"Santai saja. Aku hanya bercanda," timpal Harpa dengan suara pelan. Wanita itu melangkah pergi tanpa berbalik sekalipun. Adras menatap punggung Harpa hingga hilang di kejauhan.
"Adras, aku makasih banget! Kamu mau belain aku di depan dia. Aku makin sayang sama kamu," puji Okna memeluk lengan Adras.
"Lain kali apa pun yang CEO katakan jangan dibantah. Aku mohon." Adras menatap Okna.
"Baik. Mau makan sekarang?" Okna menarik tangan Adras keluar ruangan.
Sedang Harpa rupanya bersembunyi di balik pintu toilet. Dia menyembulkan kepala keluar ruangan itu untuk mengintip Adras dan Okna yang berjalan sambil berpegangan tangan.
Harpa menunduk sedih. "Bodoh, kenapa kamu masih saja merasa cemburu? Kenapa kesal banget?"
Harpa makan malam di ruangannya. Dia memeriksa perkembangan postingan Dios. Bahkan postingan itu kini menjadi berita dan menutup berita kegagalan Gera. "Semoga saham kembali naik," doa Harpa.
Baru akan mengigit rotinya, Harpa mendapat panggilan dari Dios. Dia tersenyum senang melihat foto pria itu tampil di layar ponselnya. "Ada apa, Dios?" tanya Harpa.
"Saya mendengar tentang ide Anda yang disetujui, syukurlah," ucap Dios.
"Iya, aku juga senang. Makasih banyak," balas Harpa. Dia menatap makanan di atas meja. "Kamu sudah makan?"
"Aku mau makan sekarang. Kenapa?" Dios menaikkan sebelah alisnya.
"Mau makan barengan? Kamu sekarang di mana?" Harpa harap harinya yang buruk karena Adras, bisa membaik karena Dios membasuhnya.
"Aku lagi shooting iklan dengan member lain. Anda sendiri?"
Harpa menunduk lesu. "Aku di ruanganku dan makan sendiri. Narvi dengan Isla sedang sibuk, jadi mereka makan di ruangan masing-masing," ungkap Harpa. Gadis itu kaget akibat tiba-tiba panggilan suara Dios ubah menjadi panggilan video. Harpa jelas kaget hingga terbelalak. Dia berseru senang sambil melompat dari posisi duduknya. Lekas Harpa rapikan rambut, pakaian kemudian mengangkat telepon tersebut.
"Dios!" Harpa melambaikan tangan.
"Kita bisa makan bersama seperti ini. Mana makanan Anda?" Dios terlihat tersenyum di kamera.
"Ini!" Harpa mengangkat kotak bekalnya dan menunjukkan pada Dios.
"Kelihatannya enak. Aku hanya makan ini saja." Dios menunjukkan barisan makanan dalam kotak bekalnya.
Harpa berkacak pinggang. "Itu banyak, Dios!" omel Harpa.
Mereka mulai makan bersama sambil disela dengan obrolan. "Teman kamu gak bilang apa-apa?" Harpa penasaran. Ruangannya saat itu memang sangat hening karena Harpa mematikan music playernya. Padahal tadi dia tengah mendengarkan lagu-lagu Diamond.
Dios mengggeleng. "Mereka bingung. Selama ini mereka percaya kalau kita tidak punya hubungan apa pun. Dan sekarang tiba-tiba terjadi hal ini. Jelas Regal ikut dipanggil. Dia leaderku, kan? Jadi kami satu grup berunding," jelas Dios.
"Kebetulan aku ingin bertemu seluruh anggota Diamond untuk membicarakan proyek lebih jauh. Hanya saja, aku takut ketahuan," keluh Harpa.
"Lakukan seperti biasa. Memang teman-temanku tak bisa kabur? Aku mempelajari itu dari mereka semua," ungkap Dios.
Harpa terkekeh. "Kalian semua memang nakal, ya! Untung aku fans kalian, kalau sampai petinggi lain tahu, mereka akan beri kalian hukuman!" Harpa menunjuk-nunjuk ke arah Dios.
"Sabar, Nona. Kami minta maaf pokoknya. Kapan Anda siap, hubungi aku saja. Aku janji kami akan bertemu dengan Anda."
Harpa rasanya lega. "Dios, kenapa kalau kamu makan harus ada telur dadar?"
"Karena ini bukan telur ceplok," timpal Dios sambil tertawa.
"Aku serius. Kamu pernah bilang itu bukan makanan kesukaan kamu."
Dios berpikir lama. Dia juga bingung. "Sudah jadi kebiasaan saja. Mau berhenti juga, aneh. Rasanya gak kenyang kalau gak ada telur."
"Telur ceplok juga berasal dari telur, kan?" Harpa menggaruk keningnya.
"Aku tak suka kuning telur. Tapi kata ibuku, ada kandungan kuning telur yang tidak ada di putihnya dan itu bergizi. Dengan mendadar telur, rasa kuningnya gak terlalu terasa," jelas Dios.
Harpa menganggukkan kepala. "Ternyata sesederhana itu, ya? Kalau aku gak tahu kenapa harus ada benda ini." Harpa memperlihatkan sebuah makanan dengan tangan kanannya.
"Kerupuk?"
Harpa mengangguk. "Iya, kerupuk bikin makanan sangat gurih. Terus kalau ngunyah bikin keluar suara." Harpa memakan kerupuknya. "Kayak enak banget dengernya, kan?" Dia dekatkan mulut ke mic.
"Iya, aku jadi mau. Tapi gak boleh pasti," celetuk Dios.
Selesai makan, Harpa bereskan sisanya ke dalam tempat sampah. Sekarang Harpa tinggal melakukan pekerjaannya. "Kalau sudah tahu apa yang dikerjakan sungguh semangat, ya? Kemarin jangankan menjalankan strategi, ngerti dokumennya saja enggak," batin Harpa.
Pukul dua sore, Adras datang ke ruangan. "Sudah waktunya Anda bertemu dengan Nyonya Sulivan di salon."
"Duh, aku belum selesai ngerjain ini. Gimana, dong?" tanya Harpa sambil menatap sayang layar laptopnya.
"Anda bersiap saja. Biar saya yang kerjakan," tawar Adras. Harpa mengangguk. Dia lekas mengambil baju ganti di atas sofa dan pergi ke kamar mandi untuk ganti pakaian dengan yang lebih santai.
Tak lama Harpa keluar dari kamar mandi dan Adras sudah menyelesaikan ketikannya. "Kamu masih marah soal Okna, ya? Aku minta maaf lagi, deh. Enggak enak diem-dieman sama kamu. Enggak ada yang bisa dibercandain," pinta Harpa.
"Saya tidak marah," jawab Adras.
Harpa menunjuk jarak antara dirinya dan Adras. Saat Harpa mendekat, Adras langsung mundur. "Kamu bikin jarak kayak truk dan kendaraan di belakangnya saja," komentar Harpa.
"Saya hanya berada di posisi saya." Meski terasa sakit, Adras tetap mengucapkannya.
"Kamu mau aku beri kado apa?" tanya Harpa sambil menyemprotkan parfum ke pakaianya.
"Ulang tahun saya masih lama, Nona."
"Tidak. Hanya saja Okna bicara tentang pernikahan. Makanya aku pikir, gak mungkin aku gak kasih kado. Takutnya kamu nanti juga gak kasih kado di hari pernikahanku," alasan Harpa.
"Terserah Anda. Lagipula Anda tidak menikah dalam waktu dekat, saya tidak terlalu terburu-buru untuk menyiapkannya." Adras masih tegar menatap Harpa.
Sedang wanita di depannya malah tertawa. "Kayaknya sebentar lagi. Sudah ada sinyal memaksa menikah dari CEO lainnya."
Adras menunduk sejenak. "Menikahlah ketika Anda ingin menikah. Anda berhak bahagia atas pilihan Anda sendiri. Jangan merasa terpaksa akan sesuatu," saran Adras.
Harpa tersenyum kecil. "Aku pernah memperjuangkan keinginanku. Akhirnya keinginan itu yang meninggalkan aku begitu saja," timpal Harpa. Gadis itu melangkah keluar dari kantornya. Adras terdiam beberapa saat, kemudian dia mengikuti Harpa.
Selama perjalanan, Harpa memandang ke luar jendela. Dia meniup kaca mobil di sampingnya, kemudian menuliskan kata-kata di atas embun napasnya yang menempel di permukaan kaca itu.
"Nona Harpa, apa Anda ingat lagu ini?" tanya Pak Jaja.
Harpa berdiri tegak dan mendengarkan lagu yang dimaksud. Ini lagu Inggris yang sangat Harpa sukai. "Mama yang kenalkan lagu ini sama aku. Padahal ini lagu delapan pulahan, kan? Makasih Mang Jaja. Aku jadi ingat lagi sama Mama," ucap Harpa.
"Sama-sama Nona."