"Kesimpulannya dalam satu tahun masa bakti saya pada Callir Entertainment telah terjadi surplus untuk pertama kalinya. Kemudian keuntungan perusahaan meningkat tajam dari satu koma dua menjadi dua persen. Ini menjadi sebuah anugerah bagi Callir yang patut disyukuri. Dengan demikian pada tahun berikutnya akan lekas diadakan rapat umum pemegang saham, untuk membuat rancangan keuangan satu tahun ke depan."
Harpa membacakan laporan pertanggung jawabannya di depan seluruh karyawan dan pimpinan. Dia mendapatkan tepukan tangan yang meriah.
Gera orang yang paling tidak menerima akan kemenangan Harpa itu. Perlahan orang-orang di sampingnya mulai berpaling. Pria itu harus lekas memutar otak untuk menurunkan pamor Harpa dan lekas mengambil alih kursi pimpinan.
Semua masih berjalan dengan normal. Meski lama harus dilalui, Harpa lebih suka menunjukkan kelebihannya dibandingkan susah payah menghancurkan Gera. Lama-lama pria itu akan hancur dengan sendirinya.
Hubungan Harpa dan Adras masih saja ambigu. Mereka masih berusaha bersikap profesional meski ketika salah satu tak ada, yang lain akan merasakan kehampaan. Seperti hari ini. "Adras sakit. Jadi dia tak bisa masuk. Aku harap CEO bisa mengerti, lain kali sadarkan diri kalau Adras juga hanya manusia biasa," omelnya.
"Kamu emang gak ada berubahnya Okna. Aku tahu, Adras menghubungiku. Jaga sekretarisku baik-baik, ya? Jangan sampai calon mertuamu semakin ragu jadikan kamu menantunya lagi. Kasihan setahun lebih diundur-undur. Lama-lama terjungkal," sindir Harpa.
Okna tersenyum kesal. "Lalu bagaimana dengan Anda. Terus sendirian bukannya menyebalkan?" sindir Okna tajam.
"Aku gak perlu meluk-meluk pacarku di depan orang kayak kamu Okna, Tahu kenapa? Karena aku yakin dia mencintaiku. Tidak seperti kamu, yang masih abu-abu," lawan Harpa.
Okna berkacak pinggang. "Jadi Anda sudah punya pacar?"
"Tunangan kamu juga tahu. Dia gak bilang? Oh, ternyata dia banyak rahasia sama kamu, ya? Kasihan sekali." Harpa menggelengkan kepalanya.
"Saya pamit." Okna membungkuk karena kesalnya selalu kalah digas oleh Harpa. Sedang Harpa tak lama merengut. Dia menendang meja dengan kesal.
Mata Harpa melirik ke sisi kanan dan kiri. Sejak tadi dia melakukan pekerjaan sendiri. Bahkan dia merasa kecewa akibat penjaga yang membawakan dia makanan. Adras juga tidak mengirimi dia pesan.
"Aku sudah biasa ada dia. Ngeselin banget, sih! Terbiasa itu lebih berbahaya daripada terpesona," komentar Harpa.
Iseng saja dia mengirimkan pesan pada Dios. "Gimana? Sudah siap sama world tournya?"
Pesannya tak lama dibalas panggilan telepon. "Semua sudah siap. Hanya aku masih merasa takut. Ini pertama kalinya konser di luar negeri," jawab Dios.
Harpa merasa senang mendengar kabar dari pria itu. Mereka masih berteman dengan dekat. Harpa masih merasa memiliki jarak layaknya fans dan idola. Sedang Dios, sadar diri betul dengan posisinya sebagai artis di perusahaan Harpa.
"Kalau begitu, semangat! Aku yakin kamu pasti bisa," ucap Harpa.
"Sama-sama." Dios mematikan telepon. Dia menatap layar ponsel itu. Ditarik napas yang panjang. Dios termenung sangat lama. "Apa aku harus kehilangan lagi?" batinnya.
Dari ruang latihan, Dios berencana mengambil makanan ke kantin. Saat membuka pintu, dia melihat Isla berdiri di sana sambil memegang sebuah map.
"Kamu mau masuk?" tanya Dios. Isla hanya mengangguk. Dios berikan jalan untuk gadis itu. Hendak melangkah maju, Dios berbalik. Dia susul Isla ke dalam.
Sementara Isla bingung karena tak ada siapapun di sana. Memutuskan untuk kembali, tubuhnya bertabrakan dengan Dios. "Apa?" tanya Isla galak.
"Kamu akan terus seperti ini?" tanya Dios.
Isla memalingkan pandangan. "Harpa sahabatku! Jangan suka memainkan hati wanita dengan memberi dia harapan!" tegas Isla. Setiap kali dia berusaha melewati Dios, pasti pria itu menahan. "Kamu itu kenapa, sih? Bukannya dari kemarin kita sudah sepakat tidak saling mengenal?"
Dios menepuk dadanya. "Kalau hatiku berubah menyukai wanita lain gimana? Kalau memang aku mulai menyukai CEO bagaimana?"
"Aku punya lelaki lain," timpal Isla sambil menatap Dios tajam. "Aku tak bisa menunggu lama. Lagipula kamu tak pernah memintaku menunggu. Kamu meninggalkan aku. Jadi aku juga bisa, kan? Jujur aku merasa tak nyaman melihat kamu dekat dengan Harpa. Tapi, aku tahu tak bisa begitu. Jadi tolong, kalau memang mau mendekati dia hanya untuk balas dendam padaku, jangan. Karena aku bisa sangat benci kamu!"
Isla langsung meninggalkan Dios di sana. Sedang pria itu terdiam tanpa kata. Mata Dios berkaca-kaca. "Aku mau kembali ke kamu. Tapi kamu gak ngasih aku pilihan itu," batinnya.
Malam itu Dios menyetir mobilnya. Dia berhenti di depan rumah pribadi Isla. Tak lama sebuah mobil berhenti di samping rumah Isla. Terlihat wanita itu keluar dengan pakaian rapi. Sedang dari mobil, seorang pria berjas menyambutnya. Mereka berpegangan tangan dengan mesra. Isla naik ke mobil itu.
Mata Dios masih terpaku hingga mobil beranjak pergi. "Kamu yang sekarang ninggalin aku," ucap Dios perih. Tangannya bergetar. Sudah setahun lebih dia berusaha tegar setiap bertemu dengan Isla dan bersikap layaknya dua orang tak saling mengenal. Dan kini ia harus semakin kuat melihat Isla bersama pria lain.
"Semua wanita butuh kepastian," ucap Harpa yang tengah makan es krim di depan Dios. Mereka sudah bukan sekali janjian makan di luar. Dan hebatnya tak pernah ketahuan.
"Tapi di usia ini masih muda, kan?" timpal Dios.
Harpa mengangguk. "Aku sama kamu berbeda dua tahun, kan?" Setelah sekian lama, Harpa baru sadar kalau Dios masih brondong.
Dios mengangguk. "Memang kenapa?" tanya pria itu sambil terkekeh.
"Harusnya kamu manggil aku, Kakak!" omel Harpa.
"Aku tak masalah dengan perbedaan umur. Mantan pacarku yang dulu lebih tua dua tahun dariku," ungkap Dios.
Harpa terbelalak. Dia menutup mulutnya dengan telapak tangan. "Beneran? Kamu belum pernah ceritain ini. Terus sekarang kalian gimana?" Harpa malah penasaran dengan apa yang Dios ceritakan.
"Aku sama dia sudah putus. Makanya jadi mantan," celetuk Dios.
"Maksud aku, kenapa bisa putus?" Harpa terdengar kesal. Sedang Dios malah tertawa. Pria itu menatap ke luar jendela. "Karena karir kamu?"
"Dia kakak kelasku waktu SMA. Aku kelas satu dan dia kelas tiga. Kami pacaran sampai dia lulus, dan kuliah. Pacaran diam-diam karena pasti orang tua kami tidak setuju. Apalagi orang tuaku bercerai dan aku tinggal dengan ibuku dalam keadaan sulit. Ayahku orang berada, Anda tahu dia pejabat," ungkap Dios.
"Jadi itu bukan cuman rumor?" Harpa sampai menggelengkan kepala.
Dios mengangguk. "Padahal Anda seorang CEO. Harusnya Anda bisa memeriksa latar belakangku," komentar Dios.
Harpa mengangkat sebelah tangannya dan menunjukkan telapak tangan ke arah Dios. "Aku orang yang sangat menjunjung tinggi privasi," tegas Harpa.
"Ketika menjadi artis, aku lakukan untuk biaya pengobatan ibuku. Ayahku mana mau bantu. Keluarga ibuku pun angkat tangan. Aku anak lelaki satu-satunya. Karena itu aku nekat tanda tangan kontrak. Walau tahu, harus memutuskan hubungan dengan wanita itu," cerita Dios.