatap kaca. "Hanya untuk kali ini ada sesuatu yang lain. Saya membutuhkan salah satu karyawan Anda," pinta Harpa
"Untuk?" Nyonya Sulivan terlihat bingung.
Harpa melirik ke sisi saat rambutnya tengah diberikan masker. "Membuat spoiler pada para fans," jawab Harpa dengan terbuka. Dia kembali menatap cermin. "Saya akan membayarnya untuk itu, asalkan dia mau tutup mulut."
"Apa keuntungan dari semua itu?" Nyonya Sulivan ingin memastikan bagiannya.
"Kalau kita naik di hari pertama penjualan, pasti akan langsung menjejal posisi pertama di chart. Karena itu saya ingin Anda memulai distribusi sebelum hari Senin yang menjadi hari pertama perhitungan chart dimulai kembali," jelas Harpa.
Nyonya Sulivan mengangguk. "Tuan Chaldan sempat menjelaskan seberapa cerdasnya Anda. Tidak saya sangka, rupanya beliau memang benar. Tidak salah kalau dia mempercayakan seluruh tanggung jawab pada putrinya," puji Nyonya Sulivan.
"'Saya hanya menjalankan kewajiban karena ada ribuan pegawai yang bersandar di pundak saya pun harapan kedua orang tua saya," jawab Harpa.
Nyonya Sulivan mengeluarkan sebuah foto dari tasnya. "Dia putra kenalanku dan memang sudah sangat lama menjadi atasan di perusahaan asing."
Harpa meraih foto itu. Pria yang cukup tampan, tapi masih kalah tampan dari Dios. "Maksud Anda bagaimana?" tanya Harpa terkekeh.
"Saya ingin mengenalkan Anda padanya. Kebetulan dia tengah mencari calon istri dan Anda sudah di usia menikah sekarang. Kenapa tidak mencobanya saja? Kalau kalian cocok, saya yakin Tuan Chaldan pasti akan tenang di sana, karena putrinya mendapatkan pria yang tepat." Nyonya Sulivan menepuk pelan lengan Harpa.
Adras yang duduk di belakang mereka, menunduk. "Adras! Menurutmu bagaimana? Lebih baik mana dengan pacarku?" tanya Harpa memperlihatkan foto itu. Adras dengan beratnya berdiri. Dia menatap foto pria itu. "Dia ganteng juga, kan? Tapi aku masih bisa memilih, kan?"
"Jika memang Anda ingin cepat menikah, pria ini lebih baik jadi pilihan. Karena pacar Anda terjebak kontrak kerja yang sangat lama," jawab Adras. Dia menelan ludah. Terasa sakit di kerongkongan hingga ke ulu hati.
Nyonya Sulivan menatap Harpa, kemudian Adrasha. "Jadi Anda sudah memiliki pacar?" tanya wanita itu penasaran.
"Sudah, hanya saja aku belum berani untuk mempublikasi sehingga hanya sekretarisku yang tahu," dusta Harpa. Dia melirik ke arah Adras. "Rasakan! Memang kamu pikir aku gak bisa manas-manasin kamu!" batin Harpa.
"Benar juga, ya? Anda secantik ini, mana mungkin tidak ada pria yang menginginkan Anda. Saya yakin pasti ada yang berani mengungkapkan perasaan," komentar Nyonya Sulivan.
Adras kembali ke tempat semula. Tangannya mengepal. "Saya banyak berpetualang pada beberapa hati. Hanya pria yang satu ini, selalu membuat saya bahagia dan merasa sempurna. Dia menghargai saya dan mencintai saya apa adanya. Kalau saja tidak ada saran untuk lekas menikah. Di sana saya merasa bimbang." Harpa semakin menjadi menghalunya. Dia memang sering menulis kisah idol di salah satu platform. Tidak heran kalau dia juga pandai mengarang bebas.
Pulang dari salon, Harpa memainkan rambutnya. "Aku kayak model iklan shampoo ya, Pak?" tanya Harpa pada Pak Jaja. Sopir itu mengangguk saja.
"Oh iya, tadi di salon ada pria yang menatapku terus. Dia kayaknya suka denganku. Aku mau negur, sih! Hanya Adras selalu marah kalau aku kayak gitu," protes Harpa.
"Saya bukan seseorang yang pantas mengganggu hubungan pribadi Anda, kecuali kalau itu mengganggu pada masalah pekerjaan," timpal Adras.
Harpa menyandarkan dagu di sandaran kursi yang Adras duduki. Posisinya sekarang kepala Harpa ada di samping Adras. "Kamu cemburu lagi, ya?" bisik gadis itu di telinga Adras.
Sedang sang sekretaris tak menjawab. "Adras, mau aku kenalkan pada teman wanita yang lebih cantik dari Okna tidak? Aku tak masalah kamu menikah dengan siapa saja, hanya Okna dan aku dilihat dari sudut manapun tidak akan akur," jelas Harpa.
Adras menatap Harpa dengan sedikit mengangkat kepala. "Saya mencintainya," ucap Adras dengan tegas. Harpa mengedipkan mata.
"Kalau aku masih mencintaimu bagaimana?" tanya Harpa semakin mendekatkan wajahnya.
Di sana bola mata Adras mulai bergerak. "Jangan bermain dengan ucapan, Nona. Apalagi kalau itu tentang perasaan," saran Adras.
"Kamu," kalimat Harpa terpotong karena Mang Jaja mengerem tiba-tiba. Di depan ada motor yang menyalip dan memotong laju mobil.
"Ya ampun! Kenapa gak hati-hati! Padahal jelas mobil lagi jalan, bukannya kasih lampu sen!" omel Mang Jaja. Pria itu menunjukkan tinjunya ke arah depan. Dia kemudian melirik ke samping. "Anda tak apa-apa, Nona?" tanya Mang Jaja, kemudian menjadi kaget karena melihat bibir Harpa dan Adras bersentuhan.
Sedang kedua korban sama-sama terbelalak. Mereka kaget dan sama sekali tak beranjak dari posisi. Untung saja klakson mobil di depan terdengar. Lekas Harpa mundur hingga kepalanya terpentok. Dia mengaduh kesakitan dan Adras hanya bisa memegang bibirnya.
"Kepalaku!" keluh Harpa.
Karena insiden itu, mobil Harpa ditabrak dari belakang. Jadilah saat itu polisi datang meminta keterangan. Untung saja tidak ada yang menjadi korban luka.
Harpa duduk di teras sebuah mini market. Adras sudah menawarkan agar gadis itu kembali dengan mobil penjaga lainnya. Hanya Harpa menolak dan lebih memilih menggosok gigi dan membasuh bibir di toilet mini market. Setelah itu dia minum air kelapa.
"Aku pikir dengan air degan ini, semuanya akan jadi netral. Ternyata tetap sama saja, aku merasa kotor," ucap Harpa. Pandangannya kosong ke depan.
"Lagipula Anda yang menempatkan wajah di sana. Harusnya Anda tetap duduk di kursi Anda," jawab Adras. Dia bingung harus apa. Yang jelas tidak hanya degup jantungnya tak karuan, dia juga takut melihat Harpa sudah kesal begitu.
"Iya, memang salah wajah dan bibirku! Dia sampai rela menjerumuskan diri dalam kejadian yang nahas itu." Harpa memeluk dirinya sendiri kemudian bergidik.
"Lagipula itu bukan yang pertama, kenapa merasa heran," celetuk Adras. Jelas saat itu Harpa melirik ke arahnya dengan tajam. Adras memalingkan pandangan.
"Harusnya kamu bisa bedakan masa lalu dan sekarang! Dulu aku masih gadis tidak waras yang jatuh cinta pada pria tidak bertanggungjawab," omel Harpa.
"Hanya Anda bertahan selama enam tahun dengan pria tidak bertanggung jawab itu. Heran," tambah Adras.
"Kamu mau bantah aku?" Harpa berkacak pinggang.
"Saya hanya mengingatkan. Anda mudah lupa," jawab Adras.